Konsumsi Rokok di Tengah Pandemi dan Krisis Ekonomi
Pak Naldi, seorang pedagang bakso keliling mengeluhkan penurunan hasil penjualannya. Normalnya, pukul 11.00 WITA beliau sudah mampu menjual 20 sampai 30 porsi bakso. Namun, selama setahun pandemi penjualannya turun drastis hampir 50-60 persen. Pendapatan menurun, sementara kebutuhan harus tetap dipenuhi. Namun pada saat yang sama, kebiasaan merokok pak Naldi tidak bisa dihilangkan atau minimal dikurangi.
Penulis : Fendy Apriyadi, SST
Fungsional Statistisi di BPS Kabupaten Jembrana
Nampaknya terjadi anomali, satu sisi mengeluh karena kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Disisi lain, tetap memaksakan diri menikmati batang demi batang rokok dengan mengesampingkan kesulitan yang tengah dialami. Setidaknya kondisi pak Naldi terjadi pada sebagian masyarakat kita.
Ditengah krisis kesehatan sebagai dampak langsung dari pandemi dan krisis ekonomi sebagai dampak ikutannya, ternyata tidak menyurutkan konsumsi masyarakat terhadap rokok. Bahkan sebaliknya, justru mengalami peningkatan. Hal tersebut terkonfirmasi dari hasil survei Komnas Pengendalian Tembakau mengenai perilaku merokok masyarakat. Survei tersebut menunjukkan mayoritas responden dengan pendapatan kurang dari Rp 5 juta tetap mempertahankan konsumsi rokoknya saat pandemi yakni sebesar 48,5 persen. Hanya 38,1% responden yang mengurangi konsumsi rokoknya. Sementara lebih dari 13 persen responden justru mengaku meningkat konsumsi rokoknya.
Ditelisik dari data kemiskinan terbaru (September 2020) yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), faktanya rokok merupakan komoditi yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan setelah beras. Lebih tinggi dari konsumsi telur, daging, mie instan, bensin, listrik, pendidikan dan lain sebagainya dari kebutuhan dasar. Persentase sumbangan konsumsi rokok sebesar 13,50 persen di perkotaan dan 11,85 persen di perdesaan. Angka ini tercatat mengalami kenaikan masing-masing 2,33 persen di perkotaan dan 1,48 persen di perdesaan terhadap kondisi September 2019.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan. Garis kemiskinan per rumah tangga adalah gambaran besarnya nilai rata-rata rupiah minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak dikategorikan miskin. Secara rata-rata, garis kemiskinan per rumah tangga pada September 2020 adalah sebesar Rp2.216.714,-/bulan. Persentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen setara dengan jumlah 27,55 juta orang. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 2,76 juta orang terhadap kondisi September 2019. Berdasarkan data ini, dapat diketahui konsumsi rumah tangga miskin terhadap rokok yakni sekitar Rp 260.000,- sampai dengan Rp 300.000,- / bulan.
Tidak jauh berbeda dengan kondisi nasional, di Bali sendiri rokok menempati posisi kedua setelah beras yang memberikan sumbangan konsumsi terbesar pada garis kemiskinan bulan september 2020. Yakni sebesar 8,78 persen di perkotaan dan 7,98 persen di perdesaan. Jika garis kemiskinan Bali sebesar Rp 438.167,- per orang per bulan, maka pengeluaran rokok per orang per bulan sekitar 34 ribu sampai 39 ribu rupiah. Setara dengan 3 - 3,5 kg beras per orang per bulan.
Jika dihubungkan dengan penularan covid-19, berbagai penelitian justru menyatakan perokok memiliki resiko lebih tinggi untuk tertular dibandingkan seseorang yang tidak merokok. Mereka yang tertular covid-19 akan menjadi tanggungan pemerintah dalam pengobatannya, sehingga secara langsung akan menghabiskan atau berpengaruh banyak terhadap anggaran pengeluaran negara. Padahal, saat ini pemerintah sedang berusaha keras untuk melakukan penghematan-penghematan untuk meredam efek guncangan ekonomi yang dialami masyarakat akibat pandemi.
Menariknya, bersamaan dengan peningkatan sumbangan konsumsi rokok terhadap garis kemiskinan justru sumbangan konsumsi beras mengalami penurunan. Dari 20,35 persen di perkotaan dan 25,82 persen di perdesaan pada september 2019 menjadi 16,58 persen di perkotaan dan 21,89 persen di perdesaan. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Lantaran dengan kondisi pendapatan yang susah dan daya beli yang rendah, serta peningkaatan jumlah pengangguran seharusnya masyarakat lebih mengutamakan penggunaan uangnya untuk konsumsi yang lebih rasional. Yaitu fokus untuk kebutuhan dasar dan memperhatikan pola hidup sehat agar memiliki imun yang lebih kuat menghadapi penularan covid-19.
Melihat kondisi ini, pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap perilaku merokok masyarakat. Masih berdasarkan Survei Komnas Pengendalian Tembakau, ternyata sebagian responden mengungkapkan bahwa pertimbangan pembatasan merokok di rumah atau bahkan berhenti dan mengurangi merokok karena pertimbangan keluarga dan anak. Sehingga, sosialisasi dan edukasi yang masif melalui pendekatan keluarga dapat dijadikan solusi disamping upaya fiskal dan nonfiskal lain yang telah diupayakan pemerintah. Perokok aktif perlu diberikan pemahaman bahwasanya kebiasaan mereka berpengaruh buruk terhadap kesehatan orang-orang disekitar mereka disamping berdampak pada permasalahan pemenuhan kebutuhan yang lebih utama. Sedangkan anak-anak dapat diberikan pengetahuan mengenai perilaku merokok melalui kurikulum sekolah, agar nantinya dapat mengingatkan orang tuanya untuk mengurangi atau berhenti dari kebiasaan merokok.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar