Perajin Gambelan Bali Hanya Bertahan
Pandemi, Kegiatan Seni dan Upacara Terbatas
Kebanyakan banjar atau desa adat melaksanakan piodalan secara singkat dan tak pakai gong atau gembelan.
GIANYAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 yang merajam Bali sejak Maret 2020, mengakibatkan banyak aktivitas masyarakat terpaksa digelar secara terbatas. Keterbatasan tak hanya pada kegiatan upacara Hindu Bali, namun juga kegiatan seni budaya, terutama yang beriringan dengan gambelan Bali.
Kondisi itu turut mengimbas pada produksi instrumen gamelan tradisional Bali, terutama di Gianyar, salah satunya Kendang. Permintaan pasar terhadap alat gambelan Bali, terutama untuk sekaa gong maupun pribadi, menurun drastis. Bahkan dalam sebulan, perajin Kendang tidak didatangi satu pembeli. Namun perajin hanya didatangi satu sampai dua warga yang hanya nyerpis atau memperbaiki Kendang.
Seperti diungkapkan perajin Kendang Made Ancut,67, bersama putranya Wayan Ardana,42, di Banjar Getas Kawan, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.
Perajin ini menekuni kerajinan Kendang secara turun temurun. "Saat ini di Banjar Getas, Desa Buruan, ada sekitar 5 KK pembuat Kendang," jelasnya saat ditemui NusaBali, Minggu (30/5).
Made Ancut mengakui semua perajin Kendang di banjarnya sedang didera kelesuan parah. Kondisi ini dampak dari aktivitas seni budaya Bali, seperti lomba Baleganjur, hampir tidak ada. Selain itu, upacara keagamaan Hindu yang sangat terbatas menjadikan gambelan Bali tak terlalu dibutuhkan. Karena, sesuai imbauan pemerintah, masyarakat harus mencegah kerumunan. Akibatnya, kebanyakan banjar atau desa adat melaksanakan piodalan secara singkat dan tak pakai gong atau gembelan. "Dampaknya, penjualan Kendang ikut menurun drastis," jelas Made Ancut.
Menurutnya, dalam situasi normal, sebulan bisa menjual sampai lima pasang (10 buah) Kendang gamelan gong. Penjualan tersebut belum termasuk warga yang nyerpis Kendang, dalam bentuk mengganti kulit sampai 5 pasang Kendang. ‘’Namun saat ini, saya hanya dapat nyepis Kendang tiga pasang. Harga nyerpis sepasang Rp 800.000, tergantung besar kecilnya kendang," imbuh Wayan Ardana.
Made Ancut menjelaskan, dirinya biasa menjual Kendang gamelan biasa, Rp 5,4 juta. Sedangkan Kendang Angklung sepasang Rp 3,2 juta. Harga ini, disebutnya, bertahan sejak tahun 2018, dan belum pernah naik.
Dia menyebut usaha kerajinan Kendang ini telah menghadapi tantangan yang tak ringan. Antara lain,
bahan baku jenis kayu Nangka kini semakin langka. Sebab untuk bahan Kendang, biasanya dipakai kayu Nangka yang sudah tua dan kering. "Karena di Bali sulit dapat bahan baku ini. Kayu Nangka kami beli yang didatangkan penjual dari Jawa Timur, dalam bentuk gelondongan sudah kering," jelasnya.
Proses pengerjaan sepasang Kendang memerlukan waktu sekitar 8 hari. Mengingat proses dari awal pembentukan kayu sampai memasang tali dan kulit cukup rumit membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Dia mengaku tidak mau membuat Kendang asal jadi. Karena sangat kentara jika dibuat secara asal-asalan. ‘’Kualitas Kendang ada pada suaranya, dan rata-rata penabuh tahu suara Kendang yang bagus," bebernya.
Made Ancut mengaku, dalam setiap hajatan PKB (Pesta Kesenian Bali) baik di tingkat kabupaten dan Provinsi Bali, dipastikan sebagian Kendang buatannya ikut digunakan pentas oleh para seniman. Selain membuat Kendang, Wayan Ardana dan ayahnya, juga membuat Kulkul (kentongan). Satu Kentongan yang lazim dipakai di bale banjar, dengan tinggi 2 meter dihargai Rp 2 juta/buah. Kulkul harga termurah Rp 1,2/buah juta. "Kalau Kulkul jarang ada pesanan, karena warga yang membutuhkan juga jarang. Tapi kami punya stok sampai 100 kulkul," ujarnya.
Sedangkan untuk stok Kendang ada sekitar 150 buah. Selain pesanan Kendang untuk seniman tabuh di Bali, juga ada pesanan Kendang oleh krama asal Bali yang tinggal di Lampung, Sulawesi. Bahkan dia pernah mengirim tiga pasang Kendang ke Amerika.
Made Ancut bersama putranya dan perajin lain berharap pandemi segara reda, sehingga aktivitas seni budaya bisa kembali normal. Selain itu, dirinya juga berharap ada bantuan dari pemerintah seperti halnya mesin peralatan untuk mendukung proses produksi kerajinan ini. "Kami perajin berharap situasi segera pulih dan aktifitas budaya kembali normal, sehingga kami memiliki pemasukan," harapnya. *nvi
Kondisi itu turut mengimbas pada produksi instrumen gamelan tradisional Bali, terutama di Gianyar, salah satunya Kendang. Permintaan pasar terhadap alat gambelan Bali, terutama untuk sekaa gong maupun pribadi, menurun drastis. Bahkan dalam sebulan, perajin Kendang tidak didatangi satu pembeli. Namun perajin hanya didatangi satu sampai dua warga yang hanya nyerpis atau memperbaiki Kendang.
Seperti diungkapkan perajin Kendang Made Ancut,67, bersama putranya Wayan Ardana,42, di Banjar Getas Kawan, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.
Perajin ini menekuni kerajinan Kendang secara turun temurun. "Saat ini di Banjar Getas, Desa Buruan, ada sekitar 5 KK pembuat Kendang," jelasnya saat ditemui NusaBali, Minggu (30/5).
Made Ancut mengakui semua perajin Kendang di banjarnya sedang didera kelesuan parah. Kondisi ini dampak dari aktivitas seni budaya Bali, seperti lomba Baleganjur, hampir tidak ada. Selain itu, upacara keagamaan Hindu yang sangat terbatas menjadikan gambelan Bali tak terlalu dibutuhkan. Karena, sesuai imbauan pemerintah, masyarakat harus mencegah kerumunan. Akibatnya, kebanyakan banjar atau desa adat melaksanakan piodalan secara singkat dan tak pakai gong atau gembelan. "Dampaknya, penjualan Kendang ikut menurun drastis," jelas Made Ancut.
Menurutnya, dalam situasi normal, sebulan bisa menjual sampai lima pasang (10 buah) Kendang gamelan gong. Penjualan tersebut belum termasuk warga yang nyerpis Kendang, dalam bentuk mengganti kulit sampai 5 pasang Kendang. ‘’Namun saat ini, saya hanya dapat nyepis Kendang tiga pasang. Harga nyerpis sepasang Rp 800.000, tergantung besar kecilnya kendang," imbuh Wayan Ardana.
Made Ancut menjelaskan, dirinya biasa menjual Kendang gamelan biasa, Rp 5,4 juta. Sedangkan Kendang Angklung sepasang Rp 3,2 juta. Harga ini, disebutnya, bertahan sejak tahun 2018, dan belum pernah naik.
Dia menyebut usaha kerajinan Kendang ini telah menghadapi tantangan yang tak ringan. Antara lain,
bahan baku jenis kayu Nangka kini semakin langka. Sebab untuk bahan Kendang, biasanya dipakai kayu Nangka yang sudah tua dan kering. "Karena di Bali sulit dapat bahan baku ini. Kayu Nangka kami beli yang didatangkan penjual dari Jawa Timur, dalam bentuk gelondongan sudah kering," jelasnya.
Proses pengerjaan sepasang Kendang memerlukan waktu sekitar 8 hari. Mengingat proses dari awal pembentukan kayu sampai memasang tali dan kulit cukup rumit membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Dia mengaku tidak mau membuat Kendang asal jadi. Karena sangat kentara jika dibuat secara asal-asalan. ‘’Kualitas Kendang ada pada suaranya, dan rata-rata penabuh tahu suara Kendang yang bagus," bebernya.
Made Ancut mengaku, dalam setiap hajatan PKB (Pesta Kesenian Bali) baik di tingkat kabupaten dan Provinsi Bali, dipastikan sebagian Kendang buatannya ikut digunakan pentas oleh para seniman. Selain membuat Kendang, Wayan Ardana dan ayahnya, juga membuat Kulkul (kentongan). Satu Kentongan yang lazim dipakai di bale banjar, dengan tinggi 2 meter dihargai Rp 2 juta/buah. Kulkul harga termurah Rp 1,2/buah juta. "Kalau Kulkul jarang ada pesanan, karena warga yang membutuhkan juga jarang. Tapi kami punya stok sampai 100 kulkul," ujarnya.
Sedangkan untuk stok Kendang ada sekitar 150 buah. Selain pesanan Kendang untuk seniman tabuh di Bali, juga ada pesanan Kendang oleh krama asal Bali yang tinggal di Lampung, Sulawesi. Bahkan dia pernah mengirim tiga pasang Kendang ke Amerika.
Made Ancut bersama putranya dan perajin lain berharap pandemi segara reda, sehingga aktivitas seni budaya bisa kembali normal. Selain itu, dirinya juga berharap ada bantuan dari pemerintah seperti halnya mesin peralatan untuk mendukung proses produksi kerajinan ini. "Kami perajin berharap situasi segera pulih dan aktifitas budaya kembali normal, sehingga kami memiliki pemasukan," harapnya. *nvi
Komentar