Pondok Pesantren Bali Bina Insani, Wujud Toleransi Umat Beragama di Tabanan
Delegasi Bali Democracy Forum dari 60 negara dengan didampingi Menlu Retno Marsudi dan Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti, sempat berkunjung ke Ponpes Bali Bina Insani, Jumat kemarin, untuk lihat model kerukunan umat beragama.
TABANAN, NusaBali
Pondok Pesantren Bali Bina Insani di Banjar Meliling Kawan, Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Tabanan mendapat kunjungan khusus dari Delegasi Menteri Luar Negeri (Menlu) asal 60 Negara yang tergabung dalam Bali Democracy Forum (BDF), Jumat (9/12) pagi. Kunjungan untuk melihat model toleransi antara umat bergama di sekolah Islam yang melibatkan 16 guru beragama Hindu sebagai pengajar ini.
Rombongan delegasi BDF yang berkunjung ke Pondok Pesantren (Ponpes) Bali Bina Insani, Jumat pagi sekitar pukul 09.00 Wita, diantar langsung Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Marsudi. Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti, juga ikut mendampingi Menlu Retno Marsudi. Mereka diterima Pendiri Yayasan La Royba yang menaungi Ponpes Bali Bina Insani, H Ketut Imaduddin Djamal.
Ponpes Bali Bina Insani, yang dibangun di atas lahan seluas 1 hektare, didirikan H Ketut Jamaludin tahun 1991. Dulunya, lahan 1 hektare ini merupakan tanah milik krama di Banjar Meliling Kawan, Desa Meliling. Oleh pemiliknya, tanah ini bersedia dijual untuk membangun Ponpes Bali Bina Insani.
Menurut Ketut Imaduddin, saat mendirikan Ponpes Bali Bina Insani---yang semula bernama Pondok Yatama---tahun 1991, tidak ada pertentangan dari krama setempat. Sebab, tujuanya untuk lembaga pendidikan dan jadi tempat belajar buat mencerdaskan anak bangsa. Namanya pondok pesantren, teknis pembelajaran jelas tidak sama dengan sekolah umumnya. Sekolah ini lubur sepekan sekali pada hari Jumat, sementara Minggu tetap melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Saat ini, ada 341 siswa yang belajar di Ponpes Bali Bina Insani. Mereka terdiri dari 252 siswa MTs (Madrasah Tausyah) setingakat SMP dan 89 siswa MA (Madrasah Aliyah) setingkat SMA. Mereka semuanya siswa Muslim. "Kami memang belum berani merekrut siswa beragama Hindu, karena kami khawatir orang luar beranggapan siswa dipaksa mengikuti ajaran Islam," jelas Ketut Immadudin Djamal, yang juga Ketua Pengadilan Agama (PA) Denpasar.
Namun, kata Ketut Imaduddin, dari 43 guru pengajar yang ada di Ponpes Bali Bina Insani, sebanyak 16 orang di antaranya beragama Hindu. Dari 16 guru yang beragama Hindu tersebut, baru 2 orang di antaranya berstatus guru tetap, sementara 14 orang lagi berstatus guru tidak tetap. Sebanyak 7 orang dari 16 guru beragama Hindu ini adalah perempuan.
"Sebagian guru yang mengajar di sekolah kami, baik MTs maupun MA, beragama Hindu. Mereka mengajar pelajaran umum, yang kami perlakukan sama dengan guru-guru Muslim," tandas pendiri pondok pesatren asal Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini.
"Di Pondok Pesantren Bali Bina Insani ini, pluralisme bukan sebuah ide lagi, tapi fakta. Bukan perbedaan yang kami kedepankan, melainkan persamaan," lanjut Ketut Imaduddin.
Dia menegaskan, masalah toleransi di Ponpes Bali Bina Insani ini patut dijadikan contoh. Pasalnya, kendati berada di tengah-tengah lingkungan umat non Muslim, tapi tetap aman dan nyaman, karena hubungan dengan masyarakat sekitar cukup baik. Setiap harinya, kata Ketut Djamaludin, para guru dan siswa di Ponpes Bali Bina Insani menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Bali sebagai bahasa pengantar, selain juga diajarkan berbahasa Inggris dan Arab.
Para guru pengajar, khusus 16 guru yang beragama Islam, tidak harus tinggal di asrama Ponpes Bali Bina Insani. Namun, bagi seluruh siswa (santri), mereka tinggal di asrama yang sudah disediakan di sekolah Muslim ini. Kegiatan mereka beragam dan terjadwal.
Menurut Ketut Imaduddin, setiap santri rutin bangun dinihari pukul 04.00 Wita. Mereka melakukan pengajian selama hampir 2 jam hingga pagi pukul 06.00 Wita. Sedangkan proses belajar mengajar baik formal maupun non formal dimuilai sejak pagi pukul 07.00 Wita hingga malam pukul 22.00 Wita. Kegiatan formal biasanya mengikuti pembelajaran umum, sementara non formalnya ekstrakurikuler seperti Pramuka.
Sementara itu, satu guru Hindu di Ponpes Bali Bina Insani, Ni Made Suardani, 32, sempat mengisahkannya pengalaman kepada NusaBali, Jumat kemarin. Guru asal Banjar Sambian Pengayehan, Desa Timpag, Kecamatan Kerambitan, Tabanan ini mengaku sudah selama 12 tahun jadi guru di Ponpes Bali Bina Insani sejak 2014 silam.
Menurut Made Suardani, awalnya dia menjadi guru tidak tetap di Ponpes Bali Bina Insani, hanya mengajar hari Minggu. Untuk menghormati para guru Muslim, Made Suardani bahkan sempat berkeinginan memakai hijab dan pernah memakainya. Namun, dia justru ditegur oleh pengasuh pondok pesantren. “Saya ditegur trak usah pakai hijab, karena nanti kesannya jadi pemaksaan,” kenang Suardani, yang jadi guru bidang studi IPS untuk MTs.
Suardani menyebutkan, Ponpes Bali Bina Insani sudah dianggapnya sebagai keluarga. Semuya berjalan penuh kekeluargaan, kerukunan, dan toleransi. Saat hari-hari suci besar agama Hindu, Suardini diizinkan untuk libur. “Selama 12 tahun menjadi guru di pondok pesantren ini, saya tidak pernah mengalami hal buruk. Walaupun berbeda keyakinan, tapi kami tetap menjaga toleransi,” jelas alumnus Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja ini. * cr61
Rombongan delegasi BDF yang berkunjung ke Pondok Pesantren (Ponpes) Bali Bina Insani, Jumat pagi sekitar pukul 09.00 Wita, diantar langsung Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Marsudi. Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti, juga ikut mendampingi Menlu Retno Marsudi. Mereka diterima Pendiri Yayasan La Royba yang menaungi Ponpes Bali Bina Insani, H Ketut Imaduddin Djamal.
Ponpes Bali Bina Insani, yang dibangun di atas lahan seluas 1 hektare, didirikan H Ketut Jamaludin tahun 1991. Dulunya, lahan 1 hektare ini merupakan tanah milik krama di Banjar Meliling Kawan, Desa Meliling. Oleh pemiliknya, tanah ini bersedia dijual untuk membangun Ponpes Bali Bina Insani.
Menurut Ketut Imaduddin, saat mendirikan Ponpes Bali Bina Insani---yang semula bernama Pondok Yatama---tahun 1991, tidak ada pertentangan dari krama setempat. Sebab, tujuanya untuk lembaga pendidikan dan jadi tempat belajar buat mencerdaskan anak bangsa. Namanya pondok pesantren, teknis pembelajaran jelas tidak sama dengan sekolah umumnya. Sekolah ini lubur sepekan sekali pada hari Jumat, sementara Minggu tetap melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Saat ini, ada 341 siswa yang belajar di Ponpes Bali Bina Insani. Mereka terdiri dari 252 siswa MTs (Madrasah Tausyah) setingakat SMP dan 89 siswa MA (Madrasah Aliyah) setingkat SMA. Mereka semuanya siswa Muslim. "Kami memang belum berani merekrut siswa beragama Hindu, karena kami khawatir orang luar beranggapan siswa dipaksa mengikuti ajaran Islam," jelas Ketut Immadudin Djamal, yang juga Ketua Pengadilan Agama (PA) Denpasar.
Namun, kata Ketut Imaduddin, dari 43 guru pengajar yang ada di Ponpes Bali Bina Insani, sebanyak 16 orang di antaranya beragama Hindu. Dari 16 guru yang beragama Hindu tersebut, baru 2 orang di antaranya berstatus guru tetap, sementara 14 orang lagi berstatus guru tidak tetap. Sebanyak 7 orang dari 16 guru beragama Hindu ini adalah perempuan.
"Sebagian guru yang mengajar di sekolah kami, baik MTs maupun MA, beragama Hindu. Mereka mengajar pelajaran umum, yang kami perlakukan sama dengan guru-guru Muslim," tandas pendiri pondok pesatren asal Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini.
"Di Pondok Pesantren Bali Bina Insani ini, pluralisme bukan sebuah ide lagi, tapi fakta. Bukan perbedaan yang kami kedepankan, melainkan persamaan," lanjut Ketut Imaduddin.
Dia menegaskan, masalah toleransi di Ponpes Bali Bina Insani ini patut dijadikan contoh. Pasalnya, kendati berada di tengah-tengah lingkungan umat non Muslim, tapi tetap aman dan nyaman, karena hubungan dengan masyarakat sekitar cukup baik. Setiap harinya, kata Ketut Djamaludin, para guru dan siswa di Ponpes Bali Bina Insani menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Bali sebagai bahasa pengantar, selain juga diajarkan berbahasa Inggris dan Arab.
Para guru pengajar, khusus 16 guru yang beragama Islam, tidak harus tinggal di asrama Ponpes Bali Bina Insani. Namun, bagi seluruh siswa (santri), mereka tinggal di asrama yang sudah disediakan di sekolah Muslim ini. Kegiatan mereka beragam dan terjadwal.
Menurut Ketut Imaduddin, setiap santri rutin bangun dinihari pukul 04.00 Wita. Mereka melakukan pengajian selama hampir 2 jam hingga pagi pukul 06.00 Wita. Sedangkan proses belajar mengajar baik formal maupun non formal dimuilai sejak pagi pukul 07.00 Wita hingga malam pukul 22.00 Wita. Kegiatan formal biasanya mengikuti pembelajaran umum, sementara non formalnya ekstrakurikuler seperti Pramuka.
Sementara itu, satu guru Hindu di Ponpes Bali Bina Insani, Ni Made Suardani, 32, sempat mengisahkannya pengalaman kepada NusaBali, Jumat kemarin. Guru asal Banjar Sambian Pengayehan, Desa Timpag, Kecamatan Kerambitan, Tabanan ini mengaku sudah selama 12 tahun jadi guru di Ponpes Bali Bina Insani sejak 2014 silam.
Menurut Made Suardani, awalnya dia menjadi guru tidak tetap di Ponpes Bali Bina Insani, hanya mengajar hari Minggu. Untuk menghormati para guru Muslim, Made Suardani bahkan sempat berkeinginan memakai hijab dan pernah memakainya. Namun, dia justru ditegur oleh pengasuh pondok pesantren. “Saya ditegur trak usah pakai hijab, karena nanti kesannya jadi pemaksaan,” kenang Suardani, yang jadi guru bidang studi IPS untuk MTs.
Suardani menyebutkan, Ponpes Bali Bina Insani sudah dianggapnya sebagai keluarga. Semuya berjalan penuh kekeluargaan, kerukunan, dan toleransi. Saat hari-hari suci besar agama Hindu, Suardini diizinkan untuk libur. “Selama 12 tahun menjadi guru di pondok pesantren ini, saya tidak pernah mengalami hal buruk. Walaupun berbeda keyakinan, tapi kami tetap menjaga toleransi,” jelas alumnus Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja ini. * cr61
1
Komentar