Pulau Krisis
Banyak orang ke Bali demi kemakmuran, datang untuk mendapat ufuk baru. Seseorang yang ruwet di tanah asal, akhirnya tepekur dan menemukan jalan ke luar: “Mengapa aku tidak mencoba ke Bali?”
Karena begitu banyak orang ke Bali mengharap perbaikan hidup, keinginan-keinginan itu pun berseliweran, hilir mudik, saling tonjok, menghadirkan persoalan-persoalan baru, memantul-mantul, menjelma jadi krisis.
Orang Bali sangat gelisah ketika Kuta berkembang menjadi tempat mengumbar kebebasan di tahun ‘70-an. Hippies berpakaian seronok gampang dijumpai di jalan dan lorong-lorong kampung. Mereka mandi telanjang di Pantai Legian sana. Banyak orang khawatir, generasi muda Bali akan didera krisis moral, ikut-ikutan jadi hippy.
Tatkala turisme memberi limpahan rezeki, orang menganggap inilah zaman kegemilangan Bali. Muncul orang kaya baru. Orang Bali yang tak paham berbisnis, kaya mendadak setelah menjual tanah yang dibeli mahal penggiat industri turisme. Mereka yang cuma sanggup ngomong sepotong-sepotong bahasa asing jadi sopir taksi atau pemandu wisata, dapat banyak uang. Di Bali, alangkah gampang mendapat banyak uang. Tetapi pesatnya pembangunan hotel, rumah makan, dan tempat hiburan, menyebabkan Bali di ambang krisis air dan listrik.
Uang melimpah itu kemudian dimanfaatkan untuk mengungkapkan rasa bersyukur dengan melakukan banyak upacara adat dan agama. Banyak pula pendatang turut merebut rezeki melimpah itu. Orang Bali menghadapi pesaing baru tenaga kerja. Orang sadar Bali sesungguhnya tengah menghadapi krisis kependudukan, krisis masalah kaum pendatang. Pada saat sama, peluang kerja bagi orang Bali menyempit, banyak penganggur muncul. Orang Bali, di Bali, menghadapi krisis peluang kerja.
Para penggiat agribisnis sering mengeluh, pasar swalayan, hotel dan restoran, lebih mementingkan hasil pertanian impor tinimbang lokal. Buah, sayur, daging, susu, telor, sebagian besar berasal dari luar. Industri turisme ternyata tidak memberi kepercayaan dan peluang cukup pagi kaum tani Bali untuk berkembang. Tidakkah ini pertanda krisis pertanian?
Sejak bom Kuta, Oktober 2002, penggiat industri turisme mengeluh, pariwisata Bali sesungguhnya tengah bergulat menghadapi krisis. Berulangkali muncul keluhan tentang wisatawan yang ke Bali adalah turis berkantong tipis. Rezeki yang dilimpahkan sedikit, dan harus direbut oleh banyak orang.
Krisis itu kian parah di masa pandemi. Dalam konferensi pers virtual (22/5/2021) Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Bali Trisno Nugroho, menjelaskan kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian di Bali mencapai 56%. Pembatasan karena pandemi Covid-19 berdampak keras pada pertumbuhan ekonomi Bali.
"Pertumbuhan ekonomi nasional pada 2020 minus 2,05%, sementara di Bali minus 9,31%, paling tertekan di tahun kemarin," kata Trisno. Masa kegemilangan pariwisata Bali telah berlalu. Butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk menikmatinya kembali, seperti di tahun ‘80-an.
Mereka yang rajin mengikuti statistik perkembangan sosial dan keamanan tentu akan mendapatkan, betapa Bali acap menghadapi krisis sosial. Krisis-krisis itu dipicu oleh gejolak pertambahan penduduk di daerah-daerah urban yang sangat sulit mengendalikannya. Sudah acap terpetik berita tentang pertikaian antar-kaum pendatang, atau antar-kaum pendatang dengan penduduk asli.
Jika hendak bicara krisis yang menimpa Bali, bisa panjang kisahnya. Ada krisis penyebaran penyakit kelamin, HIV atau AIDS, sejalan dengan peredaran narkoba makin marak, berbaur dengan premanisme. Ada krisis pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh orang asing dan pribumi. Konon, Bali dan Lombok adalah surga bagi pedofil. Acap terjadi krisis rasa aman, karena orang Bali tak lagi leluasa tidur tanpa menggembok pintu pagar. Mobil atau motor diparkir tak cukup dikunci, tapi harus dilengkapi dengan memasang alarm plus kunci tambahan. Orang Bali setiap saat harus mewaspadai rampok dengan kekerasan, copet, maling, penipuan.
Sungguh menyedihkan, ketika banyak orang hendak mendapatkan ufuk baru di Bali, dan berharap menikmati kedamaian, kesejahteraan hidup, tanpa disadari justru mereka diintip oleh berbagai krisis. Tetapi jika kita sampaikan krisis-krisis ini pada orang Bali, tentu banyak yang menolaknya. Mereka akan menyangkal dengan mengatakan, “Siapa bilang Bali Pulau Krisis? Bali sesungguhnya tak mengenal krisis!”
Tentu mereka bisa menyodorkan bukti bahwa Bali bukan Pulau Krisis, dengan memberi contoh perilaku orang Bali yang memang sehari-hari tidak sedikit pun menampakkan mereka dalam keadaan krisis. Tahun 1998, ketika krisis moneter melanda Tanah Air, orang Bali tetap bisa melangsungkan upacara adat dan agama. Ritus-ritus itu membutuhkan biaya sangat besar. Setelah ledakan bom Kuta pun, yang diakui sebagai penyebab penurunan tajam rezeki turisme, orang Bali tetap menyelenggarakan upacara keagamaan dengan ongkos besar itu. Sekarang pun di masa pandemi, orang Bali tetap semangat melaksanakan upacara adat dengan ongkos tidak kecil. Siapa bilang Bali krisis? *
Aryantha Soethama
Komentar