Berisikan Sajak-sajak Penyair Pos Budaya Asuhan Mahaguru Umbu
Jatijagat Kampung Puisi Bali dan Pustaka Ekspresi Luncurkan Buku Berjudul 'Blengbong'
Putri Suastini Koster sebut buku Blengbong hadir karena rasa cinta kepada Umbu Landu Paranggi, di mana sang mahaguru penyair merupakan seniman puisi yang fokus, dengan karya-karyanya yang melegenda dan dikagumi banyak kalangan
DENPASAR, NusaBali
Buku kumpulan puisi berjudul Blenbong, yang didedikasikan untuk mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi telah dilaunching di halaman Gedung Kriya Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah Den-pasar, Selasa (25/5) malam. Buku setebal 314 yang diluncurkan Jatijagat Kampung Puisi Bali dan Pustaka Ekspresi ini berisikan sajak-sajak 58 Penyair Pos Budaya---karya penyair era 1980-an hingga 1990-an yang menembus kategori ‘Pos Budaya’ pada rubrik Sastra di bawah asuhan Umbu Landu Parangggi.
Bersamaan dengan diluncurkannya buku Blengbong, malam itu juga digelar Pameran Sketsa Rupa karya I Nyoman Wirata, yang ditujukan untuk merespons seluruh karya puisi dalam buku Blengbong tersebut. Sebanyak 60 karya sketsa dipamerkan. Setelah dipamerkan, masing-masing penyair yang namanya tercantum dalam buku Blengbong berhak memiliki sketsa rupa karya Nyoman Wirata.
Selain Pameran Sketsa Rupa, dalam acara yang dimulai petang pukul 18.00 Wita hingga malam itu juga diisi testimoni anak didik Umbu Landu Paranggi dan Musikalisasi Puisi oleh Kelompok Sekali Pentas. Suasana peluncuran buku Blengbong malam itu terasa begitu guyub. Para penyair seolah ‘temu kangen’ dan bernostalgia dalam acara itu.
Seniwati multitalenta Ni Putu Putri Suastini, yang notabene istri Guber-nur Bali Wayan Koster, diundang secara khusus dalam launching buku Blengbong. Putri Suastini Koster hadir bersama Rektor ISI Denpasar Prof Dr dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana MSn, perwakilan Dinas Kebudayaan Bali, pendongeng Made Taro.
Sejumlah penyair yang hadir, antara lain, GM Sukawidana, Warih Wisatsana, Ketut Syahruwardi Abbas, Wayan Jengki Sunarta, Aan Almaidah, dr Dewa Putu Sahadewa, dr Sthiraprana Duarsa. Hadir pula sutradara Putu Satria Kusuma hingga pelukis Made Budiana. Demikian pula perwakilan keluarga almarhum Umbu Landu Paranggi dari Tanah Sumba, NTT ikut hadir.
Buku Blengbong disusun oleh trio penyair Ketut Syahruwardi Abbas, GM Sukawidana, dan Wayan Jengki Sunarta. Menurut Syahruwardi Abbas, buku Blengbong dikerjakan selama hampir 6 bulan lamanya. Disebutkan, sebelum meninggal, Umbu Landu Paranggi sempat memberikan rekomendasi untuk nama buku tersebut.
Semula, buku tersebut hendak diberi judul ‘Bumbang’, terinspirasi dari jenis tetabuhan Bali yang sudah dimainkan tahun 1985. Namun, Umbu tidak setuju dan meminta judulnya harus memuat 9 huruf. “Umbu kemudian menyodorkan tiga kata sebagai alternatif judul yakni ‘Lampahing’ yang dipetik dari kekawin karya Ida Pedanda Made Sidemen, lalu kata ‘Kepundung’ nama jalan tempat gedung rumah Pos Budaya itu berdiri, dan ‘Lempuyang’ yang merupakan salah satu pura tertua dan dihormati di Bali berada di ketinggian 1.174 meter di atas permukaan laut,” jelas Abbas.
Namun, karena berbagai pertimbangan, tim penyusun akhirnya menggunakan kata Blengbong. Versi Abbas, kata Blengbong berarti hujan yang amat lebat di tengah laut. Jika nelayan menghadapi blengbong di tengah laut, mereka hanya memiliki dua pilihan: mengalah kembali ke pantai atau melanjutkan pelayaran dengan risiko berjumpa hujan badai yang dahsyat. Bagi yang mampu melaluinya, dia akan memiliki kemungkinan untuk bertemu langit yang cerah setelah badai dan ikan-ikan yang mudah ditangkap karena kelaparan.
“Sehingga kami mengambil judul ini dengan inspirasi makna yang sama seperti blengbong. Dalam konteks kepenyairan, blengbong bisa mengacu pada kegelisahan bathin penyair saat melahirkan karya-karya kreatifnya. Ketika Umbu membuat kawah Candradimuka dengan berbagai tingkatan kompetisi, bagi yang tembus sampai Pos Budaya seumpama telah melewati blengbong itu,” tandas penyair asal Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini.
Umbu Landu Paranggi sendiri telah puluhan tahun menggembleng para penyair di Bali, melalui berbagai tahapan dalam rubriknya. Mulai dari kelas ‘Pawai’, ‘Kompetisi’, ‘Kompetisi Promosi’, sebelum akhirnya lolos ke ‘Pos Budaya’. Cara yang dilakukan Umbu ini, kata Abbas, semakin memacu semangat penyair muda yang dikembangkan secara khusus di halaman Pos Remaja.
“Calon penyair yang dianggap berpotensi tapi belum matang, digodok terlebih dulu dalam kelas Pawai. Puncaknya adalah bisa menembus sampai Pos Budaya. Itu akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi penyair muda saat itu,” kenang Abbas.
Sementara itu, Putri Suastini Koster mengapresiasi setinggi-tingginya semangat para penyair. Putri Koster pun mengenang Umbu Landu Paranggi sebagai sosok guru dan juga sahabat. Baginya, Umbu seperti air, angin, bahkan guntur yang menggelegar. “Umbu putra Sumba, tapi di Bali sangat dicintai karena dia memberi ketulusan dan merekatkan semangat para penyair yang mampu menumbuhkan kemandirian,” papar Putri Koster.
Putri Koster menambahkan, buku Blengbong hadir karena rasa cinta kepada Umbu, di mana sang mahaguru merupakan seniman puisi yang fokus dan dikenal dengan karya-karyanya yang melegenda serta dikagumi banyak kalangan. Putri Koster pun berpesan, jangan hanya meneladani Umbu dari puisinya saja, namun lihat juga kepribadiannya yang rendah hati, fokus sebagai perekat.
“Mari kita selami ilmu pengetahuan itu ke tujuh lapisan bumi ke bawah, tetapi tahan diri kita jangan sampai melambung ke langit ke tujuh. Rendah hatilah kita dan biarkan orang lain yang menilai,” terang tokoh perempuan asal Desa Padangsambiang Kaja, Kecamatan Denpasar Barat yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali dan Ketua Dewan Kerajinan Nasional daerah (Dekranasda) Provinsi Bali ini.
Menurut Putri Koster, generasi kini dan masa depan memiliki tugas untuk bekerja dan melahirkan seniman muda yang berkualitas, dengan karya yang melambung tinggi. Dengan memulai dari hal kecil sehingga mampu mendukung hal besar, maka melakukan hal kecil dengan cinta yang besar, sehingga mampu menghasilkan karya besar untuk menjaga warisan leluhur.
“Marilah bagi kita yang masih bisa berkarya untuk dapat menjaga harta tak benda berupa seni, tradisi, serta budaya untuk berkreativitas dan berkreasi yang tidak keluar dari koridor. Dengan diluncurkannya buku Blengbong ini, diharapkan dapat membadaikan gairah para seniman untuk berkreasi dalam memberi motivasi dan kekuatan serta mampu menyehatkan pikiran dan hati,” pesan Putri Koster.
Malam itu, Putri Koster dan sejumlah undangan menyempatkan diri mengunjungi Pameran Sketsa Rupa I Nyoman Wirata, di Gedung Kriya, Taman Budaya Provinsi Bali. Sebelum masuk ke ruang pameran, sejumlah tokoh kehormatan sempat diundang naik ke atas panggung oleh pantia, untuk diberikan buku Belngbong persembahan Jatijagat Kampung Puisi Bali dan buki Trilogi Puisi Merah karya Putri Suastini Koster. Di antaranya, dua wartawan senior, yakni Widminarko dan I Ketut Naria.
Widminarko, wartawan senior Bali Post, yang dianggap berjasa mendatangkan Umbu Landu Paranggi mahaguru penyair berjuluk Presiden Malioboro dekade 1970-an. Sedangkan Ketut Naria adalah Pemimpin Redaksi NusaBali, yang memberikan ruang sastra di media cetak sesuai keinginan Umbu Landu Paranggi menjelang akhir hayatnya. *ind
Bersamaan dengan diluncurkannya buku Blengbong, malam itu juga digelar Pameran Sketsa Rupa karya I Nyoman Wirata, yang ditujukan untuk merespons seluruh karya puisi dalam buku Blengbong tersebut. Sebanyak 60 karya sketsa dipamerkan. Setelah dipamerkan, masing-masing penyair yang namanya tercantum dalam buku Blengbong berhak memiliki sketsa rupa karya Nyoman Wirata.
Selain Pameran Sketsa Rupa, dalam acara yang dimulai petang pukul 18.00 Wita hingga malam itu juga diisi testimoni anak didik Umbu Landu Paranggi dan Musikalisasi Puisi oleh Kelompok Sekali Pentas. Suasana peluncuran buku Blengbong malam itu terasa begitu guyub. Para penyair seolah ‘temu kangen’ dan bernostalgia dalam acara itu.
Seniwati multitalenta Ni Putu Putri Suastini, yang notabene istri Guber-nur Bali Wayan Koster, diundang secara khusus dalam launching buku Blengbong. Putri Suastini Koster hadir bersama Rektor ISI Denpasar Prof Dr dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana MSn, perwakilan Dinas Kebudayaan Bali, pendongeng Made Taro.
Sejumlah penyair yang hadir, antara lain, GM Sukawidana, Warih Wisatsana, Ketut Syahruwardi Abbas, Wayan Jengki Sunarta, Aan Almaidah, dr Dewa Putu Sahadewa, dr Sthiraprana Duarsa. Hadir pula sutradara Putu Satria Kusuma hingga pelukis Made Budiana. Demikian pula perwakilan keluarga almarhum Umbu Landu Paranggi dari Tanah Sumba, NTT ikut hadir.
Buku Blengbong disusun oleh trio penyair Ketut Syahruwardi Abbas, GM Sukawidana, dan Wayan Jengki Sunarta. Menurut Syahruwardi Abbas, buku Blengbong dikerjakan selama hampir 6 bulan lamanya. Disebutkan, sebelum meninggal, Umbu Landu Paranggi sempat memberikan rekomendasi untuk nama buku tersebut.
Semula, buku tersebut hendak diberi judul ‘Bumbang’, terinspirasi dari jenis tetabuhan Bali yang sudah dimainkan tahun 1985. Namun, Umbu tidak setuju dan meminta judulnya harus memuat 9 huruf. “Umbu kemudian menyodorkan tiga kata sebagai alternatif judul yakni ‘Lampahing’ yang dipetik dari kekawin karya Ida Pedanda Made Sidemen, lalu kata ‘Kepundung’ nama jalan tempat gedung rumah Pos Budaya itu berdiri, dan ‘Lempuyang’ yang merupakan salah satu pura tertua dan dihormati di Bali berada di ketinggian 1.174 meter di atas permukaan laut,” jelas Abbas.
Namun, karena berbagai pertimbangan, tim penyusun akhirnya menggunakan kata Blengbong. Versi Abbas, kata Blengbong berarti hujan yang amat lebat di tengah laut. Jika nelayan menghadapi blengbong di tengah laut, mereka hanya memiliki dua pilihan: mengalah kembali ke pantai atau melanjutkan pelayaran dengan risiko berjumpa hujan badai yang dahsyat. Bagi yang mampu melaluinya, dia akan memiliki kemungkinan untuk bertemu langit yang cerah setelah badai dan ikan-ikan yang mudah ditangkap karena kelaparan.
“Sehingga kami mengambil judul ini dengan inspirasi makna yang sama seperti blengbong. Dalam konteks kepenyairan, blengbong bisa mengacu pada kegelisahan bathin penyair saat melahirkan karya-karya kreatifnya. Ketika Umbu membuat kawah Candradimuka dengan berbagai tingkatan kompetisi, bagi yang tembus sampai Pos Budaya seumpama telah melewati blengbong itu,” tandas penyair asal Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini.
Umbu Landu Paranggi sendiri telah puluhan tahun menggembleng para penyair di Bali, melalui berbagai tahapan dalam rubriknya. Mulai dari kelas ‘Pawai’, ‘Kompetisi’, ‘Kompetisi Promosi’, sebelum akhirnya lolos ke ‘Pos Budaya’. Cara yang dilakukan Umbu ini, kata Abbas, semakin memacu semangat penyair muda yang dikembangkan secara khusus di halaman Pos Remaja.
“Calon penyair yang dianggap berpotensi tapi belum matang, digodok terlebih dulu dalam kelas Pawai. Puncaknya adalah bisa menembus sampai Pos Budaya. Itu akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi penyair muda saat itu,” kenang Abbas.
Sementara itu, Putri Suastini Koster mengapresiasi setinggi-tingginya semangat para penyair. Putri Koster pun mengenang Umbu Landu Paranggi sebagai sosok guru dan juga sahabat. Baginya, Umbu seperti air, angin, bahkan guntur yang menggelegar. “Umbu putra Sumba, tapi di Bali sangat dicintai karena dia memberi ketulusan dan merekatkan semangat para penyair yang mampu menumbuhkan kemandirian,” papar Putri Koster.
Putri Koster menambahkan, buku Blengbong hadir karena rasa cinta kepada Umbu, di mana sang mahaguru merupakan seniman puisi yang fokus dan dikenal dengan karya-karyanya yang melegenda serta dikagumi banyak kalangan. Putri Koster pun berpesan, jangan hanya meneladani Umbu dari puisinya saja, namun lihat juga kepribadiannya yang rendah hati, fokus sebagai perekat.
“Mari kita selami ilmu pengetahuan itu ke tujuh lapisan bumi ke bawah, tetapi tahan diri kita jangan sampai melambung ke langit ke tujuh. Rendah hatilah kita dan biarkan orang lain yang menilai,” terang tokoh perempuan asal Desa Padangsambiang Kaja, Kecamatan Denpasar Barat yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali dan Ketua Dewan Kerajinan Nasional daerah (Dekranasda) Provinsi Bali ini.
Menurut Putri Koster, generasi kini dan masa depan memiliki tugas untuk bekerja dan melahirkan seniman muda yang berkualitas, dengan karya yang melambung tinggi. Dengan memulai dari hal kecil sehingga mampu mendukung hal besar, maka melakukan hal kecil dengan cinta yang besar, sehingga mampu menghasilkan karya besar untuk menjaga warisan leluhur.
“Marilah bagi kita yang masih bisa berkarya untuk dapat menjaga harta tak benda berupa seni, tradisi, serta budaya untuk berkreativitas dan berkreasi yang tidak keluar dari koridor. Dengan diluncurkannya buku Blengbong ini, diharapkan dapat membadaikan gairah para seniman untuk berkreasi dalam memberi motivasi dan kekuatan serta mampu menyehatkan pikiran dan hati,” pesan Putri Koster.
Malam itu, Putri Koster dan sejumlah undangan menyempatkan diri mengunjungi Pameran Sketsa Rupa I Nyoman Wirata, di Gedung Kriya, Taman Budaya Provinsi Bali. Sebelum masuk ke ruang pameran, sejumlah tokoh kehormatan sempat diundang naik ke atas panggung oleh pantia, untuk diberikan buku Belngbong persembahan Jatijagat Kampung Puisi Bali dan buki Trilogi Puisi Merah karya Putri Suastini Koster. Di antaranya, dua wartawan senior, yakni Widminarko dan I Ketut Naria.
Widminarko, wartawan senior Bali Post, yang dianggap berjasa mendatangkan Umbu Landu Paranggi mahaguru penyair berjuluk Presiden Malioboro dekade 1970-an. Sedangkan Ketut Naria adalah Pemimpin Redaksi NusaBali, yang memberikan ruang sastra di media cetak sesuai keinginan Umbu Landu Paranggi menjelang akhir hayatnya. *ind
Komentar