Tetap Tekuni Lukisan Bali Gaya Keliki
Mengenal Sosok Pengacara I Wayan Sugita SH
GIANYAR, NusaBali
Perilaku hidup I Wayan Sugita SH, warga asal Banjar Keliki Kawan, Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyar, cukup unik.
Seperti krama Bali umumnya, dia aktif melakoni dresta Bali; matulungan (membantu orang lain), makrama (bersosialisasi di banjar atau desa adat), ngayah, dan kegiatan social lainnya. Di lain sisi, dia menekuni profesi sebagai pengacara, sekaligus tetap menekuni lukisan tradisi Bali gaya Keliki.
Sebagai seniman, suami Ni Wayan Suratini SE ini adalah salah seorang pelukis tradisional gaya Keliki terbaik yang dimiliki Bali era kini. Terbukti, karyanya banyak bertebaran di tangan-tangan kolektor penting dan para pencinta seni di Bali, nasional, hingga mancanegara. Kesohorannya sebagai pelukis tradisonal gaya Keliki, menjadikan dia sering didaulat sebagai peserta pameran lukisan tradisional Bali. Selebihnya, dia mantan Bendesa Desa Adat Keliki, dan pekerja pemberdayaan masyarakat.
Namun perjalanan hidup kerap menyuguhkan varian baru dalam menempa diri. Wayan Sugita kini menyandang predikat sebagai pengacara/advokat. ‘’Tiyang tan ngaden kal kakene pajalan idupe (saya tak menyangka akan begini jalan hidup saya, – jadi seniman dan juga pengacara,Red),’’ ujar ayah dua anak ini kepada NusaBali, beberapa waktu lalu.
Dia memaparkan, profesi pengacara yang melekati dirinya tak dibayangkan sebelumnya. Sejak kecil, dia hanya bocah tani, pelukis lukisan tradisional gaya Keliki, dan seniman tabuh, terutama seruling. Profesi pengacara itu berkisah dari sebuah kasus pidana tindak pidana korupsi (tipikor) yang sempat menyeret-nyeret dirinya. Kasus tersebut jenis penyimpangan dana SPP (Simpan Pinjam Perempuan) sekitar tahun 2007-2009.
Kisahnya, kala itu, dia menjabat Ketua UPK (Unit Pelaksana Kegiatan) PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, Kecamatan Payangan, Gianyar. Salah satu unit kegiatannya yakni SPP. Namun dalam perkembangan, sesuai hasil audit resmi, beberapa pengelola SPP ini ada yang memakai uang tersebut. Akibatnya, sebagai Ketua UPK, Wayan Sugita pun sempat dua tahun ‘digantung’ dengan kasus itu. ‘’Tiyang dua tahun bolak-balik disidik jaksa tipikor. Meskipun akhirnya, tiyang hanya jadi saksi. Tapi beban berat psikisnya, bukan main. Apalagi tiyang tumben berurusan dengan aparat penegak hukum,’’ kenangnya.
Menurutnya, berhadapan dengan kasus hukum pidana merupakan pengalaman paling pahit dan menyakitkan hidup. Saking sakitnya karena beban psikis berat, tubuhnya sempat kurus-kering karena tak enak makan. ‘’Tapi dari kasus yang saya hadapi, saya amat merasakan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi mahal adil. Keadilan itu benar adanya,’’ jelas pria kelahiran 15 Juni 1966 ini.
Dia makin sadar, bahwa hampir setiap orang, meski tak berbuat melanggar hukum, lebih terburu takut ketimbang punya rasa kebenaran. Ini terjadi karena proses penyelidikan dan penyidikan, bukan hal mudah dihadapi warga baik sebagaai saksi, apalagi telah jadi tersangka. Karena pernah terlibat langsung berhadapan dengan kasus hukum, kini dia sangat paham kondisi psikis yang menimpa setiap klien. Maka, sebagai pengacara, dia lebih banyak bertindak dalam hal menenangkan klien, tanpa melunturkan perjuangan membela klien sesuai fakta-fakta hukum yang ada.
Setelah lolos dari kasus hukum, Wayan Sugita makin aktif menjalani ayah-ayahan sebagai bendesa. Karena punya langsung dengan kasus hukum, maka dirinya bertekad ingin membantu orang yang terlibat kasus hukum. Tergerak mendalami masalah-masalah hukum, dia kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Dwijendra, Denpasar, tamat tahun 2015. ‘’Saya berhasil lulus dan meraih gelar Sarjana Hukum dengan kuliah berbekal uang pinjaman dari tetangga,’’ ujarnya terkenang.
Saat itu, secara kebetulan, Pemkab Gianyar membentuk paralegal, sejenis folk role di desa. Maka, sebagai bendesa, dia langsung menekuni profesi paralegal. Saat itu, mulai bergaul dengan sejumlah pengacara, terutama dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Bali. Dari itu, dia berkesempatan mengikuti pendidikan advokat selama tiga bulan di Denpasar, lulus ujian profesi advokat tahun 2018. ‘’Saya bertekad, saya harus banyak belajar. Saya harus bisa menekuni profesi pengacara untuk membantu orang lain,’’ tegasnya. Dia berjanji menjadi advokat terkhusus membela warga KK miskin.
Saat awal sebagai pengacara, Wayan Sugita punya klien perdana yakni warga yang sempat memberikan pinjam uang untuk biaya kuliahnya. Bermodal penguasaan bidang hukum dan ketulusan hati nurani, dia mengaku sangat puas dapat membantu warga miskin yang tersangkut kasus hukum. ‘’Kebetulan karena saya bergabung di LBH, maka saya bisa membantu warga miskin menghadapi kasus hukum, khususnya perceraian yang tanpa biaya,’’ jelasnya.
Kini meski sibuk sebagai advokat, dia tetap melukis. Menurutnya, melukis selain sebagai hobi, juga bagian penting dari titah hidupnya sebagai orang Bali dalam merawat tradisi. Dia kini menyiapkan pameran seni rupa bertema ‘Wana Jnana : Wanda, Rimba, dan Spiritualitas’, 10 Juni - 12 Juli 2021, di Museum Puri Lukisan Ubud, Museum Arma, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Meseum Seni Neka Ubud, dan Gedung Kriya Werdi Budaya, Denpasar. Pameran ini digarap Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.*lsa
Komentar