MUTIARA WEDA: Yoga atau Bhoga
Isvara uvāca: srnu devi pravakyāmi yathā vidhāh sthitāh sadā, Mukti prati narānanca bhogah paramabandhanah. (Siva Samhita, V.2)
Siva berkata: dengar wahai dewi! Aku katakan padamu, semua rintangan yang menghalangi di jalan Yoga. Guna meraih emansipasi, kenikmatan (bhoga) adalah rintangan yang terbesar.
ADA yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah sesuatu yang alami dirasakan. Jika makanan yang dimakan rasanya nikmat, apa salahnya? Jika ada pemandangan indah dan enak dilihat, apa salahnya dinikmati? Demikian seterusnya. Namun, Siwa mengatakan kepada muridnya Parwati, bahwa rintangan yang terbesar adalah kenikmatan. Dari semua jenis rintangan, kenikmatan adalah rintangan yang paling utama. Kenikmatan seperti apa? Semua jenis kenikmatan tanpa kecuali. Jika demikian, di mana indahnya hidup? Apakah kebebasan spiritual atau emansipasi mesti bertentangan dengan hal-hal yang indah beserta kenikmatannya? Apakah mereka yang berada di jalan Yoga harus ugly?
Cara berpikir kita memang selalu demikian. Jika tidak kanan, maka kiri. Pikiran hanya tahu itu. Paling tidak, mereka yang sudah sedikit berkembang memiliki pemikiran ketiga dengan menempatkan posisinya di wilayah abu-abu. Mereka melihat ada celah di antara kanan dan kiri. Bisa saja tidak di kanan atau juga tidak di kiri. Namun, apakah pernyataan Siwa di atas juga mewakili pikiran yang abu-abu? Siva dengan tegas menyatakan bahwa ada pertentangan tajam antara Yoga dan bhoga. Jika mau dalam Yoga, maka akhiri bhoga dan jika berada dalam bhoga, jangan harap berada di jalan Yoga. Siwa dengan tegas membedakan jalur Yoga dan bhoga itu.
Apa yang dimaksudkan oleh Siwa, mungkin bukan oposisi atau wilayah abu-abunya. Siwa menyatakan ini hanya dalam proses, dalam tahapan, dalam tangga spiritual, dan bukan dalam konteks eksistensi. Untuk mencapai puncak gunung, tahap-tahap tangga yang panjang harus dilalui. Jika kita hanya berdiam di tangga bawah, maka selamanya tidak akan pernah berada di puncak. Jika diumpamakan bahwa berada di puncak gunung adalah capaian tertinggi dari Yoga, maka bhoga itu ada di tangga paling bawah. Tidak dipungkiri bahwa, baik tangga bawah maupun puncak, pada hakikatnya sama, yakni gunung, tetapi guna mengetahui keseluruhan gunung, kita harus mendakinya sampai puncak. Hanya ketika di puncak, kita bisa melihat semuanya. Emansipasi berarti berada dalam state di mana mampu mengetahui semuanya, atau berada di dalam pengetahuan itu sendiri, sudah sampai di puncaknya.
Ketika emansipasi diraih, semua perbedaan lebur. Tidak lagi ada pertentangan. Namun ketika masih berada di jalan, langkah yang di bawah harus ditinggalkan secara sempurna. Jika kita terikat dengan tangga tersebut, maka tangga yang di atas tidak akan pernah dilalui. Jika tangga selanjutnya tidak dilalui, maka puncak capaian tidak mungkin diraih. Di sini lah mengapa Siwa mempertentangkan antara Yoga dan bhoga. Ketika telah berada di puncak, maka kita akan menyadari bahwa semua tangga tadi adalah jalan yang sesungguhnya berada dalam eksistensi tunggal.
Siwa tidak sedang bicara dalam konteks di puncak, melainkan sedang bicara dengan kita yang masih berada dalam belenggu avidya. Berbicara dengan orang yang belum memiliki kesadaran emansipasi, tidak bisa menyebut bahwa kenikmatan bhoga dan yoga itu sama, eksistensi yang sama, karena hal ini akan menimbulkan sesat pikir. Sesat pikir yang disebabkan oleh ajaran sangat berbahaya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kehidupan masyarakat banyak. Guna menghindari hal ini, Siwa dengan tegas menyatakan bahwa Yoga dan Bhoga berbeda 180 derajat. Dengan kata lain, Siwa berkata. “Jika berada dalam Yoga, maka tinggalkan segala bentuk bhoga, karena ialah yang menghentikan semua perjalanan menuju emansipasi.”
Di manakah kelirunya bhoga? Marilah kita analisis, tidakkah kita terikat dengan makanan enak? (bandingkan jika tiba-tiba disuguhkan dengan makanan yang tidak enak). Tidakkah kita terikat dengan kenikmatan melihat kesalahan orang lain? (bandingkan, apakah kita pernah melihat ke dalam bahwa diri bisa salah dan orang lain bisa benar). Tidakkah kita terikat dengan materi? (bagaimana kalau kita miskin, tidak punya uang, kita bisa bandingkan). Demikian seterusnya. Sehingga, untuk tujuan perkembangan kesadaran manusia, Siwa mendikotomi Yoga dan bhoga. *
I Gede Suwantana
1
Komentar