Mega: Saya Terima Gelar Ini dengan Tanggung Jawab
JAKARTA, NusaBali
Presiden RI ke-5 periode 2001-2004 yang kini Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri, 74, mengatakan pemberian gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) dari Universitas Pertahanan (Unhan) dia terima dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Ini sebagai bagian pengabdian kepada bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk memperkuat tradisi intelektual dalam seluruh aspek ke-hidupan. Hal ini disampaikan Megawati dalam orasinya saat dikukuhkan sebagai Profesor Kehormatan Ilmu Pertahanan Bidang Kepemimpinan Strategi dalam Rapat Senat Terbuka di Aula Merah Putuh Unhan kawasan Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/6) siang. Megawati menjelaskan, dulu Bung Karno sebagai Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia juga memulai perjuangan dengan membaca ketika bergumul dengan gagasan Indonesia Merdeka.
Menurut Megawati, Bung Karno juga menjadikan buku sebagai jendela perkembangan peradaban dunia. Bagi Bung Karno, budaya literasi melalui buku menjadi tempat untuk terus melakukan dialektika. Dengan demikian, tradisi pemimpin pembelajar harus menjadi bagian dari kultur bangsa.
Atas dasar itu pula, Megawati mengaku menerima ketika beberapa guru besar memberikan rekomendasi gelar Profesor Kehormatan buat dirinya. Rekomendasi tersebut kemudian disetujui oleh Senat Akademik dan Dewan Guru Besar Unhan, lalu berproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, kata Megawati, surat keputusan pemberian gelar Profesor Kehormatan disampaikan kepada dirinya. “Hal ini sekaligus merupakan bentuk kepercayaan yang diberikan kepada saya, sehingga pemberian gelar kehormatan tersebut saya terima dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,” ujar putri sulung Bung Karni ini.
Megawati menyebutkan, kepemimpinan strategik tidak diukur dari keberhasilan masa lalu, namun harus berkorelasi dengan masa kini, sekaligus melekat tanggung jawab untuk masa depan. "Di sinilah keberhasilan Kepemimpinan Strategik harus mampu menghadirkan keberhasilan yang linear di masa lalu, masa kini, dan keberhasilan di masa yang akan datang,” jelas Megawati.
Dalam perspektif kekinian, kata Megawati, kepemimpinan strategik setidaknya dihadapkan pada tiga perubahan besar yang mendisrupsi kehidupan manusia. Pertama, perubahan pada tataran kosmik sebagai bauran kemajuan luar biasa ilmu Fisika, Biologi, Matematika, dan Kimia. “Hal ini memunculkan teknologi baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya seperti rekayasa atomik,” katanya.
Kedua, revolusi di bidang genetika yang bisa mengubah keseluruhan landscape tentang kehidupan ke arah yang tidak bisa dibayangkan dampaknya, manakala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dijauhkan dari nilai kemanusiaan. Ketiga, adalah kemajuan di bidang teknologi realitas virtual. Dalam hal ini, seseorang dapat menikmati pengembaraan ke seluruh pelosok dunia, bahkan ke luar angkasa, tanpa meninggalkan rumahnya sama sekali.
Ketiga perubahan itu, kata Presiden, hadir dalam realitas dunia yang masih diwarnai berbagai bentuk ketidakadilan akibat praktek penjajahan gaya baru. Namun, tetap pada esensi yang sama, yakni perang hegemoni, perebutan sumber daya alam dan perebutan pasar, diikuti daya rusak lingkungan yang semakin besar.
Megawati pun mengutip sejumlah pakar mengenai teori kepemimpinan strategik, seperti Stephen Gerras, Olson, dan Simmerson terkait psikologi kognitif, system thinking, dan game theory. Bagi Megawati, pendapat mereka penting lantaran menjelaskan bagaimana kepemimpinan strategik bekerja: harus memiliki kemampuan memahami sistem berperilaku, memiliki cara pandang multi dimensional yang jernih untuk bisa menafsirkan interaksi dalam kerumitan realitas, kemampuan mengkalkulasi dengan cermat setiap langkah dan pergerakan.
“Oleh karena itu, kepemimpinan bukan hanya disebut sebagai suatu ilmu, tetapi juga sebuah seni, lantaran sifatnya yang selalu ada dalam dialektika bersama dengan aktor-aktor lain,” papar Megawati. Politisi sepuh kelahiran Jogjakarta, 23 Januari 1947, ini juga mengutip pendapat John Adair, Hughes, dan Beatty untuk menjelaskan bagaimana karakteristik kepemimpinan strategik yang dibutuhkan.
Menurut Megawati, kepemimpinan strategik memerlukan sense of direction berupa keyakinan atas arah tujuan visi yang akan dicapai. Untuk itu, diperlukan gagasan, terobosan, membuka ruang kreatif, ruang daya cipta sebagai esensi peningkatan taraf kebudayaan masyarakat.
Megawati memaparkan, pemimpin strategik bukanlah sosok yang suka melakukan pencitraan semata. Namun, harus turun ke bawah dan langsung bersentuhan dengan rakyat kecil. “Kepemimpinan strategik juga tidak bisa berdiri atas dasar pencitraan,” tegas wabnita tangguh yang sempat tida periode duduk di Fraksi PDI DPR RI era Orde Baru ini.
Mengutip Jim Collins, Megawati mengatakan kepemimpinan strategik merupakan kepemimpinan yang membangun organisasi yang jauh lebih penting daripada sekadar popularitas diri. Kepemimpinan strategik memerlukan kerja turun ke bawah dan langsung bersentuhan dengan rakyat bawah atau wong cilik.
“Sebab, ukuran kemajuan suatu bangsa, parameter ideologis justru diambil dari kemampuan negara di dalam mengangkat nasib rakyat yang paling miskin dan terpinggirkan. Itulah tanggung jawab etik dan moral terbesar seorang pemimpin, menghadirkan terciptanya keadilan sosial.”
Megawati lalu mengajak agar kritik dan otokritik dilakukan, agar hakekat kepemimpinan strategik bagi bangsa dan negara dipahami esensi dan implementasinya. “Saya mengajak seluruh elemen bangsa, khususnya para pemimpin di jajaran pemerintahan negara, baik pusat maupun daerah, pimpinan partai politik, TNI, Polri, dan seluruh aparatur sipil negara (ASN) untuk mengambil hikmah terbesar tentang makna kepemimpinan strategik yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” ajak Megawati, yang sempat 2 tahun menjabaw Wakil Presiden RI 1999-2001. *k22
Komentar