Alumni IFP se-Dunia Kolaborasi Wujudkan Keadilan Sosial di Masa Pandemi
Global IFP Alumni Meeting 2021 Digelar di Sanur, Bali
IFP
MICE
IFP Global Meeting
Ford Foundation
Global Social Justice Conference 2021
Inna The Grand Bali Beach Hotel
DENPASAR, Nusabali.com - Pandemi Covid-19 menimbulkan masalah ketidakadilan sosial berkaitan dengan akses kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Karena itulah Alumni IFP (International Fellowship Program) Indonesia menggagas pertemuan bagi alumni di seluruh dunia di ajang Global IFP Alumni Meeting 2021 di Sanur, Denpasar, Bali.
Kegiatan Global Alumni IFP Meeting yang dilaksanakan secara hibrid (online/daring dan offline/luring)ini merupakan bagian dari International Social Justice Forum (ISJF) 2021 yang dilakukan sejak tanggal 8-11 Juni di Denpasar Bali.
Pada Rabu (9/6/2021) dilakukan photo contest dan diskusi film terkait isu keadilan sosial yang menghadirkan narasumber dari penggiat seni tanah air yang berdomisili di Indonesia dan Australia. Selanjutnya 10-11 Juni akan dilakukan Global Social Justice Conference 2021 yang juga akan dihadiri oleh alumni IFP dari seluruh dunia secara online dan offline.
“Di masa pandemi ini ada persoalan-persoalan keadilan sosial berkaitan dengan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Ini yang menjadi perhatian kami bersama,” kata oleh Agus Nahrowi, alumnus IFP Global yang juga Ketua Presidium Indonesian Social Justice Network (ISJN), Rabu (9/6/2021).
Pertemuan luring IFP Global Meeting ini diselenggarakan di Inna Grand Bali Beach Denpasar, dengan melibatkan 15 alumni program yang tersebar dari sembilan angkatan (cohort) yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia
Dalam pertemuan hari pertama, Selasa (8/6/2021), 94 peserta hadir: 15 partisipan alumni IFP secara luring dan 79 partisipan lainnya hadir secara daring. Sebanyak 79 partisipan itu terdiri dari para alumni IFP Global yang berasal dari China, Brazil, Kenya, Afrika Selatan, Nigeria, Meksiko, India, Guatemala, Chili, Vietnam, Bangladesh, Tanzania, dan Filipina. Selain para alumni, para peserta Youth Social Justice Camp asal Bali hadir sebanyak 5 orang.
Pertemuan dibuka oleh Agus Nahrowi dan menyambut semua peserta Global IFP Alumni meeting dari seluruh dunia. Pertemuan dipandu oleh Tolhas Damanik dan Lilis Suryani serta Rini Oktavia.
Dalam sesi berbagi pengalaman pada hari pertama, peserta berbagi cerita tentang best practices dari masing-masing komunitas yang mereka geluti. Eric Divinagracia dari Filipina misalnya, menceritakan bagaimana para seniman berpartisipasi dalam menyelenggarakan pentas untuk memecah kebuntuan akibat tekanan yang dialami warga. Bagi Eric, selama pandemi orang cenderung terisolasi satu sama lain. “For us, this action is a movement from isolation to
connection,” kata Eric.
Hal ini senada dengan sambutan pembukaan yang disampaikan Gusrowi sebagai Ketua Presidium ISJN 2021-2025. Ia menyatakan bahwa peran alumni sangat penting terutama di saat pandemi.
“Kunci untuk keluar dari pandemi adalah kita bersama-sama melakukan kolaborasi, dan transformasi agar mampu keluar dari kondisi sulit yang tercipta saat pandemi,” tutur Gusrowi.
Meskipun konektivitas selama pandemi terganggu dalam skala global, penggunaan media sosial untuk berkolaborasi dan berbagi pengalaman merupakan salah satu jalan alternatif. Anu Verma dari India mengungkapkan upaya untuk keluar dari situasi sulit selama pandemi dilakukannya bersama komunitasnya, dengan membangun aliansi di India yang melibatkan warga desa, dan pemimpin komunitas.
Anu saat ini aktif memobilisasi aliansi di berbagai negara bagian di India. Mereka mengorganisir proses perawatan, penyediaan obat-obatan, dan membantu orang-orang yang kekurangan makanan serta mereka yang kehilangan pekerjaan.
Anu secara khusus menghubungkan banyak pihak untuk bekerja sama untuk menolong anak-anak, terutama dari berbagai wilayah yang jauh dari jangkauan tangan negara.
Tantangan untuk melayani anaka-anak yang berkebutuhan khusus khususnya yang menderita cerebal palsy atau lumpuh otak selama pandemi juga merupakan tantangan tersendiri bagi Nuraida dari Sahabat Difabel Aceh, karena mereka tidak mendapatkan terapi langsung.
“Saat ini kami kuatkan sesama orangtua, supaya support group-nya juga terbentuk, dan saling menguatkan,” kata Nuraida. Saat ini Nuraida dan komunitasnya mendampingi 45 anak cerebral palsy di Kabupaten Aceh Besar.
Di Indonesia, alumni IFP dari NTT, Dominggus Elcid Li hadir langsung di Bali. Dia menceritakan pengalaman dalam mencari solusi alternatif selama pandemi dengan mendirikan sebuah laboratorium untuk pemeriksaan PCR secara gratis. Proyek sosial tersebut bernama Laboratorium Kesehatan Masyarakat.
“Kami bisa membantu membangun sistem dengan bekerja bersama, dan kami berupaya memecahkan satu kesulitan yang bahkan negara pun sedang beradaptasi untuk memecahkannya,” kata Elcid Li, yang juga adalah Direktur Eksekutif IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change).
Laboratorium ini melibatkan banyak relawan seperti perawat, dokter, pemuda, aktivis sosial, dan ilmuwan, dengan bekerja sama dengan pemerintah. Sistem baru ini berhasil dan menjadi percontohan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Saat ini Laboratorium Kesehatan Masyarakat mereka telah memeriksa 14 ribu sampel tes usap (swab test) secara gratis dengan metode pool test menggunakan mesin PCR. “Kita tidak bisa hanya memeriksa mereka yang mampu saja, jika ingin bersama-sama selamat keluar dari pandemi,” lanjut Elcid Li.
Menjaga aspek penghidupan warga selama pandemic juga didiskusikan dalam event ini. “Kami menganggap usaha untuk menjaga kesehatan mental merupakan bagian penting yang dilakukan saat pandemi, dan kami berupaya menjaga kondisi kesehatan mental kami,” ujar Gusti, alumni SJYC (Social Justice Youth Camp) Bali 2019.
Menurutnya, anak muda bisa terlibat dalam mengurangi beban pandemik dengan menjaga hubungan dekat dalam keluarga dan teman-teman sejawatnya.
Contoh menarik lain datang dari Baubau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara., Frida Yanty bersama komunitasnya mendirikan Baubau Millenial Farmers. “Kami mengembangkan urban farming, dan melalui program ini kami berupaya membangun kohesi sosial,” ujar Frida.
Perigrin, seorang aktivis sosial dari Filipina, yang kini bekerja sama dengan pemerintah pusat negerinya telah melakukan pemberdayaan warga untuk berbagi makanan sehat bagi mereka yang membutuhkan. Program berbagi makanan menargetkan untuk membantu keluarga-keluarga miskin, orang-orang rentan, anak-anak, korban bencana, dan orang tua.
Sedangkan alumni IFP Berliani Yanty, dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, bercerita bahwa ia mengorganisir orang-orang kaya atau orang mampu untuk turut bersama membantu orang-orang rentan. “Sebagai PNS di sektor perikanan, saya menyarankan agar warga tetap mengonsumsi makanan sehat, khususnya ikan,” kata pegawai pemerintah di bidang kelautan ini.
Upaya untuk menjaga sektor penghidupan selama pandemi juga dilakukan Wardah dari Aceh yang mempunyai misi memperjuangkan perdagangan kopi yang fair. Ia bersikukuh fair trade (perdagangan fair) lebih dibutuhkan saat pandemi ketimbang free market (perdagangan bebas). Ia menghubungkan orang-orang dalam satu rantai produksi dan pemasaran melalui pendirian koperasi. “Saat ini ada 21 kooperasi, dengan 20 ribu petani kopi yang tergabung,” katanya.
Ia mengorganisir sehimpunan petani kopi lokal yang selama ini tidak diuntungkan dari praktik pasar bebas. Menurutnya, para petani sangat tedampak dengan kuncitara global (global lockdown) yang membuat banyak warung kopi tutup di sejumlah kota besar, sehingga hal inilangsung berpengaruh pada penurunan omzet petani kopi. Melalui koperasi, para petani memperoleh perlindungan, baik selama proses produksi maupun pada fase pemasaran.
Sementara itu Andi Yani, Mantan Ketua Presidium ISJN 2015-2020 menyatakan agar para alumni dapat berbuat lebih dari yang sudah dilakukan, yakni dengan membangun kerja kolaboratif dengan jaringan global. Ia menyerukan untuk memanfaatkan konektivitas global demi kolaborasi yang antarkawasan di seluruh dunia.
Menyambut tawaran ini, Riza dari Filipina mengajak agar kolaborasi itu tidak hanya dilakukan di antara para ilmuwan, tetapi juga dengan melibatkan komunitas warga. Ia mencontohkan kerjanya dalam hal biodiversitas. “Kita bisa berjejaring dalam skala Asia atau pun dalam regional Asia Tenggara,” katanya.
Menyambut gagasan cemerlang ini, Guangshen dari China yang bekerja di bidang hukum juga menyatakan bahwa dalam situasi pandemik ini upaya untuk mempromosikan keadilan sosial harus terus dilakukan. “Covid-19 cannot stop us to fight for social injustice,” kata Guangshen.
Panggilan untuk menyorot ketidakadilan sosial ini sebangun dengan gagasan dari Alumni IFP Indonesia yang bekerja terus-menerus dalam berbagai bidang untuk mengikis masalah sosial ini. Mereka menuliskan secara ilmiah problem ketidakadilan sosial ini sebagai bentuk terbalik untuk menghadirkan keadilan sosial. Hasilnya akan diterbitkan dengan penyunting Elcid Li.
IFP sendiri adalah program merupakan program beasiswa terbesar dari The Ford Foundation, yaitu organisasi nirlaba berpusat di New York, Amerika Serikat (AS). Di Indonesia, IFP dikelola oleh The Indonesian International Education Foundation (IIEF).
Khusus program ini, IIEF menyalurkan IFP untuk menyediakan beasiswa pascasarjana bagi anggota masyarakat yang kurang memiliki kesempatan menempuh pendidikan tinggi. Penduduk di daerah terpencil, masyarakat adat, masyarakat terpinggirkan, masyarakat di kawasan konflik atau pasca konflik pun berhak dan berkesempatan besar meraih beasiswa ini.
Mereka yang juga diberikan kesempatan sama adalah para mahasiswa dari golongan minoritas etnik, penderita cacat fisik atau sensorik, serta kaum perempuan. Persyaratannya tidak sulit. Para pelamar harus berkewarganegaran harus berkewarganegaraan Indonesia dan menetap di Indonesia.
Selain harus sudah menyelesaikan program studi sarjana S-1 atau S-2 dan tidak semata-mata berdasar prestasi akademik, melainkan punya peran aktif dalam masyarakat (leadership), memiliki rencana kerja untuk menerapkan pelajaran sesuai tujuan atau visi dan misi Ford Foundation. *mao
1
Komentar