Bendesa Se-Karangasem Deklarasi Tolak Sampradaya
Deklarasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali di Pura Silayukti kemarin ditandai penandatanganan Piagam Silayukti berisi 5 butir pernyataan.
AMLAPURA, NusaBali
Bendesa Adat se-Kabupaten Karangasem deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’, yang dituangkan dalam bentuk Piagam Silayukti. Deklarasi untuk menjaga adat, tradisi, dan budaya Bali ini dilakukan di jaba Pura Dang Kahyangan Silayukti kawasan Banjar Segara, Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem pada Anggara Pon Mrakih, Selasa (1/6) pagi.
Deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’ yang digelar Selasa pagi sekitar pukul 09.00 Wita itu dihadiri 152 bendesa adat dari total 190 desa adat se-Kabupaten Karangasem. Deklarasi ini dikoordinasikan langsung Bendesa Madya Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Karangasem, I Ketut Alit Suardana, didampingi Penyarikan Madya I Gede Eka Primawata, dan para Bendesa Alitan MDA Kecamatan se-Karangasem. Hadir juga Petajuh Agung Kelembagaan MDA Provinsi Bali Made Wena, Kepala Bidang III Hukum Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali Ida Bagus Rai, dan undangan lainnya.
Pantauan NusaBali, acara deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’, Selasa pagi, diawali dengan persembahyangan bersama yang diantarkan pamangku Pura Dang Kahyangan Silayukti, Jro Mangku Gede Antara. Habis persembahyangan, langsung dilanjut kegiatan pokok deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’ di jaba Pura Dang Kahyangan Silayukti.
Deklarasi ditandai ritual membentangkan spanduk bertuliskan: ‘Deklarasi Piagam Silayukti, dengan ini Menyatakan Sikap Menolak dan Melarang Segala Bentuk Kegiatan serta Keberadaan Aliran Sampradaya Non Dresta Bali di Wewidangan Desa Adat di Kabupaten Karangasem’. Selanjutnya, Bendesa Madya MDA Kabupaten Karangasem I Ketut Alit Suardana membacakan Piagam Silayukti berisikan lima butir, yang diikuti seluruh bendesa adat.
Acara deklarasi diakhiri dengan penandatanganan Piagam Silayukti yang dilakukan Bendesa Madya MDA Kabupaten Karangasem I Ketut Alit Suardana, Penyarikan Madya MDA Kabupaten Karangasem I Gede Eka Primawata, dan Kepala Bidang III Hukum Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali Ida Bagus Rai.
Piagam Silayukti yang dideklarasikan para bendesa adat se-Kabupaten Karangasem, Selasa kemarin, berisikan 5 butir. Pertama, memegang teguh agama, adat istiadat, tradisi, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal yang berlandaskan Catur Dresta di Bali. Kedua, menjaga dengan segenap jiwa dan raga warisan adiluhung desa adat benteng utama.
Ketiga, menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kehormatan desa adat. Keempat, menolak dan melarang segala bentuk aliran Sampradaya Non Dresta Bali di wawidangan desa adat. Kelima, mempertahankan setiap jengkal tanah Bali agar senantiasa tetap trepti, santhi, dan jagadhita sekala-niskala.
Bendesa Madya MDA Kabupaten Karangasem, I Ketut Alit Suardana, menegaskan desa adat berhak mengatur dan melarang kegiatan di wewidangan (wilayah) desa adat, agar sesuai Catur Dresta Bali dan awig-awig. "Untuk Sampradaya Non Dresta Bali, terutama krama yang ikut aliran itu, terlebih dulu dibina agar kembali madesa adat. Sebab, pengikutnya krama Hindu. Jika telah dilakukan pembinaan ternyata ti-dak ada solusi, barulah dilakukan penolakan," papar Alit Suardana.
Alit Sudarsana menegaskan, Sampradaya Non Dresta Bali ditolak kare-na jika dibiarkan, kegiatan aliran tersebut bisa menghancurkan Bali dari dalam. “Sebagai umat sedharma, yang utama adalah melestarikan adat, budaya, dan Hindu di Bali, dengan cara bakti, satya, dan wirang,” tandas Alit Sudarsana.
Sementara itu, Petajuh Agung Kelembagaan MDA Provinsi Bali, I Wayan Wena, mengapresiasi semangat persatuan dan kesatuan Bendesa Adat se-Kabupaten Karangasem menggelar deklarasi dan, berkumpul membuat semaya (perjanjian) menolak ajaran Sampradaya Non Dresta Bali. "Mereka yang membawa ajaran tidak sesuai dresta, kita lawan," tegas Made Wena.
Made Wena juga mengingatkan agar tidak semata-mata melarang, karena bagaimana pun pengikut Sampradaya adalah umat sedharma. Langkah pertama perlu didekati dan dilakukan pembinaan, tujuannya agar mereka kembali madesa adat sesuai adat, agama, dan budaya Bali. "Selama ini, yang kita lawan adalah mereka yang membawa aliran dari luar, jangan sampai tumbuh di Bali," tandas mantan Ketua Panwaslu Bali ini.
Sementara, Ketua PHDI Karangasem, Dr Ni Nengah Rustini, juga menegaskan penolakan adanya Sampradaya Non Dresta Bali. "Bali itu ada karena adat, budaya, dan Hindu selalu hidup berdampingan sesuai Catur Dresta," terang Nengah Rustini. Jika Catur Dresta diganggu, Sampradaya Non Dresta Bali tidak akan mendapatkan tempat hidup di Bali. Sebab, keberadaan adat dan tradisi merupakan pelaksana agama.
Sedangkan Bendesa Alitan MDA Kecamatan Salat, I Komang Sujana, mengaku jajarannya telah mendahului gelar deklarasi Tolak Sampradaya Non Dresta Bali, di jaba Pura Pasar Agung kawasan Banjar Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem tepat Purnamaning Sadha pada Buda Paing Krulut, Rabu (26/5) lalu. Menurut Komang Sujana, deklarasi saat itu dihadiri 27 bendesa adat se-Kecamatan Selat.
Jauh sebelumnya, para Bendesa Adat se-Kabupaten Jembrana juga deklrasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali, 4 Mei 2021 lalu, sebagai bagian upaya menjaga tradisi, adat, dan budaya Bali. Deklarasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali saat itu dilaksanakan para bendesa adat se-Kabupaten Jembrana di halaman GOR Lila Bhuana Denpasar kawasan Desa Dangin Puri Kangin, Denpasar Utara.
Deklarasi dilakukan setelah para bendesa adat se-Kabupaten Jembrana mengikuti Studi Tiru Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Puspem Badung (kawasan Kelurahan Semnpidi, Kecamatan Mengwi) dan IPAL Suwung (Denpasar Selatan), terkait rencana kerja sama pengolahan air limbah domestik antara Perusda Bali dan Desa Adat se-Kabupaten Jem-brana.
Kegiatan deklarasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali tersebut diikuti 64 bendesa adat se-Jembrana. Deklarasi dipimpin langsung oleh Bendesa Madya MDA Kabupaten Jembrana, I Nengah Subagia, yang juga Ben-desa Adat Baler Bale Agung, Kecamatan Negara, Jembrana. Dalam aksi deklarasi itu, para bendesa adat se-Jembrana foto bersama dengan membentangkan sebuah spanduk bertuliskan ‘Melarang Keberadaan dan Kegiatan Sampradaya Non Dreta Bali di Wewidangan Desa Adat se-Kabupaten Jembrana’. Deklarasi juga diisi penandatanganan penyataan dari para bendesa adat se-Jembrana. *k16
Deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’ yang digelar Selasa pagi sekitar pukul 09.00 Wita itu dihadiri 152 bendesa adat dari total 190 desa adat se-Kabupaten Karangasem. Deklarasi ini dikoordinasikan langsung Bendesa Madya Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Karangasem, I Ketut Alit Suardana, didampingi Penyarikan Madya I Gede Eka Primawata, dan para Bendesa Alitan MDA Kecamatan se-Karangasem. Hadir juga Petajuh Agung Kelembagaan MDA Provinsi Bali Made Wena, Kepala Bidang III Hukum Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali Ida Bagus Rai, dan undangan lainnya.
Pantauan NusaBali, acara deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’, Selasa pagi, diawali dengan persembahyangan bersama yang diantarkan pamangku Pura Dang Kahyangan Silayukti, Jro Mangku Gede Antara. Habis persembahyangan, langsung dilanjut kegiatan pokok deklarasi ‘Tolak Sampradaya Non Dresta Bali’ di jaba Pura Dang Kahyangan Silayukti.
Deklarasi ditandai ritual membentangkan spanduk bertuliskan: ‘Deklarasi Piagam Silayukti, dengan ini Menyatakan Sikap Menolak dan Melarang Segala Bentuk Kegiatan serta Keberadaan Aliran Sampradaya Non Dresta Bali di Wewidangan Desa Adat di Kabupaten Karangasem’. Selanjutnya, Bendesa Madya MDA Kabupaten Karangasem I Ketut Alit Suardana membacakan Piagam Silayukti berisikan lima butir, yang diikuti seluruh bendesa adat.
Acara deklarasi diakhiri dengan penandatanganan Piagam Silayukti yang dilakukan Bendesa Madya MDA Kabupaten Karangasem I Ketut Alit Suardana, Penyarikan Madya MDA Kabupaten Karangasem I Gede Eka Primawata, dan Kepala Bidang III Hukum Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali Ida Bagus Rai.
Piagam Silayukti yang dideklarasikan para bendesa adat se-Kabupaten Karangasem, Selasa kemarin, berisikan 5 butir. Pertama, memegang teguh agama, adat istiadat, tradisi, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal yang berlandaskan Catur Dresta di Bali. Kedua, menjaga dengan segenap jiwa dan raga warisan adiluhung desa adat benteng utama.
Ketiga, menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kehormatan desa adat. Keempat, menolak dan melarang segala bentuk aliran Sampradaya Non Dresta Bali di wawidangan desa adat. Kelima, mempertahankan setiap jengkal tanah Bali agar senantiasa tetap trepti, santhi, dan jagadhita sekala-niskala.
Bendesa Madya MDA Kabupaten Karangasem, I Ketut Alit Suardana, menegaskan desa adat berhak mengatur dan melarang kegiatan di wewidangan (wilayah) desa adat, agar sesuai Catur Dresta Bali dan awig-awig. "Untuk Sampradaya Non Dresta Bali, terutama krama yang ikut aliran itu, terlebih dulu dibina agar kembali madesa adat. Sebab, pengikutnya krama Hindu. Jika telah dilakukan pembinaan ternyata ti-dak ada solusi, barulah dilakukan penolakan," papar Alit Suardana.
Alit Sudarsana menegaskan, Sampradaya Non Dresta Bali ditolak kare-na jika dibiarkan, kegiatan aliran tersebut bisa menghancurkan Bali dari dalam. “Sebagai umat sedharma, yang utama adalah melestarikan adat, budaya, dan Hindu di Bali, dengan cara bakti, satya, dan wirang,” tandas Alit Sudarsana.
Sementara itu, Petajuh Agung Kelembagaan MDA Provinsi Bali, I Wayan Wena, mengapresiasi semangat persatuan dan kesatuan Bendesa Adat se-Kabupaten Karangasem menggelar deklarasi dan, berkumpul membuat semaya (perjanjian) menolak ajaran Sampradaya Non Dresta Bali. "Mereka yang membawa ajaran tidak sesuai dresta, kita lawan," tegas Made Wena.
Made Wena juga mengingatkan agar tidak semata-mata melarang, karena bagaimana pun pengikut Sampradaya adalah umat sedharma. Langkah pertama perlu didekati dan dilakukan pembinaan, tujuannya agar mereka kembali madesa adat sesuai adat, agama, dan budaya Bali. "Selama ini, yang kita lawan adalah mereka yang membawa aliran dari luar, jangan sampai tumbuh di Bali," tandas mantan Ketua Panwaslu Bali ini.
Sementara, Ketua PHDI Karangasem, Dr Ni Nengah Rustini, juga menegaskan penolakan adanya Sampradaya Non Dresta Bali. "Bali itu ada karena adat, budaya, dan Hindu selalu hidup berdampingan sesuai Catur Dresta," terang Nengah Rustini. Jika Catur Dresta diganggu, Sampradaya Non Dresta Bali tidak akan mendapatkan tempat hidup di Bali. Sebab, keberadaan adat dan tradisi merupakan pelaksana agama.
Sedangkan Bendesa Alitan MDA Kecamatan Salat, I Komang Sujana, mengaku jajarannya telah mendahului gelar deklarasi Tolak Sampradaya Non Dresta Bali, di jaba Pura Pasar Agung kawasan Banjar Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem tepat Purnamaning Sadha pada Buda Paing Krulut, Rabu (26/5) lalu. Menurut Komang Sujana, deklarasi saat itu dihadiri 27 bendesa adat se-Kecamatan Selat.
Jauh sebelumnya, para Bendesa Adat se-Kabupaten Jembrana juga deklrasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali, 4 Mei 2021 lalu, sebagai bagian upaya menjaga tradisi, adat, dan budaya Bali. Deklarasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali saat itu dilaksanakan para bendesa adat se-Kabupaten Jembrana di halaman GOR Lila Bhuana Denpasar kawasan Desa Dangin Puri Kangin, Denpasar Utara.
Deklarasi dilakukan setelah para bendesa adat se-Kabupaten Jembrana mengikuti Studi Tiru Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Puspem Badung (kawasan Kelurahan Semnpidi, Kecamatan Mengwi) dan IPAL Suwung (Denpasar Selatan), terkait rencana kerja sama pengolahan air limbah domestik antara Perusda Bali dan Desa Adat se-Kabupaten Jem-brana.
Kegiatan deklarasi tolak Sampradaya Non Dresta Bali tersebut diikuti 64 bendesa adat se-Jembrana. Deklarasi dipimpin langsung oleh Bendesa Madya MDA Kabupaten Jembrana, I Nengah Subagia, yang juga Ben-desa Adat Baler Bale Agung, Kecamatan Negara, Jembrana. Dalam aksi deklarasi itu, para bendesa adat se-Jembrana foto bersama dengan membentangkan sebuah spanduk bertuliskan ‘Melarang Keberadaan dan Kegiatan Sampradaya Non Dreta Bali di Wewidangan Desa Adat se-Kabupaten Jembrana’. Deklarasi juga diisi penandatanganan penyataan dari para bendesa adat se-Jembrana. *k16
1
Komentar