Kerikil Tajam Beresiko Pada Kerukunan
Chairil Anwar yang dijuluki sebagai ‘Si Binatang Jalang’ adalah penyair terkemuka Indonesia. Buku kumpulan puisinya berjudul ‘Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus’. Kerikil tajam menyiratkan makna bahasa ‘kewaspadaan akan bahaya kecil tetapi berakibat besar’. Kerikil walau berukuran relatif kecil dapat menjadi sandungan yang berakibat luka mendalam! Batu ukuran lebih besar jelas sosok, keberadaan, dan cara menghindari agar tidak tersandung apalagi melukai orang lain!
Ketika kerikil-kerikil tajam berserakan di landskap budaya Bali, eksistensinya menjadi tersandung dan terguncang. Intoleransi adalah contoh kerikil tajam dalam kerukunan. Historisnya, sejak jaman kerajaan umat muslim dan Hindu Bali ‘menyama’, saling menghormati dan bertoleransi. Kesetaraan dalam berbagai wujud dan makna terpelihara turun temurun. Kebebasan menjalankan ibadah agama sarat respek.
Apresiasi berlebih pada atribut budaya asing tidak mustahil dapat menebarkan kerikil tajam pada budaya asali Bali. Contohnya, anggapan bahwa ritual agama Hindu Bali amat rumit dan mahal. Anggapan demikian merupakan asumsi yang tidak didukung fakta dan makna. Asumsi itu sudah pasti akan menyebarkan kerikil tajam pada keyakinan beragama Hindu Bali. Salah satu bahaya yang ditimbulkan adalah peralihan beragama atau berkeyakinan! Perilaku tergesa untuk beralih agama karena kerumitan ritual adalah ketidak-pahaman terhadap ‘pikenoh’ atau makna beragama leluhur.
Efisiensi dalam beragama Hindu Bali tidak mustahil beralih makna menjadi penafian identitas religi. Ketika esensi beragama diukur dengan biaya, tenaga dan waktu, eksistensi identitas kebalian asali yang khas menjadi tidak jelas, tidak unik, atau bahkan tergantikan! Bahaya identitas tergantikan persis seperti pembobolan data di akun bank. Akibatnya, modal yang dimiliki ludes, kehidupan mapan terhempas dan keterlangsungan hidup terputus! Apalagi anggapan bahwa Bali dipenuhi setan adalah cerminan proses berpikir yang kacau, tidak memahami sastra dan etika beragama Hindu Bali. Pemahaman sesat merupakan kerikil tajam yang mengacaukan kerukunan.
Menurut David Gauntlett, sosiolog dan teoritisi politik identitas berkebangsaan Inggris, berpandangan bahwa mengubah identitas dengan pemahaman keliru amat beresiko. Pemahaman keliru merupakan kerikil tajam. Salah satu resikonya: menyuburkan konflik horizontal. Konflik horizontal terjadi antara individu-individu yang memiliki kedudukan yang sama. Contohnya, konflik antar suku bangsa, etnis, agama dan lainnya. Konflik horizontal menyuburkan permusuhan, kerusuhan, ketegangan, atau memperlambat mobilitas sosial dan demografis.
Sebaliknya, penyatuan identitas tidak juga mengurangi resiko. Penyatuan identitas dapat juga berubah menjadi kerikil tajam. Penyatuan identitas berdasarkan ‘soroh’ akan membentuk kelompok eksklusif. Singkat kata, penyatuan atau pengubahan identitas dapat menebarkan kerikil tajam terhadap kerukunan. Ketika kerukunan tersandung, kedamaian dan kesejahteraan menjadi relatif sulit diwujudkan! Konflik sosial yang dapat terjadi, misalnya: perseteruan antar-individu, perundungan antar-kelompok, atau bahkan persaingan antar-keyakinan beragama.
Kerikil tajam merugikan kerukunan itu jelas. Dampak umumnya, persatuan dan kesatuan bangsa terombang-ambing. Masyarakat negara terpecah belah dan konflik berbagai rupa menyebar rata. Kesadaran masyarakat negara akan pentingnya persatuan dan kesatuan melemah. Keduanya ini harus terpelihara, karena tanpa itu negara kesatuan sulit dipertahankan. Terpecahnya keyakinan dan kesadaran akan keluhuran Bali akan berdampak serius. Atribut sosio-budaya-religius Bali akan memudar, melemah, dan akhirnya punah. Kearifan lokal Bali dalam pengelolaan pakraman dengan segala isinya harus terus dikembangkan. Kearifan itu telah membentuk krama Bali dengan kebaliannya yang adiluhung sehingga kesohor di seantero jagat raya. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
1
Komentar