Parta Minta Tak Masukkan Sembako Jadi Objek PPN
PDIP Akan Kritisi Rencana Pemerintah Naikkan PPN Jadi 12 Persen
PDIP bakal menugaskan anggotanya yang kompeten di DPR RI untuk mengawal Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum Pajak (RUU KUP).
JAKARTA, NusaBali
Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako mendapat tanggapan dari anggota Komisi VI DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bali I Nyoman Parta. Parta meminta agar pemerintah meninjau ulang rencana tersebut. Sebab, penerapan pajak hanya akan menambah beban ekonomi masyarakat yang sedang kesulitan saat ini. Sementara anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno, menyatakan PDI Perjuangan berjanji mengkritik argumentasi pemerintah jika rapat mengenai PPN.
“Situasi ekonomi sedang sangat sulit, dan daya beli juga menurun. Jangan masukkan sembako sebagai objek PPN,” kata Parta di Kompleks Parlemen, Kamis (10/6).
Parta sangat menyayangkan jika hal itu terjadi. Lantaran pajak barang mewah justru dihilangkan. “Pajak untuk barang mewah seperti mobil dihilangkan. Ini malah mau mengenakan pajak sembako, ini terbalik,” tegas Parta.
Parta mengkalkulasi, jika PPN jadi diterapkan terhadap kebutuhan pokok dengan prosentase yang cukup besar, maka akan berdampak pada harga sembako. Akibatnya, bisa memicu instabilitas ekonomi di tingkat bawah.
“Coba bayangkan jika PPN 12 persen. Untuk 1 kilogram beras yang awal harga Rp 10.000 bisa jadi Rp 11.200. Ini tentu memberatkan, apalagi jika bahan pokok itu dibuat untuk produk UMKM, tentu akan memberatkan pula,” kata Parta.
Semestinya, lanjut politisi dari PDIP ini, pemerintah berpikir bahwa ketika sembako dikenakan PPN maka akan berefek ke barang konsumsi lainnya. Padahal, masyarakat tidak hanya butuh beras. Mereka juga butuh minyak, gula, kopi, dan lainnya sehingga akan bisa banyak kena PPN.
Parta berharap agar pemerintah mengurungkan rencana tersebut dan tidak memasukkan sembako sebagai objek PPN, karena dampaknnya akan sangat luas. Terlebih bagi rakyat jelata. “Sembako adalah kebutuhan paling vital yang bisa berdampak luas, jika pemerintah salah melakukan pendekatan. Sebaiknya urungkan dan hilangkan klausul itu,” imbuh Parta.
Sementara anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno, menyatakan PDI Perjuangan berjanji mengkritik argumentasi pemerintah jika rapat mengenai PPN berlangsung.
“Tentu nanti kita kritisi argumentasi dan kalkulasi yang diusulkan pemerintah. Sebagai bagian dari paket reformasi perpajakan, kenaikan PPN, apalagi bila menyasar produk-produk kebutuhan pokok masyarakat, akan memiliki efek detrimental. Daya beli akan turun, orang akan merasa menjadi lebih miskin,” kata Hendrawan seperti dilansir detikcom, Kamis (10/6).
Menurut Hendrawan, saat ini adalah ujian bagi negara untuk menunjukkan daya beri kepada masyarakat. Daya beri itu bisa mengerek daya beli masyarakat.
“Dalam kondisi resesi, negara justru sedang diuji ‘daya berinya’. Daya beri negara akan menciptakan daya beli masyarakat. Itu sebabnya, kita menerapkan kebijakan fiskal ekspansif dan agresif. Tujuannya menciptakan kekuatan untuk melawan pelemahan ekonomi (counter-cyclical). Defisit APBN diperbesar, keran utang dibuka, dan BI ikut skema berbagi beban (burden sharing),” kata Hendrawan.
Hendrawan menyebut PPN jenis pajak tidak langsung. Semua menanggung beban tanpa melihat tingkat pendapatan masyarakat.
“PPh (pajak penghasilan) lebih bernuansa keadilan. Di negara-negara maju, pajak penghasilan progresif yang menjadi jangkar terpeliharanya kesejahteraan negara,” ujarnya.
Hendrawan menyebut PDIP bakal menugaskan anggotanya yang kompeten untuk mengawal RUU KUP. “Nanti kami pasti menugaskan anggota-anggota dengan literasi tinggi untuk mengawal pembahasan RUU,” katanya.
Setidaknya, ada 11 item barang kebutuhan pokok yang bakal kena PPN. Salah satunya beras. Hal tersebut tertuang dalam rumusan RUU Ketentuan Umum Pajak (KUP). Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. *k22
“Situasi ekonomi sedang sangat sulit, dan daya beli juga menurun. Jangan masukkan sembako sebagai objek PPN,” kata Parta di Kompleks Parlemen, Kamis (10/6).
Parta sangat menyayangkan jika hal itu terjadi. Lantaran pajak barang mewah justru dihilangkan. “Pajak untuk barang mewah seperti mobil dihilangkan. Ini malah mau mengenakan pajak sembako, ini terbalik,” tegas Parta.
Parta mengkalkulasi, jika PPN jadi diterapkan terhadap kebutuhan pokok dengan prosentase yang cukup besar, maka akan berdampak pada harga sembako. Akibatnya, bisa memicu instabilitas ekonomi di tingkat bawah.
“Coba bayangkan jika PPN 12 persen. Untuk 1 kilogram beras yang awal harga Rp 10.000 bisa jadi Rp 11.200. Ini tentu memberatkan, apalagi jika bahan pokok itu dibuat untuk produk UMKM, tentu akan memberatkan pula,” kata Parta.
Semestinya, lanjut politisi dari PDIP ini, pemerintah berpikir bahwa ketika sembako dikenakan PPN maka akan berefek ke barang konsumsi lainnya. Padahal, masyarakat tidak hanya butuh beras. Mereka juga butuh minyak, gula, kopi, dan lainnya sehingga akan bisa banyak kena PPN.
Parta berharap agar pemerintah mengurungkan rencana tersebut dan tidak memasukkan sembako sebagai objek PPN, karena dampaknnya akan sangat luas. Terlebih bagi rakyat jelata. “Sembako adalah kebutuhan paling vital yang bisa berdampak luas, jika pemerintah salah melakukan pendekatan. Sebaiknya urungkan dan hilangkan klausul itu,” imbuh Parta.
Sementara anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno, menyatakan PDI Perjuangan berjanji mengkritik argumentasi pemerintah jika rapat mengenai PPN berlangsung.
“Tentu nanti kita kritisi argumentasi dan kalkulasi yang diusulkan pemerintah. Sebagai bagian dari paket reformasi perpajakan, kenaikan PPN, apalagi bila menyasar produk-produk kebutuhan pokok masyarakat, akan memiliki efek detrimental. Daya beli akan turun, orang akan merasa menjadi lebih miskin,” kata Hendrawan seperti dilansir detikcom, Kamis (10/6).
Menurut Hendrawan, saat ini adalah ujian bagi negara untuk menunjukkan daya beri kepada masyarakat. Daya beri itu bisa mengerek daya beli masyarakat.
“Dalam kondisi resesi, negara justru sedang diuji ‘daya berinya’. Daya beri negara akan menciptakan daya beli masyarakat. Itu sebabnya, kita menerapkan kebijakan fiskal ekspansif dan agresif. Tujuannya menciptakan kekuatan untuk melawan pelemahan ekonomi (counter-cyclical). Defisit APBN diperbesar, keran utang dibuka, dan BI ikut skema berbagi beban (burden sharing),” kata Hendrawan.
Hendrawan menyebut PPN jenis pajak tidak langsung. Semua menanggung beban tanpa melihat tingkat pendapatan masyarakat.
“PPh (pajak penghasilan) lebih bernuansa keadilan. Di negara-negara maju, pajak penghasilan progresif yang menjadi jangkar terpeliharanya kesejahteraan negara,” ujarnya.
Hendrawan menyebut PDIP bakal menugaskan anggotanya yang kompeten untuk mengawal RUU KUP. “Nanti kami pasti menugaskan anggota-anggota dengan literasi tinggi untuk mengawal pembahasan RUU,” katanya.
Setidaknya, ada 11 item barang kebutuhan pokok yang bakal kena PPN. Salah satunya beras. Hal tersebut tertuang dalam rumusan RUU Ketentuan Umum Pajak (KUP). Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. *k22
Komentar