Kerajinan Bata Tulikup Makin Krisis Bahan
Karena bahan baku tanah menipis, banyak perajin beralih ke pekerjaan serabutan.
GIANYAR, NusaBali
Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Gianyar, terkenal dengan hasil produksi berupa batu bata. Pemasarannya tidak saja di Bali, namun juga luar Bali. Hanya saja kini, produksi batu bata Tulikup mengalami kendala. Ketersediaan bahan baku berupa tanah nyaris habis. Selain itu, sejak pandemi Covid-19 permintaan bata mengalami penurunan. Harga jual pun makin merosot.
Perbekel Tulikup I Made Ardika mengatakan saat ini ketersediaan tanah yang layan untuk bahan baku bata hanya sekitar 10 persen dari lahan nyang ada. "Dulu, bahan baku tanah bata melimpah. Tapi, sekarang sudah nyaris habis," ungkapnya, Jumat (14/5).
Dampaknya, lanjut dia, masyarakat yang mengandalkan penghasilan dari batu bata jadi beralih profesi. Karena bahan baku tanah menipis, banyak perajin beralih ke pekerjaan serabutan. Ada yang bantu nelayan, kerja proyek bangunan, dan lainnya. ‘’Padahal warga kami tidak ada yang bermata pencarian jadi nelayan. Tapi, itu dilakukan dibandingkan ndak kerja," ujarnya.
Untuk menjaga ketersediaan bahan baku tanah bata, Ardika mengaku sudah berkomunikasi dengan rekannya sesamasa Perbekel di Gianyar. Terutama yang punya lokasi tanah tinggi mau diratakan. Beberapa waktu lalu, dia mengaku sempat berkomunikasi dengan Perbekel Temesi (Kecamatan Gianyar), saat peluasan TPA Temesi. ‘’Agar tanahnya dijual untuk bahan baku bata agar masyarakat bisa produksi bata. Tapi setelah tanah di Temesi habis, maka warga nganggur lagi," ungkapnya.
Pumlah perajin batu bata di desa paling timur Kabupaten Gianyar ini sekitar 55 persen dari total 2.462 KK. Basis perajin ini ada di Banjar Pande, Banjar Menak, Banjar Kaja Kauh, Banjar Tegal, Banjar Kembengan, dan Banjar Roban. "Termasuk saya di rumah, 3 KK perajin batu bata dulu," ungkapnya.
Sebelum pandemi Covid-19, jelas dia, permintaan batu Bata Tulikup laris manis. "Saya sendiri sering jual batu bata. Bahkan samai stok kosong dan harus beli di perajin lain," ujarnya. Perajin batu bata pun otomatis punya posisi tawar. "Cetakannya bagus, kualitas sudah dijamin. Makanya kalau saya beli di perajin, harus ngerayu dan bayar duluan supaya dapat," kenangnya.
Namun kini, permintaan batu bata turun, hingga harga merosot. Batu bata super halus sebelum pandemi bisa tembus Rp 4.500 per keping, kini hanya menyentuh Rp 3.800. Kualitas dua, pasarannya sebelum pandemi Rp 2,5 juta per seribu atau Rp 2.500 per keping, kini menjadi Rp 1,9 juta/1.000 keping. "Kalau bata coklat harganya tetap sama, Rp 1,7 juta sampai Rp 1,8 juta. Bertahan karena banyak peminatnya, biasanya dipakai stik. Untuk desain belang-belang (tembok beda warna,Red)," jelasnya. *nvi
Perbekel Tulikup I Made Ardika mengatakan saat ini ketersediaan tanah yang layan untuk bahan baku bata hanya sekitar 10 persen dari lahan nyang ada. "Dulu, bahan baku tanah bata melimpah. Tapi, sekarang sudah nyaris habis," ungkapnya, Jumat (14/5).
Dampaknya, lanjut dia, masyarakat yang mengandalkan penghasilan dari batu bata jadi beralih profesi. Karena bahan baku tanah menipis, banyak perajin beralih ke pekerjaan serabutan. Ada yang bantu nelayan, kerja proyek bangunan, dan lainnya. ‘’Padahal warga kami tidak ada yang bermata pencarian jadi nelayan. Tapi, itu dilakukan dibandingkan ndak kerja," ujarnya.
Untuk menjaga ketersediaan bahan baku tanah bata, Ardika mengaku sudah berkomunikasi dengan rekannya sesamasa Perbekel di Gianyar. Terutama yang punya lokasi tanah tinggi mau diratakan. Beberapa waktu lalu, dia mengaku sempat berkomunikasi dengan Perbekel Temesi (Kecamatan Gianyar), saat peluasan TPA Temesi. ‘’Agar tanahnya dijual untuk bahan baku bata agar masyarakat bisa produksi bata. Tapi setelah tanah di Temesi habis, maka warga nganggur lagi," ungkapnya.
Pumlah perajin batu bata di desa paling timur Kabupaten Gianyar ini sekitar 55 persen dari total 2.462 KK. Basis perajin ini ada di Banjar Pande, Banjar Menak, Banjar Kaja Kauh, Banjar Tegal, Banjar Kembengan, dan Banjar Roban. "Termasuk saya di rumah, 3 KK perajin batu bata dulu," ungkapnya.
Sebelum pandemi Covid-19, jelas dia, permintaan batu Bata Tulikup laris manis. "Saya sendiri sering jual batu bata. Bahkan samai stok kosong dan harus beli di perajin lain," ujarnya. Perajin batu bata pun otomatis punya posisi tawar. "Cetakannya bagus, kualitas sudah dijamin. Makanya kalau saya beli di perajin, harus ngerayu dan bayar duluan supaya dapat," kenangnya.
Namun kini, permintaan batu bata turun, hingga harga merosot. Batu bata super halus sebelum pandemi bisa tembus Rp 4.500 per keping, kini hanya menyentuh Rp 3.800. Kualitas dua, pasarannya sebelum pandemi Rp 2,5 juta per seribu atau Rp 2.500 per keping, kini menjadi Rp 1,9 juta/1.000 keping. "Kalau bata coklat harganya tetap sama, Rp 1,7 juta sampai Rp 1,8 juta. Bertahan karena banyak peminatnya, biasanya dipakai stik. Untuk desain belang-belang (tembok beda warna,Red)," jelasnya. *nvi
1
Komentar