KPPI Bali Suarakan Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan
Dalam UU Politik dan UU Pemilu proporsional terbuka–terbatas harus diberlakukan. Dan politisi perempuan jangan ditabukan diberi nomor urut 1 dalam pencalonan.
Kongres Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) di Jogjakarta
DENPASAR, NusaBali
Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) menggelar Kongres V di Jogjakarta. KPPI Bali untuk pertama kalinya mengikuti kongres organisasi yang beranggota para politisi perempuan tersebut. KPPI Bali bakal menyuarakan terwujudnya regulasi untuk hak-hak dan keadilan bagi perempuan politik dalam event-event pemilu.
Perwakilan KPPI Bali langsung dipimpin Ketua-nya Dewa Ayu Sri Wigunawati (Golkar Bali). Ada sekitar 50-an orang peserta inti KPPI Bali dalam kongres tersebut. Ada Ni Made Rahayuni (PDIP Bali), Ni Wayan Sari Galung (PDIP Bali) yang juga Bendahara KPPI Bali, IGA Mas Seri Lestari (Perindo Denpasar), dan sejumlah politisi perempuan Bali.
Kongres KPPI rencananya dibuka Gubernur Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sri Wigunati dihubungi melalui telepon saat berada di Jogjakarta, Sabtu (17/12) siang, mengatakan Kongres KPPI diadakan 17–18 Desember 2016. Banyak agenda yang dibahas KPPI menyangkut politisi perempuan dalam jagat perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. Tema Kongres KPPI, ‘Membangun Strategi Gerakan Politik Perempuan yang Kokoh untuk Indonesia yang Adil, Makmur, dan Bermartabat’. Sri Wigunawati menyebutkan KPPI Bali juga membawa aspirasi ke Kongres KPPI di Jogjakarta.
“Untuk pertama kalinya kami ikut kongres. Kami juga membawa aspirasi–aspirasi anggota KPPI dan perempuan politik Bali,” ujar mantan Sekretaris DPD I Golkar Bali, ini.
Menurut Sri Wigunawati, aspirasi tentang regulasi yang diperjuangkan KPPI Bali di Kongres KPPI menyangkut keterwakilan 30 persen perempuan di dalam UU Politik dan UU Pemilu. “Masih ada batasan-batasan bagi perempuan yang sengaja disusun oleh pemegang kebijakan. Sehingga perempuan tetap saja tidak bisa maksimal keterwakilannya,” kata Sri Wigunawati.
Ke depan, kata Sri Wigunawati, dalam UU Politik dan UU Pemilu proporsional terbuka–terbatas harus diberlakukan. Artinya setiap kelipatan tiga perempuan masuk dalam pencalonan. Dan politisi perempuan diberikan nomor urut 1 jangan ditabukan.
“Selama ini partai politik mentabukan nomor urut 1 buat perempuan. Penjegalan terhadap politisi perempuan secara tidak langsung terus menerus terjadi. Dalam pemilu kedepan peran partai politik lebih besar lagi kalau membela hak-hak politisi perempuan,” tutur perempuan asal Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, ini.
Sri Wigunawati juga mendorong partai politik, ketika hajatan pemilu, kader perempuan sendiri diberikan porsi yang lebih besar untuk maju dan dicalonkan. Meskipun di Bali perempuan politik sudah maksimal sehingga ada belasan perempuan politik dan Srikandi parpol yang memimpin, KPPI Bali tetap menyuarakan politisi perempuan bisa mewarnai panggung, lembaga legislatif maupun eksekutif. “Intinya kaum perempuan politik mau lebih banyak berkiprah dan mewarnai lembaga yang notabene lahir dari proses demokrasi,” tegasnya.
Saat ini Srikandi di Bali yang menduduki jabatan eksekutif selevel bupati ada dua yakni Ni Putu Eka Wiryastuti menjabat Bupati Tabanan dan I Gusti Ayu Mas Sumatri yang menjabat Bupati Karangasem. * nat
Komentar