Proyeksi 2017 : Bidang Politik
Si ‘Licin’ Setya Novanto dan Masa Depan Golkar
SETYA Novanto tampak tegang dan grogi saat mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua DPR RI oleh Ketua Mahkamah Agung (MA), Suhardi, dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/11) pukul 16.40 WIB. Tak tanggung-tanggung, Ketua Umum DPP Golkar ini sampai tiga kali salah ucap sumpah jabatan.
Sore itu, Setya Novanto yang akrab disapa Setnov sejatinya sedang berbunga-bunga. Bagaimana tidak, setelah dilengserkan dari posisi Ketua DPR gara-gara skandal ‘Papa Minta Saham’ setahun sebelumnya, 16 Desember 2015, kini dia kembali duduki singgasananya. Anggota dewan terhormat dalam sidang paripurna itu pun kompak menerima come back-nya Setnov.
Hadirnya kembali Setnov ke posisi Ketua DPR, setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Setya Novanto terhadap proses persidangan terkait kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden saat meminta jatah saham PT Freeport Indonesia atau dikenal dengan skandal ‘Papa Minta Saham’. Putusan yang diketok MKD pada 27 September 2016 tersebut, menjadi modal Setnov untuk kembali duduki jabatannya. Golkar beralasan, posisi itu harus dikembalikan sebab menyangkut nama baik partai dan nama baik Setnov sendiri.
Nama baik harus dipulihkan karena ternyata Setnov tak bersalah. MKD juga tak sembarang keluarkan putusan, sebab dasarnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK bernomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 menyatakan alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam kasus itu dinyatakan tidak sah.
Namun, kembalinya Setnov bukan tak meninggalkan persoalan di internal Partai Golkar. Ade Komarudin (Akom) yang dipaksa meninggalkan kursi Ketua DPR setelah setahun menjabat, tentu tak sepenuhnya legowo walau lisannya berujar legowo. Buktinya, Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) ini tak hadir dalam sidang paripurna pemberhentian dirinya dan pengangkatan serta pelantikan Setnov. Walau beralasan sedang sakit, tapi publik bisa membaca suasana kebathinan Akom yang sedang kecewa. Bisa dimaklumi, apalagi pasca lengser, Akom tak jelas akan diberikan posisi apa sebagai obat rasa kecewanya. Selain itu, sejumlah elite Golkar juga tak sepenuhnya menerima.
Ketua Dewan Pembina (Wanbin) Golkar Aburizal Bakrie alias Ical dan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung, yang notabene tokoh senior dan berpengaruh di Partai Beringin, awalnya keberatan kembalinya Setnov sebagai Ketua DPR. Namun, mereka akhirnya bisa menerima setelah Setya Novanto dan DPP Golkar lakukan pendekatan khusus. Tapi apakah mereka juga benar-benar menerima? Dalam politik tentu ada hitung-hitungannya. Saat seperti apa harus berkata menerima atau tidak. Dalam suasana seperti itulah kira-kira posisi dua mantan Ketua Umum Golkar ini berada.
Setnov memang tak lepas dari kontroversi. Namun bukan Setnov namanya jika tak mampu melewatinya dengan mulus. Lihat saja, saat dia mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Munaslub yang digelar di Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung, Bali 15-17 Mei 2016. Walau baru saja didera badai kasus ‘Papa Minta Saham’ yang sukses melengserkan dirinya dari posisi Ketua DPR, namun tak membuatnya lemah dalam persaingan. Tak hanya itu, pro kontra terhadap pencalonan Setnov juga berlatar rekam jejaknya yang dipandang penuh duri. Seperti kehebohan publik tatkala dia hadir dalam kampanye Capres Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, Donald Trump (kini Capres terpilih).
Tak hanya persoalan etik, Setnov juga akrab dengan panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia disebut-sebut ada dalam lingkaran kasus, seperti dugaan korupsi e-KTP, suap Ketua MK Akil Mochtar, hingga kasus PON Riau. Tapi, politisi berlatar belakang pengusaha ini terkenal licin alias tak tersentuh (the untouchable). Buktinya, Setnov belum pernah dinyatakan bersalah dalam kasus hukum apa pun. Di tengah kontroversi itu, Setnov berhasil meyakinkan kader Golkar hingga dia terpilih sebagai ketua umum menumbangkan pesaingnya Ade Komarudin (Akom). Kini nasib Partai Beringin pasca diterpa dualisme kepengurusan, sepenuhnya ada di tangan pria kelahiran Bandung, 12 November 1954 ini.
Banyak pihak kemudian sinis dengan mengatakan Setnov akan membawa Golkar ke gerbang kesuraman. Apalagi ngototnya Golkar mendudukkan kembali dia sebagai Ketua DPR, dianggap preseden buruk. Bukannya fokus menjaga citra guna menyambut Pemilu 2019, tapi Golkar malah bermain-main dengan mempertontonkan ‘nafsu’ kekuasaan sang ketua umum. Sinisme itu wajar. Tapi jangan dilupakan Golkar adalah partai politik dengan kader-kader mumpuni dan infrastruktur politik yang lengkap. Tentu tak mudah digoyang badai.
Gaya kepemimpinan mantan Bendahara Umum DPP Golkar ini juga tak bisa dipandang remeh. Politisi-pengusaha yang menjejakkan karirnya dari posisi bawah ini, dikenal mampu menaklukkan badai sebesar apapun. Di tangan dia pula, Golkar kini minim riak. Dualisme Golkar yang sebelumnya terjadi secara massif di seluruh tingkat kepengurusan, seolah tak bersisa. Kenyataan ini harus diakui sebagai buah dari kelicinan dan kepiawaian Setnov mengelola konflik dalam organisasi Golkar.
Tapi di tahun-tahun ke depan, saat Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang digelar serentak semakin dekat, Golkar tentu harus makin membenahi dirinya. Setnov yang kontroversial tak boleh larut dan terlena dalam kontroversi-kontroversi baru. Konsolidasi harus sesegera mungkin dituntaskan. Kader-kader potensial harus diberi tempat agar tak terbuai rayuan partai lain. Partai yang bertagline ‘Suara Golkar Suara Rakyat’ ini harus terus membumikan diri, menjadi peneduh rakyat pendukungnya. Jika tidak, Golkar akan tertinggal dan menjadi karam setelah berpuluh-puluh tahun mereguk masa keemasan. *
I Ketut Suardana
------------------------------
Wartawan NusaBali
Sore itu, Setya Novanto yang akrab disapa Setnov sejatinya sedang berbunga-bunga. Bagaimana tidak, setelah dilengserkan dari posisi Ketua DPR gara-gara skandal ‘Papa Minta Saham’ setahun sebelumnya, 16 Desember 2015, kini dia kembali duduki singgasananya. Anggota dewan terhormat dalam sidang paripurna itu pun kompak menerima come back-nya Setnov.
Hadirnya kembali Setnov ke posisi Ketua DPR, setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Setya Novanto terhadap proses persidangan terkait kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden saat meminta jatah saham PT Freeport Indonesia atau dikenal dengan skandal ‘Papa Minta Saham’. Putusan yang diketok MKD pada 27 September 2016 tersebut, menjadi modal Setnov untuk kembali duduki jabatannya. Golkar beralasan, posisi itu harus dikembalikan sebab menyangkut nama baik partai dan nama baik Setnov sendiri.
Nama baik harus dipulihkan karena ternyata Setnov tak bersalah. MKD juga tak sembarang keluarkan putusan, sebab dasarnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK bernomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 menyatakan alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam kasus itu dinyatakan tidak sah.
Namun, kembalinya Setnov bukan tak meninggalkan persoalan di internal Partai Golkar. Ade Komarudin (Akom) yang dipaksa meninggalkan kursi Ketua DPR setelah setahun menjabat, tentu tak sepenuhnya legowo walau lisannya berujar legowo. Buktinya, Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) ini tak hadir dalam sidang paripurna pemberhentian dirinya dan pengangkatan serta pelantikan Setnov. Walau beralasan sedang sakit, tapi publik bisa membaca suasana kebathinan Akom yang sedang kecewa. Bisa dimaklumi, apalagi pasca lengser, Akom tak jelas akan diberikan posisi apa sebagai obat rasa kecewanya. Selain itu, sejumlah elite Golkar juga tak sepenuhnya menerima.
Ketua Dewan Pembina (Wanbin) Golkar Aburizal Bakrie alias Ical dan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung, yang notabene tokoh senior dan berpengaruh di Partai Beringin, awalnya keberatan kembalinya Setnov sebagai Ketua DPR. Namun, mereka akhirnya bisa menerima setelah Setya Novanto dan DPP Golkar lakukan pendekatan khusus. Tapi apakah mereka juga benar-benar menerima? Dalam politik tentu ada hitung-hitungannya. Saat seperti apa harus berkata menerima atau tidak. Dalam suasana seperti itulah kira-kira posisi dua mantan Ketua Umum Golkar ini berada.
Setnov memang tak lepas dari kontroversi. Namun bukan Setnov namanya jika tak mampu melewatinya dengan mulus. Lihat saja, saat dia mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Munaslub yang digelar di Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung, Bali 15-17 Mei 2016. Walau baru saja didera badai kasus ‘Papa Minta Saham’ yang sukses melengserkan dirinya dari posisi Ketua DPR, namun tak membuatnya lemah dalam persaingan. Tak hanya itu, pro kontra terhadap pencalonan Setnov juga berlatar rekam jejaknya yang dipandang penuh duri. Seperti kehebohan publik tatkala dia hadir dalam kampanye Capres Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, Donald Trump (kini Capres terpilih).
Tak hanya persoalan etik, Setnov juga akrab dengan panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia disebut-sebut ada dalam lingkaran kasus, seperti dugaan korupsi e-KTP, suap Ketua MK Akil Mochtar, hingga kasus PON Riau. Tapi, politisi berlatar belakang pengusaha ini terkenal licin alias tak tersentuh (the untouchable). Buktinya, Setnov belum pernah dinyatakan bersalah dalam kasus hukum apa pun. Di tengah kontroversi itu, Setnov berhasil meyakinkan kader Golkar hingga dia terpilih sebagai ketua umum menumbangkan pesaingnya Ade Komarudin (Akom). Kini nasib Partai Beringin pasca diterpa dualisme kepengurusan, sepenuhnya ada di tangan pria kelahiran Bandung, 12 November 1954 ini.
Banyak pihak kemudian sinis dengan mengatakan Setnov akan membawa Golkar ke gerbang kesuraman. Apalagi ngototnya Golkar mendudukkan kembali dia sebagai Ketua DPR, dianggap preseden buruk. Bukannya fokus menjaga citra guna menyambut Pemilu 2019, tapi Golkar malah bermain-main dengan mempertontonkan ‘nafsu’ kekuasaan sang ketua umum. Sinisme itu wajar. Tapi jangan dilupakan Golkar adalah partai politik dengan kader-kader mumpuni dan infrastruktur politik yang lengkap. Tentu tak mudah digoyang badai.
Gaya kepemimpinan mantan Bendahara Umum DPP Golkar ini juga tak bisa dipandang remeh. Politisi-pengusaha yang menjejakkan karirnya dari posisi bawah ini, dikenal mampu menaklukkan badai sebesar apapun. Di tangan dia pula, Golkar kini minim riak. Dualisme Golkar yang sebelumnya terjadi secara massif di seluruh tingkat kepengurusan, seolah tak bersisa. Kenyataan ini harus diakui sebagai buah dari kelicinan dan kepiawaian Setnov mengelola konflik dalam organisasi Golkar.
Tapi di tahun-tahun ke depan, saat Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang digelar serentak semakin dekat, Golkar tentu harus makin membenahi dirinya. Setnov yang kontroversial tak boleh larut dan terlena dalam kontroversi-kontroversi baru. Konsolidasi harus sesegera mungkin dituntaskan. Kader-kader potensial harus diberi tempat agar tak terbuai rayuan partai lain. Partai yang bertagline ‘Suara Golkar Suara Rakyat’ ini harus terus membumikan diri, menjadi peneduh rakyat pendukungnya. Jika tidak, Golkar akan tertinggal dan menjadi karam setelah berpuluh-puluh tahun mereguk masa keemasan. *
I Ketut Suardana
------------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar