Pembelajaran Isu Budaya Krusial
Ditengarai isu budaya krusial kurang memadai dibahas dalam kurikulum pendidikan. Isu budaya krusial merujuk pada kepincangan yang berdampak negatif pada kehidupan.
Kalangan ahli menyebut isu sosial-budaya cenderung kurang dipahami walau mengandung unsur pikiran, perkataan dan tindakan penting! Pembelajaran agama konon hanya bertumpu pada substansi konseptual, kurang mengetengahkan isu krusial. Tumpuan berlebih pada konsep akan memicu kepincangan, seperti keadilan beragama. Pembelajaran kurang melatih kreativitas dalam menyolusi kepincangan demikian.
Kepincangan lain: penistaan agama! Selain menyerahkan pada hukum, panacea sosial-budaya efektif belum tersedia? Dalam pembelajaran agama dan budi pekerti, kegiatan tidak beraksis pada nilai, norma, etika, dan moral normatif apalagi dogmatis. Pembelajaran harus mampu mengelaborasi gagasan dinamis ketika muncul kepincangan. Namun, ketiadaan sumber daya pada sosok biner, elite-marhaen, superordinat-subordinat, pemikir-penafsir, mendarat-melayang tidak tersedia jembatan dalam meningkahi kepincangan tersebut!Alternasi antar keyakinan sering fenomenal. Berbagai penafsiran dilayangkan, antara kemiskinan, aktivasi penyebaran, dan politisasi beragama digunakan sebagai ‘kambing hitam’ ? Pendekatan demikian disaturasi konflik laten maupun manifes, ada yang dituduh dan tertuduh. Kapan pendekatan dialogis seharusnya dibelajarkan? Dialog kritis dapat diawali sejak usia dini, di keluarga, sekolah maupun lingkungan.
Menurut Paulo Freire, seorang teoretikus pendidikan Brazilia, nuansa dialogis menggambarkan adanya pergaulan yang mendidik untuk menemukan solusi tepat dan kompromistis. Caranya, ketika terjadi konstradiksi, maka pihak-pihak yang berlawanan dapat menumbuhkan rasa percaya dan kejujuran.
Isu budaya krusial lain adalah kesehatan. Pada kampanye pemilihan pemimpin, lokal, provinsial maupun nasional layanan kesehatan dijadikan komoditas. Pelayanan kesehatan masih banyak masalah, baik dari sisi regulasi maupun implementasi. Regulasi cenderung mengurangi pemerolehan layanan karena masalah defisit, sergahnya! Setelah terpilih, implementasinya masih banyak ketimpangan. Jaminan Kesehatan Nasional, sebagai program unggulan belum maksimal. Banyak rumah sakit swasta belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Mungkin, isu kesehatan krusial yang harus dibelajarkan seperti menjaga kesehatan berbasis kearifan lokal! Menjaga imunitas tubuh melalui pengobatan tradisional dan sebagainya. Pandemi Covid-19 memberi pembelajaran berharga untuk selalu memakai masker, mencuci tangan, dan menjauhi kerumunan untuk meminimalkan terinfeksi. Kenyataannya, tidak mudah membelajarkan hal tersebut pada semua orang!
Isu budaya krusial lain: karakter milenial, seperti literasi berbudi pekerti. Ketimpangan sudah menganga: antar generasi Tradisionalis-Baby Boomer-X-Y-Z. Generasi tradisional mengutamakan keterampilan manual, sedangkan anak muda milenial berkutat secara digital. Keberliterasian krama tradisional beretos rasa, sedangkan krama milenial cenderung memilih rasio! Ketika berpikir kritis tidak hadir, kemampuan untuk memenangi persaingan global mengalami ketimpangan, tidak peduli asal generasinya!
Oleh banyak kalangan, generasi milenial dipadankan dengan sebutan ‘kutu loncat’. Mereka memiliki perilaku bergonta-ganti pekerjaan, minat, motivasi, dan juga strategi dalam kurun waktu singkat. Disamping padanan sebagai kutu loncat, ada label kurang sedap melekat, seperti: tidak bisa fokus, tidak loyal, tidak mampu meraih kesuksesan. Menurut Meta Trisasanti, psikolog industri dan organisasi sekaligus pelatih eksekutif terakreditasi ICF, generasi jaman Now dibesarkan pada era kecanggihan teknologi: serba cepat dan instan serta berorientasi pada hasil dengan mengabaikan proses. Sering, mereka ini dijumpai sebagai penggiat yang self-timer, atau memiliki timeline yang tidak sejalan dengan proses yang harus dilalui.
Pembelajaran tentang isu budaya krusial akan menghindarkan dari ketimpangan maupun penyimpangan. Pembelajaran yang bericirikan 4-C: collaboration, creativity, communication, critical thinking direkomendasi diterapkan sebagai ‘novum organum scientarium’ , sebagai instrumen sains baru. Ketimpangan-ketimpangan budaya akan dapat diperkecil, atau bahkan , dinafikan menggunakan instrumen baru: ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Semoga terwujud kedamaian yang datang dari segala penjuru jagat raya! *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
1
Komentar