Bali Makin Miskin?
Alkisah, seorang penyair dari Jakarta, tahun 1950-an, berkunjung ke Bali. Ia telanjur dibuai oleh julukan Bali sebagai Pulau Surga, tempat dewata bersemayam. Ia berangkat ke Bali disertai keyakinan, orang-orang Bali yang ramah-ramah tentu hidup berkecukupan.
Di pulau surga, mereka pasti hidup bahagia, selalu dilimpahi sandang pangan. Tidur di Bali Hotel di jantung Denpasar, si penyair kecewa ketika suatu pagi ia mendongakkan kepala di bibir jendela. Ia kaget melihat pengemis berbaju dekil mengais-ngais di tempat sampah mencari remah-remah untuk dimakan. “Bagaimana mungkin di pulau surga bisa ada pengemis?” tanya hatinya. Tentu sama saja artinya dengan, bagaimana bisa di pulau kahyangan, tempat bidadari dan dewata senantiasa bersanding, bisa dijumpai orang-orang miskin?
Bali miskin di tahun 1950-an tentu tak sama dengan Bali miskin masa kini, ketika industri turisme menjadi tulang punggung Bali. Jika dulu seorang penyair bingung menyaksikan kemiskinan di Pulau Surga, kini orang-orang bingung melihat kemiskinan ketika turisme memberi kenikmatan dan kemajuan tiada tara.
Kemiskinan selalu menjadi perbincangan menarik di belahan dunia manapun, di negara kaya super-modern, sampai tempat-tempat yang dihuni warga buta huruf kelaparan. Di Bali juga begitu, senantiasa menarik kemiskinan diperbincangkan. Tahun 2003 Bali miskin, semakin miskin, ditulis ramai-ramai oleh tujuh pengamat, dalam sebuah buku tipis berjudul Kemiskinan dan Pemiskinan Bali. Buku itu diluncurkan di Denpasar, Sabtu, 03/05/2003, diterbitkan oleh Forum Komunikasi Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Bali, menyajikan ironi Pulau Dewata yang kaya raya tapi terus saja hadir orang-orang yang kian miskin.
Walaupun pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Bali dari tahun 1996-2000 mengalami peningkatan sampai 100%, tulis buku ini, tak berarti terjadi pengurangan jumlah penduduk miskin. Sebaliknya, terjadi peningkatan jumlah keluarga Pra-KS (miskin), dari 19.607 KK tahun 1998 menjadi 36.191 KK tahun 2000. Ini peningkatan hampir 100% hanya selama 2 tahun. Kalau rata-rata satu KK terdiri dari 4 orang, maka jumlah penduduk miskin di Bali 145.000 jiwa.
Bali yang pernah diproklamirkan sebagai satu-satunya daerah bebas Pra-KS tahun 1997 di Indonesia, belum mampu membendung laju peningkatan jumlah penduduk miskin. Besarnya pendapatan berupa pajak dari sektor pariwisata, ternyata tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.
Tentu tak semua setuju dengan anggapan Bali semakin miskin. “Ah, itu hanya komentar mereka yang pesimis dan tak suka pada keberuntungan yang dibawa turisme,” komentar mereka.
Orang yang suka membesar-besarkan kemiskinan Bali, dituding sebagai golongan yang iri karena tidak sempat mencicipi nikmat kue bisnis pariwisata. Komentar mereka lagi, tak sedikit orang Bali yang punya lebih dari satu mobil. Mereka punya tanah, rumah, deposito, justru karena pertumbuhan industri turisme. Semakin banyak orang Bali yang bisa merayakan pesta ulang tahun anak di gerai McDonald. Belakangan, tak sedikit keluarga Bali yang menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Tidakkah itu berarti orang Bali kian makmur? Tentu keliru jika muncul komentar Bali makin miskin cuma karena kita menyaksikan orang Bali hidup di gubuk-gubuk beralas tanah dengan kesehatan lingkungan sangat buruk.
Tapi tetap saja ada kelompok yang berpendapat, Bali memang semakin miskin. Yang lebih parah, pemiskinan Bali berlangsung secara sistematis, dari hari kehari, tahun ke tahun, akibat sistem yang jelek, budaya yang memang cenderung secara perlahan memperparah kemiskinan itu. Sudah jamak diketahui, orang Bali mengeluarkan biaya besar untuk kegiatan budaya, ritual, namun sedikit menikmati pemasukan dari kegiatan-kegiatan produktif.
Made Mangku Pastika, ketika menjabat Gubernur Bali, mengecam kabupaten yang riuh menyelenggarakan festival dengan biaya besar, sementara warganya masih banyak yang miskin. Tapi sang bupati membela diri dengan mengatakan, itu biaya buat promosi wisata, tak seberapa, karena banyak sponsor terlibat.
Buku yang diluncurkan dua dekade itu pun kini membuat kita kembali terkenang-kenang, ketika pariwisata Bali terpuruk dihantam pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menyodorkan data, gara-gara pandemi orang-orang miskin bertambah. September 2020 total orang miskin Bali 196 ribu, meningkat puluhan ribu karena pengangguran meningkat. Ada kenaikan 0,67% poin penduduk miskin dari Maret 2020 hingga September 2020, saat gawat-gawat dan paniknya pandemi. Tatkala buku itu diluncurkan, orang miskin ditaksir 145 ribu jiwa.
Kendati begitu, ada juga komentar yang berada di poros tengah. Mereka berpendapat, yang terjadi bukan kemiskinan tambah parah, namun semakin tajamnya ketimpangan. Yang terjadi adalah mengerucutnya ketidakadilan. Begitu banyak orang kaya di Bali, tapi banyak pula berpenghasilan rendah. Yang harus diperdebatkan bukan kemiskinan, namun ketimpangan dan ketidakadilan. Maka bisa jadi juga benar, Bali itu memang semakin miskin. *
Aryantha Soethama
1
Komentar