Krama Bali Mesti Pasaja dan Sutindih
Pelumpuhan Subak Masif dan Tak Terbendung
Pengambilan air irigasi subak untuk usaha di luar kepentingan subak tentu menyimpang. Namun ketika itu terjadi, maka muncul persoalan yang acapkali membuat subak tak berdaya.
SUBAK di Bali makin lumpuh dan tak tertolong. Terbukti, area lahan sawah kian menipis, Pura Subak makin tak terawatt, bahkan lenyap. Kerja pamaculan (bertani) makin dijauhi generasi muda. Solusinya, orang Bali dan pihak terkait harus berani bersikap; pasaja lan sutindih (benar-benar serius dan mau membela) agar subak tetap lestari.
Pekaseh Gede Subak Masceti Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, I Ketut Sugata mengatakan ngawerdiang (melestarikan) subak dengan tiga unsur di dalamnya yakni palemahan, pawongan dan, parahyangan, tak perlu rumus rumit. Sikap yang pasaja lan sutindih merupakan cara sederhana, namun ampuh untuk menjaga keberlangsungan subak dalam segala tatanan nilai dan tradisinya.
Pasaja lan sutindih tersebut terutama terhadap kesepakatan piranti yang sudah ada. Piranti itu, yakni aturan-aturan baik peraturan daerah (perda) dari guru wisesa yakni pemerintah maupun awig-awig serta pararem dari subak sendiri. ‘’Itu saja sudah cukup,’’ ujarnya saat ditemui di Sekretariat Subak Gede Masceti, jaba Pura Kahyangan Jagat Masceti, Jumat (8/5).
Persoalannya terletak pada seberapa pasaja lan sutindih itu?. “Itulah yang jadi pertanyaan?,” ujar
Sugata mengaku salah seorang yang risau dan khawatir terhadap masa depan subak. “Apa artinya Bali tanpa subak ? Tidak berarti apa-apa,” ujar pria usia 67 tahun tahun yang berpengalaman jadi pematung ini.
Jelas dia, kekhawatiran tersebut dipicu berbagai fenomena persoalan yang dialami subak. Bukan saja soal alih fungsi, namun juga persoalan-persoalan lain yang berimbas terhadap keberadaan subak. ”Sebagai pakaseh dan sebagai personal, saya sangat khawatir hal itu,” ucapnya kencang.
Sebagai contoh, kata dia, pemanfaatan air irigasi untuk kepentingan di luar subak (bisnis). Bagi Sugata, pengambilan air irigasi subak untuk usaha di luar kepentingan subak tentu menyimpang. Namun ketika itu terjadi, maka muncul persoalan yang acapkali membuat subak tak berdaya dan jadi korban.
Padahal Perda 9 Tahun 2012 tentang Subak, sudah jelas mengatur sejumlah aspek terkait subak. Mulai dari pemanfaatan dan alih fungsi lahan, pemanfaatan air di luar kepentingan krama subak. “Semua itu tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang,” ujar Sugata.
Sesuai Perda, penggunaan air subak wajib sepengetahuan pekaseh dan kesepakatan krama subak. Namun kenyataannya tidak demikian. Sering pekaseh maupun subak diabaikan. Belum lagi tumpang tindih kewenangan antar sektor yang merupakan buah dari ego sektoral. Ujung-ujungnya, samua itu mengakibatkan subak sebagai penderita.
Padahal apa pun yang menyangkut wilayah persubakan, semestinya berdasarkan kewenangan dan otonomi subak. Tetapi kenyataannya tidak. Karena itu, Sugata mengatakan perlunya kehadiran lembaga Tri Baga Upadesa di tingkat desa sebagai wadah koordinasi komunikasi dan sinergi antara desa dinas, desa adat dan subak. Untuk diketahui, usulan perlunya kelembagaan Tri Baga Upadesa, mengemuka dari Forum Subak Desa Medahan dan Subak Gede Masceti, sebelumnya. Hal itulah dipandang sebagai kelembagaan kearifan lokal Bali, dalam kontek pemberdayaan subak.
Menurut Sugata Tri Baga Upadesa ini dibentuk di seluruh desa di Bali. Karena permasalahan maupun persoalan yang dihadapi subak di Bali relatif sama. Mengapa cukup di tingkat desa, karena basis subak itu ada di tingkat desa, mulai dari palemahan, pawongan dan parahyangannya.
Dengan kelembagaan Tri Baga Upadesa dan sikap pasaja lan sutindih itu, jargon pemberdayaan subak, benar- benar menjadi subak dengan segala isi dan aspeknya berdaya. “ Bukan dipedayanin (diperdaya atau diakali),” ujarnya.
Jelas Sugata, dengan Tri Baga Upadesa, subak sebagai lembaga tua yang dirintis Rsi Markandeya ke Bali (abad 8-9 M), bisa dipertahankan. Karena keberadaan subak harus berdaya, bukan diperdaya oleh kepentingan oknum secara tersembunyi. *k17
Pekaseh Gede Subak Masceti Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, I Ketut Sugata mengatakan ngawerdiang (melestarikan) subak dengan tiga unsur di dalamnya yakni palemahan, pawongan dan, parahyangan, tak perlu rumus rumit. Sikap yang pasaja lan sutindih merupakan cara sederhana, namun ampuh untuk menjaga keberlangsungan subak dalam segala tatanan nilai dan tradisinya.
Pasaja lan sutindih tersebut terutama terhadap kesepakatan piranti yang sudah ada. Piranti itu, yakni aturan-aturan baik peraturan daerah (perda) dari guru wisesa yakni pemerintah maupun awig-awig serta pararem dari subak sendiri. ‘’Itu saja sudah cukup,’’ ujarnya saat ditemui di Sekretariat Subak Gede Masceti, jaba Pura Kahyangan Jagat Masceti, Jumat (8/5).
Persoalannya terletak pada seberapa pasaja lan sutindih itu?. “Itulah yang jadi pertanyaan?,” ujar
Sugata mengaku salah seorang yang risau dan khawatir terhadap masa depan subak. “Apa artinya Bali tanpa subak ? Tidak berarti apa-apa,” ujar pria usia 67 tahun tahun yang berpengalaman jadi pematung ini.
Jelas dia, kekhawatiran tersebut dipicu berbagai fenomena persoalan yang dialami subak. Bukan saja soal alih fungsi, namun juga persoalan-persoalan lain yang berimbas terhadap keberadaan subak. ”Sebagai pakaseh dan sebagai personal, saya sangat khawatir hal itu,” ucapnya kencang.
Sebagai contoh, kata dia, pemanfaatan air irigasi untuk kepentingan di luar subak (bisnis). Bagi Sugata, pengambilan air irigasi subak untuk usaha di luar kepentingan subak tentu menyimpang. Namun ketika itu terjadi, maka muncul persoalan yang acapkali membuat subak tak berdaya dan jadi korban.
Padahal Perda 9 Tahun 2012 tentang Subak, sudah jelas mengatur sejumlah aspek terkait subak. Mulai dari pemanfaatan dan alih fungsi lahan, pemanfaatan air di luar kepentingan krama subak. “Semua itu tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang,” ujar Sugata.
Sesuai Perda, penggunaan air subak wajib sepengetahuan pekaseh dan kesepakatan krama subak. Namun kenyataannya tidak demikian. Sering pekaseh maupun subak diabaikan. Belum lagi tumpang tindih kewenangan antar sektor yang merupakan buah dari ego sektoral. Ujung-ujungnya, samua itu mengakibatkan subak sebagai penderita.
Padahal apa pun yang menyangkut wilayah persubakan, semestinya berdasarkan kewenangan dan otonomi subak. Tetapi kenyataannya tidak. Karena itu, Sugata mengatakan perlunya kehadiran lembaga Tri Baga Upadesa di tingkat desa sebagai wadah koordinasi komunikasi dan sinergi antara desa dinas, desa adat dan subak. Untuk diketahui, usulan perlunya kelembagaan Tri Baga Upadesa, mengemuka dari Forum Subak Desa Medahan dan Subak Gede Masceti, sebelumnya. Hal itulah dipandang sebagai kelembagaan kearifan lokal Bali, dalam kontek pemberdayaan subak.
Menurut Sugata Tri Baga Upadesa ini dibentuk di seluruh desa di Bali. Karena permasalahan maupun persoalan yang dihadapi subak di Bali relatif sama. Mengapa cukup di tingkat desa, karena basis subak itu ada di tingkat desa, mulai dari palemahan, pawongan dan parahyangannya.
Dengan kelembagaan Tri Baga Upadesa dan sikap pasaja lan sutindih itu, jargon pemberdayaan subak, benar- benar menjadi subak dengan segala isi dan aspeknya berdaya. “ Bukan dipedayanin (diperdaya atau diakali),” ujarnya.
Jelas Sugata, dengan Tri Baga Upadesa, subak sebagai lembaga tua yang dirintis Rsi Markandeya ke Bali (abad 8-9 M), bisa dipertahankan. Karena keberadaan subak harus berdaya, bukan diperdaya oleh kepentingan oknum secara tersembunyi. *k17
Komentar