Desa Paksebali Manfaatkan Sampah untuk Bahan Bakar Home Industri
Melongok Pengolahan Sampah Berbasis Sumber di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung
Versi Perbekel Paksebali, I Putu Ariadi, pengangkutan sampah organik yang dipiliah di rumah tangga dilakukan setiap hari, sementara sampah non organik dan residu diangkut pada Kamis dan Minggu
SEMARAPURA, NusaBali
Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung merupakan salah satu dari 5 desa di Bali yang selama ini sudah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber. Dengan pola pengelolaan berbasis sumber, Desa Paksebali mampu memanfaatkan sampah untuk bahan bakar home industri.
Selain Desa Paksebali di Kecamatan Dawan, 4 desa di Bali yang juga su-dah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber masing-masing Desa Taro (Kecamatan Tegallalang, Gianyar), Desa Baktiseraga (Kecamatan Buleleng), Desa Adat Padang Tegal (Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar), dan Desa Punggul (Kecamatan Abiansemal, Badung).
Desa Paksebali, Desa Taro, Desa Baktiseraga, Desa Adat Padangtegal, dan Desa Punggul sudah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber jauh sebelum dikeluarkannya Keputusan Gubernur Nomor 381/03-P/HK/2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat, pada Sukra Kliwon Sungsang, Jumat, 9 April 2021 lalu.
Khusus di Desa Paksebali, pengelolaan sampah berbasis sumber telah berproses sejak tahun 2015 lalu. Hal ini sebagai solusi dari masalah sampah di Desa Paksebali, mengingat banyak warga setempat ketika itu masih membuang sampah sembarangan di selokan/drainase. Akibatnya, pas musim hujan terjadilah banjir di mana sampah pun meluber di jalan hingga masuk ke areal SD.
"Bertolak dari masalah tersebut, kita mengajak masyarakat berperan aktif, agar tidak membuang sampah sembarangan," ungkap Kepala Desa (Perbekel) Paksebali, I Putu Ariadi, saat ditemui NusaBali di ruang kerjanya, Kamis (6/5) siang.
Selanjutnya, kata Putu Ariadi, masyarakat Desa Paksebali diarahkan menaruh sampah di tempat yang telah ditentukan. Sampah-sampah tersebut kemudian diangkut dan dibuang di tempat yang dibolehkan warga. "Kadang kita bawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung di Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan dan sejumlah TPA lainnya," papar Putu Ariadi.
Sampai akhirnya pada 2018, mulai masuk program TPS 3R (reuse, reduce, recycle), yakni mengolah sampah organik menjadi pupuk. Setahun kemudian, Desa Paksebali menerapkan program Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS), yang merupakan program gagasan dari Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta. TOSS di Desa Paksebali ini mampu mengolah sampah menjadi pelet untuk sumber tenaga listrik, yang diolah oleh Indonesia Power.
Menurut Putu Ariadi, hal ini diiringi pula dengan pemilahan sampah organik dan non organik dari masing-masing rumah tangga. "Kita sudah menentukan pengangkutan sampah organik setiap hari, sementara sampah non organik dan residu hanya diangkut hari Kamis dan Minggu saja," katanya.
Tidak hanya sampah rumah tangga, pemilahan sampah juga sudah dilakukan di Pasar Satria Desa Paksebali. Dengan pola seperti ini, pengolahan sampah bisa optimal di desa, meskipun masih ada beberapa sampah terutama residu yang dibawa ke TPA.
Putu Ariadi menyebutkan, sebelum terpilah, jumlah sampah dari 1.513 kepala keluarga (KK) asal 8 banjar di Desa Paksebali mencapai kisaran 4-5 ton per hari. “Tapi sekarang, dengan pemilahan dari rumah tangga, produksi sampah hanya mencapai 800 kilogram per hari," tegas Putu Ariadi.
Begitu pula sampah organik, sudah banyak dimanfaatkan masyarakat Desa Paksebali dengan membuat Lubang Daur Ulang Sampah (Bangdaus). Dengan cara ini, semua sampah oganik rumah tangga akan masuk ke dalam lubang berukuran 80 cm x 80 cm dengan kedalaman 100 cm. Sampah organik yang telah dikumpulkan di lubang ini dalam jangka waktu 8 bulan akan berubah menjadi pupuk kompos dan bermanfaaat bagi tumbuhan.
Versi Putu Ariadi, masyarakat di Desa Paksebali kini sudah terbiasa memilah sampah dari rumah tangga. Program ini sejalan baik dari Perdes, Perda, hingga Pergub (Peraturan Gubernur). "Ini sangat nyambung dari program desa, kabupaten, dan provinsi," terang Putu Ariadi, sembari menyebut pada 2019 Desa Paksebali juga mendapat bantuan dari Kementerian PUPR melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Klungkung, berupa gedung pengelolaan sampah dan CSR dari Indonesia Power.
Putu Ariadi menegaskan, dari hasil pengolahan sampah baik diolah manjadi pupuk maupun pelet, juga memberikan nilai ekonomis. “Ini karena tingginya permintaan pasar, terutama pupuk organik. Untuk pemasaran, kita juga menjalin kerja sama dengan Koperasi Pasar (Koppas) Srinadi Klungkung," ujarnya.
Di samping itu, kata Putu Aeiadi, Desa Paksebali juga membuat inovasi terobosan dengan pemanfaatan pelet sampah tersebut untuk menjadi bahan bakar rumah tangga. Inovasi ini sudah dirintis sejak tahun 2020 lalu. Namun, untuk bahan bakar rumah tangga ini campurannya berbeda dengan pelet yang digunakan untuk tenaga listrik.
Jika pelet untuk bahan bakar rumah tangga itu murni sampah organik, sementara pelet untuk tenaga listrik campurannya 25 persen sampah plastik dan 75 persen sampah organik. "Pengolahan pelet menjadi bahan bakar ini kami dapat dari pelatihan STT PLN tahun 2020," beber Putu Ariadi.
Setidaknya, lewat TOSS tersebut, dalam seminggu Desa Paksebali menghasilkan 150 kilogram pelet untuk tenaga listrik dan 20 kilogram untuk bahan bakar rumah tangga.
Sementara itu, kompor pengolah pelet tersebut juga dibuat khusus dengan biaya per satu kompor mencapai Rp 1,2 juta. Inovasi tersebut baru dimanfaatkan untuk 4 unit home industri di Desa Paksebali, termasuk industri pembuatan jajan Bali dan pembuatan kerupuk.
Selaku Perbekel, Putu Ariadi berharap ke depannya pemanfaatan pelet untuk bahan bakar ini bisa digunakan oleh rumah tangga di Desa Paksebali. Program ini dapat menghemat pengeluaran untuk membeli gas elpiji. "Tentu ini masih menunggu anggaran ke depan atau bisa dari CSR yang mendampingi yakni Indoensia Power," harap Putu Ariadi. *wan
Selain Desa Paksebali di Kecamatan Dawan, 4 desa di Bali yang juga su-dah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber masing-masing Desa Taro (Kecamatan Tegallalang, Gianyar), Desa Baktiseraga (Kecamatan Buleleng), Desa Adat Padang Tegal (Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar), dan Desa Punggul (Kecamatan Abiansemal, Badung).
Desa Paksebali, Desa Taro, Desa Baktiseraga, Desa Adat Padangtegal, dan Desa Punggul sudah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber jauh sebelum dikeluarkannya Keputusan Gubernur Nomor 381/03-P/HK/2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat, pada Sukra Kliwon Sungsang, Jumat, 9 April 2021 lalu.
Khusus di Desa Paksebali, pengelolaan sampah berbasis sumber telah berproses sejak tahun 2015 lalu. Hal ini sebagai solusi dari masalah sampah di Desa Paksebali, mengingat banyak warga setempat ketika itu masih membuang sampah sembarangan di selokan/drainase. Akibatnya, pas musim hujan terjadilah banjir di mana sampah pun meluber di jalan hingga masuk ke areal SD.
"Bertolak dari masalah tersebut, kita mengajak masyarakat berperan aktif, agar tidak membuang sampah sembarangan," ungkap Kepala Desa (Perbekel) Paksebali, I Putu Ariadi, saat ditemui NusaBali di ruang kerjanya, Kamis (6/5) siang.
Selanjutnya, kata Putu Ariadi, masyarakat Desa Paksebali diarahkan menaruh sampah di tempat yang telah ditentukan. Sampah-sampah tersebut kemudian diangkut dan dibuang di tempat yang dibolehkan warga. "Kadang kita bawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung di Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan dan sejumlah TPA lainnya," papar Putu Ariadi.
Sampai akhirnya pada 2018, mulai masuk program TPS 3R (reuse, reduce, recycle), yakni mengolah sampah organik menjadi pupuk. Setahun kemudian, Desa Paksebali menerapkan program Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS), yang merupakan program gagasan dari Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta. TOSS di Desa Paksebali ini mampu mengolah sampah menjadi pelet untuk sumber tenaga listrik, yang diolah oleh Indonesia Power.
Menurut Putu Ariadi, hal ini diiringi pula dengan pemilahan sampah organik dan non organik dari masing-masing rumah tangga. "Kita sudah menentukan pengangkutan sampah organik setiap hari, sementara sampah non organik dan residu hanya diangkut hari Kamis dan Minggu saja," katanya.
Tidak hanya sampah rumah tangga, pemilahan sampah juga sudah dilakukan di Pasar Satria Desa Paksebali. Dengan pola seperti ini, pengolahan sampah bisa optimal di desa, meskipun masih ada beberapa sampah terutama residu yang dibawa ke TPA.
Putu Ariadi menyebutkan, sebelum terpilah, jumlah sampah dari 1.513 kepala keluarga (KK) asal 8 banjar di Desa Paksebali mencapai kisaran 4-5 ton per hari. “Tapi sekarang, dengan pemilahan dari rumah tangga, produksi sampah hanya mencapai 800 kilogram per hari," tegas Putu Ariadi.
Begitu pula sampah organik, sudah banyak dimanfaatkan masyarakat Desa Paksebali dengan membuat Lubang Daur Ulang Sampah (Bangdaus). Dengan cara ini, semua sampah oganik rumah tangga akan masuk ke dalam lubang berukuran 80 cm x 80 cm dengan kedalaman 100 cm. Sampah organik yang telah dikumpulkan di lubang ini dalam jangka waktu 8 bulan akan berubah menjadi pupuk kompos dan bermanfaaat bagi tumbuhan.
Versi Putu Ariadi, masyarakat di Desa Paksebali kini sudah terbiasa memilah sampah dari rumah tangga. Program ini sejalan baik dari Perdes, Perda, hingga Pergub (Peraturan Gubernur). "Ini sangat nyambung dari program desa, kabupaten, dan provinsi," terang Putu Ariadi, sembari menyebut pada 2019 Desa Paksebali juga mendapat bantuan dari Kementerian PUPR melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Klungkung, berupa gedung pengelolaan sampah dan CSR dari Indonesia Power.
Putu Ariadi menegaskan, dari hasil pengolahan sampah baik diolah manjadi pupuk maupun pelet, juga memberikan nilai ekonomis. “Ini karena tingginya permintaan pasar, terutama pupuk organik. Untuk pemasaran, kita juga menjalin kerja sama dengan Koperasi Pasar (Koppas) Srinadi Klungkung," ujarnya.
Di samping itu, kata Putu Aeiadi, Desa Paksebali juga membuat inovasi terobosan dengan pemanfaatan pelet sampah tersebut untuk menjadi bahan bakar rumah tangga. Inovasi ini sudah dirintis sejak tahun 2020 lalu. Namun, untuk bahan bakar rumah tangga ini campurannya berbeda dengan pelet yang digunakan untuk tenaga listrik.
Jika pelet untuk bahan bakar rumah tangga itu murni sampah organik, sementara pelet untuk tenaga listrik campurannya 25 persen sampah plastik dan 75 persen sampah organik. "Pengolahan pelet menjadi bahan bakar ini kami dapat dari pelatihan STT PLN tahun 2020," beber Putu Ariadi.
Setidaknya, lewat TOSS tersebut, dalam seminggu Desa Paksebali menghasilkan 150 kilogram pelet untuk tenaga listrik dan 20 kilogram untuk bahan bakar rumah tangga.
Sementara itu, kompor pengolah pelet tersebut juga dibuat khusus dengan biaya per satu kompor mencapai Rp 1,2 juta. Inovasi tersebut baru dimanfaatkan untuk 4 unit home industri di Desa Paksebali, termasuk industri pembuatan jajan Bali dan pembuatan kerupuk.
Selaku Perbekel, Putu Ariadi berharap ke depannya pemanfaatan pelet untuk bahan bakar ini bisa digunakan oleh rumah tangga di Desa Paksebali. Program ini dapat menghemat pengeluaran untuk membeli gas elpiji. "Tentu ini masih menunggu anggaran ke depan atau bisa dari CSR yang mendampingi yakni Indoensia Power," harap Putu Ariadi. *wan
1
Komentar