Riset CISDI: Rokok Rugikan Ekonomi Rp27,7 T
JAKARTA, NusaBali
Riset dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan konsumsi rokok menyebabkan kerugian ekonomi, khususnya sistem kesehatan dan keluarga, senilai Rp27,7 triliun.
Studi yang dilakukan pada 2019 ini mencatat angka yang jauh lebih besar dari penelitian Soewarta Kosen pada 2015 lalu yang menyebut kerugian ditimbulkan sebesar Rp13,7 triliun.
Riset memeriksa sumber permasalahan dalam struktur pembiayaan BPJS Kesehatan dengan mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan untuk penyakit-penyakit mematikan namun dapat dicegah yang disebabkan oleh konsumsi rokok.
Dari sana, riset menemukan biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86,3 dan 87,6 persen dari keseluruhan beban biaya BPJS Kesehatan.
Selain itu, menemukan korelasi antara jumlah perokok dan tekanan biaya kesehatan. Ketika prevalensi perokok meningkat, beban biaya kesehatan akibat rokok terhadap seluruh populasi di Indonesia juga meningkat pada 2019.
Menurut CISDI, sebagian dari defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disebabkan oleh penyakit yang timbul akibat rokok selama beberapa dekade ke belakang.
Untuk itu, Cisdi menilai BPJS Kesehatan idealnya perlu mengalokasikan setidaknya Rp10,5 triliun hingga Rp15,5 triliun untuk menambal beban biaya kesehatan akibat penyakit yang ditimbulkan dari rokok. Angka tersebut mewakili sekitar 61,76 hingga 91,8 persen dari biaya defisit total JKN pada 2019.
Penganggaran tersebut mengacu pada standar yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghitung pengeluaran langsung yang terkait perilaku merokok (smoking attributable direct expenditure/SDE) dan mengestimasi beban biaya kesehatan akibat rokok.
"Sayangnya keterbatasan data di Indonesia tidak memungkinkan kami untuk mendapatkan angka relative risk untuk Indonesia sehingga kami harus merujuk ke beberapa angka dari negara lain, seperti India dan Amerika Serikat," ujar Chief Strategist CISDI Yurdhina Meilissa seperti dikutip cnnindonesia.com dari rilis, Selasa (8/6).
Sebagai informasi, rokok tergolong dalam produk yang dikenakan cukai karena membahayakan kesehatan masyarakat. Pada Februari lalu, Kementerian Keuangan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5 persen.
Kenaikan menyasar segmen Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Sementara segmen rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif cukai sudah mempertimbangkan dampak konsumsi rokok bagi kesehatan masyarakat, perkembangan industri, hingga nasib para buruh dan petani tembakau ke depan. *
Riset memeriksa sumber permasalahan dalam struktur pembiayaan BPJS Kesehatan dengan mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan untuk penyakit-penyakit mematikan namun dapat dicegah yang disebabkan oleh konsumsi rokok.
Dari sana, riset menemukan biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86,3 dan 87,6 persen dari keseluruhan beban biaya BPJS Kesehatan.
Selain itu, menemukan korelasi antara jumlah perokok dan tekanan biaya kesehatan. Ketika prevalensi perokok meningkat, beban biaya kesehatan akibat rokok terhadap seluruh populasi di Indonesia juga meningkat pada 2019.
Menurut CISDI, sebagian dari defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disebabkan oleh penyakit yang timbul akibat rokok selama beberapa dekade ke belakang.
Untuk itu, Cisdi menilai BPJS Kesehatan idealnya perlu mengalokasikan setidaknya Rp10,5 triliun hingga Rp15,5 triliun untuk menambal beban biaya kesehatan akibat penyakit yang ditimbulkan dari rokok. Angka tersebut mewakili sekitar 61,76 hingga 91,8 persen dari biaya defisit total JKN pada 2019.
Penganggaran tersebut mengacu pada standar yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghitung pengeluaran langsung yang terkait perilaku merokok (smoking attributable direct expenditure/SDE) dan mengestimasi beban biaya kesehatan akibat rokok.
"Sayangnya keterbatasan data di Indonesia tidak memungkinkan kami untuk mendapatkan angka relative risk untuk Indonesia sehingga kami harus merujuk ke beberapa angka dari negara lain, seperti India dan Amerika Serikat," ujar Chief Strategist CISDI Yurdhina Meilissa seperti dikutip cnnindonesia.com dari rilis, Selasa (8/6).
Sebagai informasi, rokok tergolong dalam produk yang dikenakan cukai karena membahayakan kesehatan masyarakat. Pada Februari lalu, Kementerian Keuangan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5 persen.
Kenaikan menyasar segmen Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Sementara segmen rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif cukai sudah mempertimbangkan dampak konsumsi rokok bagi kesehatan masyarakat, perkembangan industri, hingga nasib para buruh dan petani tembakau ke depan. *
1
Komentar