MUTIARA WEDA: Ajapajapa Yoga
Sakārena bahir yāti hakarena viset punah, Hamsahamsety amum mantram jivo japati nityasah. (Vijnanabhairava Tantra, 155)
Napas keluar dengan suara sa dan napas masuk dengan suara ha. Demikianlah individu empiris senantiasa melantunkan mantra hamsah ini.
DIKATAKAN bahwa manusia secara otomatis melakukan japa sepanjang hidupnya melalui napas keluar dan masuk. Saat napas keluar suara yang muncul adalah ha, dan saat napas masuk suaranya sa. Sehingga, mantra yang muncul dari keluar dan masuknya napas disebut hamsah mantra. Jika napas keluar dan masuk dalam satu putaran diperkirakan 4 detik, maka dalam 1 menit ada 15 kali japa hamsah secara otomatis. Dalam satu jam (15 x 60) terjadi pengulangan 900 kali. Sehingga dalam satu hari penuh (900 x 24) setiap orang melantunkan japa hamsah mantra sebanyak 21.600 kali. Pelantunan mantra ini terjadi secara otomatis tanpa disadari. ‘Ha’ pada mantra ini merepresentasikan sakti dan ‘sa’ representasi dari Siva. Anusvara ‘am’ setelah ‘ha’ adalah representasi dari jiva. Sehingga mantra ‘hamsah’ ini juga disebut trika mantra, di dalamnya mengandung tiga realitas: Siva, sakti, dan jiva.
Pada setiap makhluk hidup, kesadaran Ilahi, di awal, diubah ke dalam prana atau disebut pranasakti. Ada dua bentuk utama dari pranasakti, yakni prana (napas keluar) dan apana (napas masuk). Prana dan apana ini bergeraknya didesain sebagai kutilakrtih (bentuk kurva – curvilinear). Pranasakti ini berbaring dalam bentuk kurva sebanyak tiga setengah lingkaran mengelilingi pusat muladhara. Bentuk ini disebut kundalini. Ketika kundalini terbaring dormant, kundalini sakti ini disebut apara, immanent dalam hidup, tidak aktif. Sepanjang kundalini masih apara (immanent), maka akan selalu ada sense of different. Mantra hamsah terus terdengar setiap prana dan apana. Ini disebut ajapajapa (mantra yang secara otomatis hadir tanpa usaha). Ketika mantra otomatis ini secara sadar dan secara berulang dikontemplasikan oleh seorang sadhaka, maka mantra hamsah ini menjadi so’ham (That am I) – Aku adalah Siva.
Dengan kontemplasi secara konstan pada mantra ini, maka dikatakan kundalini akan naik dan membentang ke atas, bentuknya memanjang (dirghātma). Melewati center yang ada di bagian tengah, kundalini mencapai brahmarandhra, dan setelahnya, hadir kesadaran tunggal dalam diri sadhaka. Dalam kondisi ini, kundalini sakti ini disebut para (tertinggi, transcendent). Jika kundalini ini berada baik dalam kondisi immanent maupun transcendent disebut parāpara. Kundalini terbawa baik di dalam kesadaran tertinggi maupun pada kehidupan duniawi yang terdiri dari subjek (pramata), objek (prameya), dan relasi kognisi di antara keduanya (pramana), sehingga disebut dengan parāpara.
Jadi, mantra yang hadir saat keluar dan masuknya napas disebut dengan hamsah mantra atau ajapajapa mantra. Jika orang berkontemplasi pada mantra yang hadir secara otomatis ini, maka dia akan mampu mengenali kesejatian dirinya sebagai Siva (That which is not). Boleh dikatakan bahwa berkontemplasi pada mantra ini mudah sekaligus sulit. Dikatakan mudah, jika yang melakukannya adalah sadhaka yang serius. Tetapi, ia akan menjadi teramat sulit jika yang melakukannya adalah orang durlabha (bodoh). Mantra ini hadir secara otomatis, sehingga tidak memerlukan upaya apapun, makanya dikatakan mudah. Tetapi, akan menjadi sangat sulit jika orang hendak secara konsisten membawa kesadaran ke dalamnya. Letak perbedaannya ada di sini. Jika mampu secara konsisten kesadaran kita ada pada mantra ini, tentu menjadi sangat gampang. Tetapi, siapakah yang bisa? Makanya mantra ini sangat sulit.
Jika kita mampu membawa kesadaran kita tetap berada di dalamnya, maka kapan pun kesadaran Siwa akan kita bisa raih. Tidak diperlukan teknik yang demikian rumit. Dan sebenarnya untuk mencapai realisasi diri tidak memerlukan teknik atau sadhana yang rumit. Tetapi, oleh karena demikian susahnya mengerjakan sadhana yang sangat gampang, maka diperlukan teknik yang sangat sulit. Semakin sulit tingkatan teknik itu, pikiran biasanya akan semakin tune dengannya. Pikiran sungguh sulit diajak dengan hal-hal gampang, dan lebih tune dengan hal yang sulit. Makanya dalam banyak hal, pikiran selalu tidak bisa sederhana. Mari buktikan itu dengan mencoba ajapajapa yoga ini. *
I Gede Suwantana
Komentar