MUTIARA WEDA: Prarabdha dan Jivanmukta
Jnānodayāt purārabdham karma jnānānna nasyati, Adattvā svaphalam laksyam uddistyotsrstabānavat. (Vivekacudamani, 452)
Seperti anak panah yang telah dilepas menuju target, karmaphala yang telah berjalan sebelum hadirnya pengetahuan tidak bisa dihilangkan oleh pengetahuan itu tanpa memberikan hasil.
SEBAGIAN besar teks Upanisad menyatakan bahwa saat realisasi diri diraih, orang tidak lagi diikat oleh karmanya (baik sancita, prarabdha maupun kriyamana karma). Orang yang telah mencapai Yang Tertinggi, mencapai pengetahuan ‘Aham Brahmasmi - I am Brahman’ tidak akan diikat lagi oleh penyebab dari semua karma, demikian juga akibatnya. Berdasarkan narasi ini, kemudian muncul pertanyaan, ‘di mana logika adanya seorang jivanmukta?’ Apakah mungkin ada yang namanya seorang jivanmukta (orang yang telah mencapai pembebasan semasih hidup atau masih berbadan)? Bagaimana mungkin orang yang mencapai pembebasan masih memiliki badan, di mana badan itu sendiri adalah produk dari dunia materi? Artinya, badan ini secara otomatis masih terikat oleh karmaphala, karena tubuh yang terbentuk dari unsur prakrti sepenuhnya di bawah hukum universal ini. Tidakkah ini bertentangan?
Pertanyaan ini muncul dari mereka yang meyakini bahwa orang mencapai pembebasan ketika telah tidak berbadan atau telah meninggal. Seperti halnya, ketika tanah liat tidak ada, maka secara otomatis pot yang terbuat dari tanah liat itu tidak akan pernah ada. Sepanjang ada badan, sepanjang itu ia berada di bawah pengaruh hukum karma. Jika masih di bawah hukum karma, maka pembebasan tidak akan pernah diraih. Sehingga, paham ini melihat bahwa orang akan mencapai pembebasan sesaat setelah melepaskan badannya. Sementara teks menyebut ada yang namanya jivanmukta. Ini dilihat sebagai bentuk ketidakkonsistenan dari teks Upanisad. Untuk menjawab ini, Adi Sankaracharya menjawabnya dengan uraian teks di atas.
Seorang pemburu membidik seekor macan. Namun, sesaat setelah anak panah itu terlepas dari busurnya, si pemburu merealisasikan ternyata bidikannya bukan macan, melainkan seekor sapi. Dia takut membunuh sapi karena agama melarangnya. Meskipun demikian, anak panah itu tidak akan mengurungkan niatnya untuk mencapai sasaran dan mengenai sapi itu. Contoh lain, seseorang oleh karena alasan tertentu membenturkan kepalanya di batu sampai terluka. Namun, sesaat setelah luka itu dialami, dia tiba-tiba mencapai Realisasi Diri. Meskipun demikian, lukanya akan tetap ada dan rasa sakit oleh karena luka itu masih tetap dirasakan. Dikatakan bahwa prarabdha karma itu bukan Jiva Srsti (hukum jiva), melainkan Isvara Srsti (hukum Isvara). Prarabdha karma diberikan kepada kita oleh karena hukum isvara, sehingga badan ini juga berada di dalam hukum isvara.
Ada seorang yang mengidap penyakit ‘tidur berjalan’ (sleep-walker) sedang bermimpi. Dia mulai berjalan pada saat bermimpi. Oleh karena jalan yang dilalui berlubang, dia jatuh sampai kakinya patah. Kemudian dia bangun dari tidur, jiva srsti-nya hilang, namun dia harus mem-plester kakinya yang patah, karena kaki yang patah itu bagian dari isvara srsti. Dengan cara yang sama, meskipun jiva telah terlepas dari segala bentuk vasana dan terbebas dari hukum karma, tetapi badan yang telah ada pada kehidupan ini yang sempat terpengaruh oleh prarabdha karma akan terus berlanjut meskipun telah meraih pembebaan (jivanmukta).
Uraian ini tentu muncul dari stand point empirik, sementara dari stand point atma (jiva), mereka yang telah menyadari ‘I am Brahman’, tidak lagi terikat oleh karma apapun, termasuk dari prarabdha itu sendiri. Apa yang tampak dialami oleh seorang jivanmukta terhadap praradbha itu tidak memiliki nilai. Seperti orang yang telah terbangun dari tidur mimpi, kemudian menceritakan mimpinya tersebut. Ketika dia telah terbangun, dia sepenuhnya terlepas dari pengaruh kesadaran mimpi, tetapi masih bisa bercerita tentang mimpi itu. Cerita akan mimpi itu sendiri tidak ada nilainya, karena kebenarannya hanyalah kebenaran mimpi. Orang yang mencapai jivanmukta badannya akan tetap terpengaruh oleh karmaphala, mengalami susah dan senang, sehat dan sakit, dan sebagainya, karena hukum badan (isvara srsti) harus terus dilanjutkan. Yang berbeda di sini adalah, akibat yang dihasilkan oleh karma pada badan baginya tidak ubahnya seperti mimpi, tidak real. Ia akan tetap mengalami susah dan senang, tetapi rasa itu tidak lagi mengikatnya. Rasa susah dan senang itu seolah-olah cerita mimpi baginya. *
I Gede Suwantana
Komentar