Puluhan Krama Kerauhan Disertai Ngurek Saat Ritual Ngerebong
Asal-usul Tradisi Ngerebong Terkait Kemenangan Raja Kesiman Atas Sasak
DENPASAR, NusaBali
Tradisi ritual ngerebong kembali dilaksanakan di Pura Agung Petilan, Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur pada Radite Pon Medangsia, Minggu (2/5) sore.
Seperti biasanya, dalam tradisi ritual yang digelar 6 bulan sekali (210 hari siatem penanggalan Bali) ini, puluhan krama kerauhan (kesurupan) disertai ngurek (menusuk dada dengan keris). Pelaksanaan tradisi ritual ngerebong di Pura Agung Petilan, Minggu kemarin, diajukan 1 jam lebih awal dari buiasanya, yakni mulai sore pukul 15.00 Wita hingga pukul 17.00 Wita. Kalai biasanya selama ini, prosesi baru dimulai sore pukul 16.00 Wita dan baru berakhir malam sekitar pukul 19.00 Wita.
Sebelum puncak ritual ngerebong, lebih dulu dilaksanakan persembah-yangan secara bergilir sejak pagi pukul 08.00 Wita. Teknis persembahyangan dibagi sedemikian rupa untuk menghindari kerumuman, karena pandemi Covid-19. Waktu persembahyangannya dibagi dalam tiga sesi berdasarkan wilayah. Untuk pagi mulai pukul 08.00 Wita sampai 10.00 Wita, yang kebagian jatah sembahyang adalah krama dari Desa Kesiman Kertalangu. Sedangkan sesi kedua adalah persembahyangan bagi krama dari Desa Kesiman Petilan. Terakhir, persembahyangan krama dari Kelurahan Kesiman yang berlangsung sampai pukul 15.00 Wita.
Setelah persembahyangan usai, barulah dilakukan ritual puncak ngerebong dengan rangkaian ngider bhuana dan ngurek. “Dalam pelaksanaan tradisi ngerebong kali ini, prosesinya dilakukan setelah sembahyang agar tidak terjadi kerumunan. Jadi, krama yang sudah selesai sembahyang bisa berkumpul di wantilan sambil menonton ngerebong,” ungkap tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara.
Sementara, saat ritual ngerebong di Pura Agung Petilan, Desa Adat Kesiman kemarin sore, puluhan krama lanang (laki-laku) maupun istri (perempuan) mengalami kerauhan. Mereka berteriak-teriak histeris sambil menangis, dengan gerakan tubuh aneh. Peristiwa niskala ini diiringi tabuh (gamelan gong). Semakin cepat ketukan tabuh, semakin keras pula teriakan histeris krama yang kerauhan.
Pantauan NusaBali, sejumlah pengabih memegang punggung krama yang kerauhan ini. Di samping mereka, seorang pengayah membawa keris, sementara pengayah lainnya membawa sarung keris. Ketika putaran ngider bhuana sampai di depan pintu masuk Utama Mandala Pura Agung Petilan, krama lanang yang kerauhan berteriak minta keris. Setelah keris diserahkan, mereka ngurek dada maupun leher sekuat-kuatnya. Namun, tidak ada dari mereka yang terluka.
Tradisi ritual ngerebong (berarti berkumpul, yakni berkumpulnya para dewa) diyakini sudah ada sejak tahun 1860. Menurut Gede Anom Ranuara, ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan atas suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan mereka. “Raja Kesiman dulu sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak (Lombok, NTB),” kata Anom Ranuara.
Menurut Anom Ranuara, ekspansi ke Sasak tersebut dilakukan dengan tiga tahap, yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan. Untuk keberhasilan menggempur Sasak itu, sebelumnya ada ritual khusus yang dilakukan raja di Pura Luhur Uluwatu, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Kala itu, raja tangkil ke Pura Uluwatu seraya mohon dianugerahi keris. Akhirnya, raja dapat paica Keris Ki Cekle. “Dengan menggunakan Keris Ki Cekle itulah Sasak berhasil ditakklukkan,” papar Anom Ranuara.
“Sasak sempat tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima tantangannya dengan menggunakan jangkrik betulan. Tapi, pihak penguasa Sasak justru menggunakan jangkrik siluman, sehingga raja sempat kalah dan kembali ke Pura Uluwatu mohon anugerah biar menang adu jangkrik,” katanya.
Saat itu, konon ada sabda dari Ida Sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta Raja Kesiman ngereh lemah (siang hari). Raja menyanggupinya. Setelah itu, raja diminta mengambil pengilitan jangkrik di Pura Muaya, Desa Adat Jimbaran (Kecamatan Kuta Selatan, Badung). Sedanglan makanan jangkrik berupa jepun putih harus dicari di Pura Dalem Kesiman. Sebaliknya, berupa ekor jangkrik kuning harus diambil di kawasan Padanggalak.
“Nah, jangkirik yang diadu di Sasak ini berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman hingga terbakar. Sebelum ada adu jangkrik, ada perjanjian kalau Kesiman kalah, akan diambil Sasak.l Sebaliknya, jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan diambil Kerajaan Kesiman,” kata Anom Ranuara.
Menurut sang budayawan, ekspansi Raja Kesiman ke Sasak tersebut terjadi sekitar tahun 1860. Sejak kemenangan atas Sasak itulah dilaksanakan upacara ngerebong yang bermakna sebagai syukuran. Awalnya, ngerebong dilakukan di Puri Kesiman, sebelum kemudian dipindah ke Pura Agung Petilan. Berdasarkan catatan Belanda, pada era tersebut kendali politik Bali dan Lombok berada di bawah Raja Kesiman.
Anom Ranuara menyebutkan, pelaksanaan upacara ngerebong sempat terhenti beberapa lama pasca Perang Puputan Badung. Barulah tahun 1937 ritual ngerebong kembali digelar dan dilakukan di Pura Agung Petilan yang telah selesai dibangun. Pada pelaksanaan tahun 1937 itu, prosesi ngerebong dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.
Tahapan pertama, saat Umanis Galungan yang disebut ngebek. Kedua, saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag. Ketiga, ritual ngerebong. Tradisi ritual ngerebong sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2018 lalu. *mis
Komentar