MUTIARA WEDA: Kebodohan sebagai Musuh?
ekah ṣatrurna dvitīyo’sti ṣatrurajñana tulyah puruṣasya rājan, yenāvṛtah kurute sampravṛttah pāpāni karmāṇi sudāruṇāni. (Sarasamucchaya, 399)
Hanya satu sesungguhnya musuh itu, yakni kebodohan. Tidak ada yang menyamai pengaruh kebodohan itu. Orang yang dicengkeram kebodohan akan melakukan perbuatan buruk.
MENGAPA kebodohan dikatakan musuh? Mengapa hanya itu saja dikatakan sebagai musuh? Apa salahnya kebodohan sehingga harus dijadikan atau dianggap musuh? Mengapa orang bodoh akan melakukan perbuatan buruk? Awalnya, keraguan muncul ketika membaca teks di atas. Mengapa? Karena itu adalah sebuah kesimpulan yang kita tidak ketahui kronologinya, alasan apa yang mendahuluinya sehingga disimpulkan seperti demikian. Namun, teks di atas secara tak tertulis berpesan bahwa, meskipun teks di atas sebuah kesimpulan, namun kita yang membaca hendaknya menjadikan itu sebagai sebuah hipotesis yang perlu diuji kebenarannya di lapangan. Jika kesimpulannya sama, maka teks di atas menjadi sebuah teori yang kuat bagi kita. Tetapi, jika memunculkan teori baru, teks di atas tetap menjadi landasan atas munculnya teori baru itu. Teks di atas mengajak kita untuk meneliti, bukan membabi buta mempercayai.
Mari kita analisis permasalahan yang dihadirkan teks di atas. Mengapa kebodohan menjadi musuh? Bukankah banyak orang yang tidak belajar dunia ini sehingga mereka bisa dikategorikan sebagai musuh. Orang yang tidak penah belajar membuat orang tidak tahu apa-apa. Apakah sama pengertian antara ‘tidak tahu’ dan ‘kebodohan’? Ini secara sepintas tampak sama, tetapi memiliki perbedaan yang mendasar. Jika orang menyadari dirinya ‘tidak tahu’, maka kondisi ini memunculkan sebuah probabilitas untuk ‘menjadi tahu’. Menyadari diri ‘tidak tahu’ artinya membangkitkan usaha untuk ‘menjadi tahu’. Agar ‘menjadi tahu’, alat yang digunakan satu-satunya adalah belajar. Hanya dengan belajar orang menjadi tahu. Berbeda dengan kebodohan. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak menyadari dirinya ‘tidak tahu’. Konsekuensinya ada dua, yakni pertama, dia benar-benar tidah tahu; kedua, dia tidak tahu, tetapi merasa seolah-olah tahu. Orang bodoh tidak mengerti bahwa dirinya ‘tidak tahu’, sehingga tidak ada niat untuk belajar. Inilah meng
apa kebodohan dikatakan sebagai musuh, karena oleh karena kebodohan, orang tidak memiliki niat untuk belajar.
Banyak orang yang tidak pernah belajar apa-apa, tidak bisa membaca dan menulis, tetapi apakah mereka secara otomatis akan melakukan perbuatan buruk? Rasanya, di desa-desa terpencil kondisi ini masih terjadi. Tetapi, apakah mereka yang ‘tidak tahu’ otomatis melakukan perbuatan buruk? Bukankah banyak orang yang ‘belog’ (tidak tahu) itu ‘polos’ (apa adanya)? Mereka tanpa tendensi apa-apa bisa menolong orang yang membutuhkan, selalu welas asih dan yang sejenisnya. Mereka ‘tidak tahu’ hanya karena ketiadaan informasi, bukan karena ‘ketidak-ingintahuannya’. Orang yang diselimuti kebodohan tidak akan memiliki viveka, tidak punya pertimbangan yang bagus, self-oriented, instinctive murni, dan sejenisnya, sehingga kualitas inilah yang mengantarkan mereka melakukan perbuatan buruk. Sementara orang yang ‘tidak tahu’ oleh karena ketiadaan informasi, bisa saja viveka-nya tetap jalan, dan kualitas diri lainnya menonjol sehingga perbuatan baik bisa menjadi bagiannya.
Dalam teks Yoga Sutra Patanjali juga disebutkan bahwa dasar dari klesa (kekotoran yang berjumlah 5) yang menyebabkan yoga itu susah dilaksanakan adalah kebodohan. Kebodohan memunculkan jenis klesa lainnya. Jika kebodohan bisa diterangi, maka klesa yang lainnya akan dengan mudah diatasi. Jika kebodohan tidak bisa disinari, maka klesa yang lainnya akan semakin menekan. Inilah mengapa kebodohan dalam konteks ini dinyatakan sebagai musuh. Lalu, apakah perlu kita memusuhi orang bodoh? Teks di atas dengan tegas menyatakan bahwa yang menjadi musuh adalah kebodohan, sehingga yang perlu dimusuhi dan diperangi adalah kebodohannya, bukan manusianya. Manusia bodoh tidak bisa dimusuhi atau diperangi, sebab manusianya sendiri secara hakiki memiliki aspek kesadaran diri (atman) yang sama. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana menghadirkan sinar agar kebodohan itu diterangi. Sehingga dengan demikian, jika ada orang memusuhi atau memerangi orang bodoh, dipastikan orang itu juga berada di dalam kebodohan, karena yang dimusuhi bukan kebodohannya tetapi orangnya. Gelap tidak bisa menerangi kegelapan. *
I Gede Suwantana
1
Komentar