Hanya dengan Jnana, bukan Tindakan
Cittasya suddhaye karma na tu vastupalabdhaye, Vastusiddhir vicārena na kincit karmakotibhih. (Vivekacudamani, 11)
Tindakan adalah untuk memurnikaan pikiran, tidak untuk memperoleh (mengetahui) kebenaran. Pengetahuan akan kebenaran hanya berhubungan dengan penyelidikan, bahkan tidak setitik pun pengetahuan yang didapat dari berjuta-juta tindakan.
Berhubungan dengan metode spiritual, Advaita Vedanta memiliki pandangannya sendiri. Paham ini dengan tegas menyatakan bahwa pembebasan akhir atau pengetahuan akan kebenaran tidak berhubungan dengan tindakan sama sekali. Guna mencapai pembebasan hanya dengan Jnana Yoga (inquiry) saja dan tidak bergandengan dengan kerja atau tindakan. Sankaracharya dalam komentarnya terhadap teks Upanisad, Brahma Sutra dan Bhagavad-gita menekankan ini secara terus-menerus. Dan bahkan dalam beberapa karyanya, seperti Bhaja Govindam, Atma Bodha, Vivekacudamani dan yang lainnya menekankan ajaran yang sama.
Mengapa pengetahuan tidak berhubungan dengan tindakan? Bagaimana hal ini mungkin? Bukankah pengetahuan diperoleh hanya melalui upaya? Ada beberapa analogi yang mendukung paham ini. Tentu cara kerjanya murni di dalam wilayah being (keberadaan) dan aspek epistemologinya, bukan dalam sisi pragmatis/aksiologinya. Rasa manis ada di dalam sebatang tebu. Kita bisa merasakan atau mengetahui manisnya tebu itu ketika mengunyahnya dan merasakannya melalui lidah. Bukankah mengunyah dan merasakan melalui lidah itu tindakan? Memang benar itu tindakan, tetapi pengetahuan akan rasa manis itu tidak berhubungan dengan tindakan itu. Lidah memang bekerja saat itu sebagai alat, tetapi kesadaran yang ada pada lidah yang memiliki pengetahuan akan manis itu berada dalam kondisi pasif. Yang bekerja adalah lidah itu sendiri, tetapi rasa manis itu dirasakan hanya dalam kondisi pasif, bukan aktif. Sang Kesadaran yang menyadari adanya rasa manis itu hanya menerima sepenuhnya, bukan aktif.
Bayangan bulan di dalam sebuah kolam juga analogi yang sering dan umum digunakan. Kolam ibarat pikiran dan bulan adalah objek yang direfleksikan. Kolam hanya secara pasif menerima bayangan bulan itu. Semakin pasif kolam, semakin jernih bayangannya. Ketika kolam berada dalam kepasifan total, bulan direfleksikan secara sempurna. Disini, kolam tidak secara aktif merefleksikan objeknya. Dengan cara yang sama pikiran mengetahui objek-objeknya hanya ketika berada dalam keadaan pasif. Pengetahuan sama sekali tidak berhubungan dengan tindakan.
Jika pengetahuan akan kebenaran tidak berhubungan dengan tindakan, lalu bagaimana dengan upaya-upaya manusia yang dilakukan untuk mencapai pembebasan? Apakah tindakan mereka sia-sia? Tentu tidak sia-sia. Bahkan, hanya tindakan yang bisa dilakukan. Sankaracharya langsung merujuk pada sadhana, dan dipastikan bahwa sadhana adalah tindakan. Tidakkah ini pernyataan yang bertentangan? Hanya pengetahuan yang mampu membebaskan, sebagaimana dinyatakan dalam bab 2 Bhagavad-gita, namun tindakan dan yang lainnya adalah sebuah ketentuan semesta. Setiap orang harus tunduk pada hukum ini. Lalu, jika memang semua makhluk hidup terjebak di dalam tindakan (karma), dan tidak bisa lepas darinya, lalu tidakkah pernyataan Sankaracharya ini sia-sia?
Beliau menjawab bahwa segala tindakan yang dilakukan hanya untuk memurnikan pikiran, bukan untuk memperoleh pengetahuan, karena pengetahuan hanya diperoleh melalui penyelidikan (inquiry), dan hanya pengetahuan yang membebaskan bukan tindakan. Jadi, karma yoga, bhakti yoga dan yang lainnya harus dikerjakan, sebab ini adalah keharusan semesta. Hanya ketika orang sukses melakukan berbagai jenis yoga tersebut, pikirannya menjadi murni. Pikiran yang murni akan memudahkan orang untuk masuk ke dalam pengetahuan. Apa yang direfleksikan di dalam pikiran akan semakin jernih. Ibarat kolam tadi, jika permukaannya bergelombang (aktif) bayangan bulan tidak akan tampak.
Tindakan itu ibarat membersihkan kotoran pada permukaan cermin. Semakin tebal debu yang melekat, kualitas refleksinya semakin buruk. Melalui tindakan kotoran itu dibersihkan. Ketika bersih, cermin itu merefleksikan objeknya secara sempurna. Dengan cara yang sama, semua tindakan spiritual yang dilakukan adalah sebuah upaya untuk membersihkan debu pikiran. Ketika pikiran bersih, ia akan dengan mudah memasuki bhavana, yakni apa yang dikatakan oleh teks suci tentang kebenaran akan menjadi pengalamannya sendiri. Kebenaran akan terefleksi dengan sempurna. Refleksi itu sama jernihnya dengan objek yang direfleksikan. Pada saat ini, Sang Diri dikatakan mampu mencapai kesejatiannya. Sutra Patanjali menyatakan bahwa Sang Diri (Seer) berada di dalam dirinya sendiri.*
I Gede Suwantana
Komentar