MUTIARA WEDA: Jalan Tengah
Svameva sarvatah pasyanmanyamānah svamadvayam, Svānandamanubhunjānah kālam naya mahāmate. (Vivekacudamani, 525)
Yang Mulia! Gunakan waktumu untuk melihat atma dalam segala suasana di mana-mana, sadari dirimu sebagai non dual atma dan nikmati kebahagiaan sejatimu sendiri.
DARI perspektif Sang Diri, orang yang telah mencapai pembebasan akan melihat segala sesuatu dengan cara yang sama. Apapun situasinya dan di mana pun kejadiannya, suasana hatinya tidak akan pernah berubah. Hanya ananda (kebahagiaan sejati) yang dialaminya. Berbagai isu dunia, ketegangan politik, kekacauan sosial, pertengkaran, dan bahkan peperangan tidak membuat dirinya kehilangan kebahagiaan itu. Dengan kata lain, apapun yang menjadi latar kehidupan, yang dirasakannya hanya kebahagiaan. Jika dirinya adalah kebahagiaan, maka yang tampak hanya kebahagiaan di mana-mana, tidak ada yang lain. Seperti Krishna ajarkan kepada Arjuna, meskipun perang berakibat pada kehancuran, namun tidak sedikitpun diri kita bisa dipengaruhi oleh suasana itu dan tetap mantap berada pada Sang Diri. Keharmonisan atau kekacauan, senang atau susah tidak akan mengubah seorang Yogi yang berada di dalam Sang Diri.
Namun, jika dilihat dari perspektif konsekuensi-konsekuensi empiris kehidupan, interpretasi teks di atas tidak seperti itu. ‘Melihat atma’ yang dimaksudkan sepenuhnya berada di dalam harmoni. Hanya dunia harmoni yang berhubungan dengan sifat-sifat non dual. Kekacauan dan kerusakan tidak akan pernah menghadirkan sifat-sifat ini. Siapakah yang bisa tenang ketika suasana kacau? Siapakah yang tetap bahagia ketika perseteruan atau peperangan terjadi? Hanya kualitas Yogi yang mampu. Sementara sisa lainnya tetap terpengaruh oleh suasana itu. Sehingga dengan demikian, agar ada kebahagiaan di hati masyarakat, harmoni tetap harus diprioritaskan. Apapun masalah yang dihadapi, kebenaran apapun yang hendak diperjuangkan, harmoni tetap menjadi kunci solusi. Saat dua orang atau dua kubu terjadi perseteruan, harmoni harus didahulukan dan kesepakatan-kesepakatan terjadi kemudian.
Bagaimana harmoni itu bisa diraih? Sistem yang digunakan selalu menggunakan jalan tengah. Jalan tengah yang mengajarkan orang untuk menurunkan egonya. Jalan tengah yang mengajarkan orang untuk bisa menerima kebenaran orang lain. Jalan tengah yang mengajak orang selalu mencari solusi bersama meskipun tidak semua sesuai dengan hatinya. Jalan tengah mengajarkan orang untuk berdamai dengan keadaan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pikirannya. Demikian seterusnya. Pertanyaan selanjutnya, jika jalan tengah sepakat untuk diambil, apa yang terjadi kemudian? Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah tidak menimbulkan api dalam sekam yang bisa meledak kapan saja? Rasanya, jika dari awal sepakat mengambil jalan tengah dan kesepakatan itu terwujud tidak saja dalam konteks politik, tetapi memang hati sanubari yang membutuhkan, maka apapun kesepakatan-kesepakatan yang diambil akan menjadi solusi terbaik.
Seperti apa solusi terbaik itu kelihatannya? Seperti misalnya ada dua group yang lagi berseteru. Group pertama menginginkan perubahan sementara kelompok lainnya menginginkan pelestarian. Jika mereka sama-sama sepakat untuk mengambil jalan tengah, tentu yang paling memungkinkan adalah ide 50 : 50 yang masuk. Artinya, pihak yang menginginkan perubahan hanya berpeluang melakukannya 50 persen dan mereka yang menginginkan pelestarian berpeluang 50 persen saja. Kesepakatannya, ada hal yang secara legowo dibiarkan berubah dan ada hal yang juga perlu dilestarikan. Kedua belah pihak sebenarnya tidak puas sesuai seleranya, tetapi karena itu kesepakatan, maka menghormatinya adalah satu-satunya pilihan.
Seperti inilah harmoni itu. Pertanyaannya, apakah semesta yang menghendaki adanya perubahan atau memang karena kesepakatan belaka? Jika mengacu pada teks di atas dapat disimpulkan bahwa hanya kebahagiaan sejati itu yang statis, sisinya selalu dinamis. Alam ini selalu dinamis, sehingga setiap saat mengalami perubahan. Sementara itu, pikiran, yang merupakan aspek dari kesadaran yang intinya juga memiliki sifat sebagai kebahagiaan abadi, maka pikiran menginginkan yang statis itu. Namun, pikiran terjebak pada bentuk dan mengira bentuk itu sebagai sesuatu yang final (kebahagiaan abadi). Oleh karena manusia harus mengalami perkembangan kesadaran, maka dia harus mengikuti perubahan alam, sebab dengan senantiasa dibuat tidak nyaman, egonya menjadi melemah dan tidak mem-fit-kan dirinya dengan bentuk itu. Ketika egonya lenyap, maka keadaan yang statis sebagaimana teks di atas diraih. *
I Gede Suwantana
Komentar