Pakem Busana Adat Bali Masih Rancu
Etika berbusana adat Bali sudah diatur dengan berbagai perhitungan dan pertimbangan matang oleh para leluhur Bali.
SINGARAJA, NusaBali
Perkembangan mode busana sejak zamannya selalu sejurus dengan perkembangan zaman. Di dalamnya, ada pengaruh media sosial, terutama digital video, televisi, serta kemajuan perekonomian masyarakat. Salah satu dampaknya, tata cara dan etika berbusana adat Bali sangat dinamis dan rancu.
Pekem berbusana adat Bali yang sudah ditetapkan leluhur Bali sebagai warisan sebagian nyaplir. Hal tersebut banyak ditemui pada pemakaian busana dan tata rias busana yang tak sesuai dengan konteks dan tempat.
Kondisi itu diakui oleh Manggala Utama Paiketan Pasikian Krama Istri (Paksi) Bali Ni Putu Putri Suastini. Istri Gubernur Bali Wayan Koster itu mengakui itu saat hadir memberikan sosialisasi dan platihan etika berbusana adat Bali di Buleleng, Kamis (17/6) lalu.
Menurutnya, etika berbusana adat Bali sudah diatur dengan berbagai perhitungan dan pertimbangan matang oleh para leluhur Bali. Bahkan seluruh busana yang dikenakan orang Bali sarat pesan-pesan filosofis tersendiri. Menurut filosofi Bali, busana tak sekadar penutup aurat, pelindung dan penghangat tubuh. Busana dalam pelbagai bentuk adalah representasi dari pemakainya, busana sebagai simbol karakter pribadi, wilayah, bahkan budaya sebuah tempat.
Namun, lanjut Putri Suastini, tak sedikit generasi muda saat ini salah kaprah menggunakan busana adat Bali. Seperti payas agung yang dikhususkan untuk upacara pernikahan dan potong gigi, saat ini mulai digunakan untuk menyambut tamu. Tak sedikit juga ibu-ibu saat piodalan di pura menggunakan riasan dan aksesoris yang berlebihan dalam pakem busana adat madyanya. Jelasnya, orang Bali bisa tampil seksi, tapi tidak harus terbuka. Bisa tampil indah tanpa harus berlebihan. Cara berbusana itu diwariskan oleh para pangelingsir Bali dan semua itu harus tetap dijaga. ‘’Cara menjaga, salah satunya melalui pelatihan busana adat, untuk melestarikan tatanan budaya dan adat. Selain iut, untuk menambah wawasan ibu-ibu krama istri di Bali untuk tata rias berbusana adat yang tepat,” kata Putri Suastini.
Menurutnya, point penting dalam pemahaman etika berbusana adat Bali adalah krama paham. Paham antara lain, dapat membedakan tatanan berbusana dan tata rias sesuai dengan peruntukan. Upaya pelestarian etika berbusana adat Bali juga menggandeng Lembaga Pelatihan dan Kursus (LPK) Salon Agung yang langsung diisi oleh pemliknya, Anak Agung Ketut Agung.
Dalam pelatihan tersebut, AA Ketut Agung menjelaskan dan mempraktikkan langsung etika dan tata rias berbusana adat madya. Dengan model krama lanang (laki-laki), busana adat madya diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kamen pada putra melingkar dari kiri ke kanan. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki, kemudian menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip menyentuh tanah. Hal tersebut merupakan simbol penghormatan kepada ibu pertiwi dan lambang kejantanan.
Namun kejantanan tidak dibolehkan untuk ditunjukkan sehingga ditutup dengan penggunaan saput, lebih tinggi sejengkal dari kamen. Saput dipakai dengan arah berlawanan arah jarum jam dan menggunakan selendang kecil sebagai umpal (pengikat) sebagai simbol pengendalian diri dari hal buruk. Selanjutnya yang diatur dalam pakem busana adat pria adalah pada bagian udeng. Udeng yang lazin digunakan dalam berbusana adat madya memiliki jejateran dengan simpul hidup mengarah ke atas. Hal tersebut melambangkan pemusatan pikiran pemakainya. Belahan udeng pun berbeda, pada sisi kiri akan lebih tinggi dari sisi kanan. Karena kanan melambangkan dharma yang harus diutamakan.
Sementara itu pakem berbusana adat madya pada krama istri diawali dengan pemakaian kamen dengan melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep perempuan sebagai sakti. Kamen yang dipakai krama istri harus menutupi mata kaki. Pakem ini pun sering diabaikan oleh generasi perempuan Bali saat ini. Terutama pemakaian kamen yang dipendekkan di bagian dalamnya, sehingga ketika berjalan akan memperlihatkan betis hingga lutut.
Lalu setelah itu menggunakan bulang (sabuk) atau strapless, yang berfungsi menjaga rahim dan mengendalikan emosi. Baju kebaya sesuai pakem busana adat madya juga harus bersih, rapi, dan sopan. Berlengan panjang dan tidak terbuka. Hal ini pun kembali ditekankan karena saat ini dengan perkembangan mode yang sangat dinamis, sering melanggar pakem. Pemakaian kebaya yang modis dan seksi pun diperkenankan asalkan sesuai dengan peruntukkan dan tempatnya. Misal pada acara kundangan dan fashion show. Kemudia ditutup dengan selendang dan riasan kepala. Khusus riasan rambut pada pakem busana adat madya ada tiga jenis pusung. Yakni pusung gonjer diperuntukkan untuk perempuan yang masih lajang, pusung tagel untuk perempuan yang sudah menikah dan pusung kekupu untuk peranda istri. *k23
Pekem berbusana adat Bali yang sudah ditetapkan leluhur Bali sebagai warisan sebagian nyaplir. Hal tersebut banyak ditemui pada pemakaian busana dan tata rias busana yang tak sesuai dengan konteks dan tempat.
Kondisi itu diakui oleh Manggala Utama Paiketan Pasikian Krama Istri (Paksi) Bali Ni Putu Putri Suastini. Istri Gubernur Bali Wayan Koster itu mengakui itu saat hadir memberikan sosialisasi dan platihan etika berbusana adat Bali di Buleleng, Kamis (17/6) lalu.
Menurutnya, etika berbusana adat Bali sudah diatur dengan berbagai perhitungan dan pertimbangan matang oleh para leluhur Bali. Bahkan seluruh busana yang dikenakan orang Bali sarat pesan-pesan filosofis tersendiri. Menurut filosofi Bali, busana tak sekadar penutup aurat, pelindung dan penghangat tubuh. Busana dalam pelbagai bentuk adalah representasi dari pemakainya, busana sebagai simbol karakter pribadi, wilayah, bahkan budaya sebuah tempat.
Namun, lanjut Putri Suastini, tak sedikit generasi muda saat ini salah kaprah menggunakan busana adat Bali. Seperti payas agung yang dikhususkan untuk upacara pernikahan dan potong gigi, saat ini mulai digunakan untuk menyambut tamu. Tak sedikit juga ibu-ibu saat piodalan di pura menggunakan riasan dan aksesoris yang berlebihan dalam pakem busana adat madyanya. Jelasnya, orang Bali bisa tampil seksi, tapi tidak harus terbuka. Bisa tampil indah tanpa harus berlebihan. Cara berbusana itu diwariskan oleh para pangelingsir Bali dan semua itu harus tetap dijaga. ‘’Cara menjaga, salah satunya melalui pelatihan busana adat, untuk melestarikan tatanan budaya dan adat. Selain iut, untuk menambah wawasan ibu-ibu krama istri di Bali untuk tata rias berbusana adat yang tepat,” kata Putri Suastini.
Menurutnya, point penting dalam pemahaman etika berbusana adat Bali adalah krama paham. Paham antara lain, dapat membedakan tatanan berbusana dan tata rias sesuai dengan peruntukan. Upaya pelestarian etika berbusana adat Bali juga menggandeng Lembaga Pelatihan dan Kursus (LPK) Salon Agung yang langsung diisi oleh pemliknya, Anak Agung Ketut Agung.
Dalam pelatihan tersebut, AA Ketut Agung menjelaskan dan mempraktikkan langsung etika dan tata rias berbusana adat madya. Dengan model krama lanang (laki-laki), busana adat madya diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kamen pada putra melingkar dari kiri ke kanan. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki, kemudian menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip menyentuh tanah. Hal tersebut merupakan simbol penghormatan kepada ibu pertiwi dan lambang kejantanan.
Namun kejantanan tidak dibolehkan untuk ditunjukkan sehingga ditutup dengan penggunaan saput, lebih tinggi sejengkal dari kamen. Saput dipakai dengan arah berlawanan arah jarum jam dan menggunakan selendang kecil sebagai umpal (pengikat) sebagai simbol pengendalian diri dari hal buruk. Selanjutnya yang diatur dalam pakem busana adat pria adalah pada bagian udeng. Udeng yang lazin digunakan dalam berbusana adat madya memiliki jejateran dengan simpul hidup mengarah ke atas. Hal tersebut melambangkan pemusatan pikiran pemakainya. Belahan udeng pun berbeda, pada sisi kiri akan lebih tinggi dari sisi kanan. Karena kanan melambangkan dharma yang harus diutamakan.
Sementara itu pakem berbusana adat madya pada krama istri diawali dengan pemakaian kamen dengan melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep perempuan sebagai sakti. Kamen yang dipakai krama istri harus menutupi mata kaki. Pakem ini pun sering diabaikan oleh generasi perempuan Bali saat ini. Terutama pemakaian kamen yang dipendekkan di bagian dalamnya, sehingga ketika berjalan akan memperlihatkan betis hingga lutut.
Lalu setelah itu menggunakan bulang (sabuk) atau strapless, yang berfungsi menjaga rahim dan mengendalikan emosi. Baju kebaya sesuai pakem busana adat madya juga harus bersih, rapi, dan sopan. Berlengan panjang dan tidak terbuka. Hal ini pun kembali ditekankan karena saat ini dengan perkembangan mode yang sangat dinamis, sering melanggar pakem. Pemakaian kebaya yang modis dan seksi pun diperkenankan asalkan sesuai dengan peruntukkan dan tempatnya. Misal pada acara kundangan dan fashion show. Kemudia ditutup dengan selendang dan riasan kepala. Khusus riasan rambut pada pakem busana adat madya ada tiga jenis pusung. Yakni pusung gonjer diperuntukkan untuk perempuan yang masih lajang, pusung tagel untuk perempuan yang sudah menikah dan pusung kekupu untuk peranda istri. *k23
1
Komentar