Pura Tirta Empul Hanya Izinkan Nunas Tirta saat PPKM Darurat
GIANYAR, NusaBali.com – Semua lokasi wisata di Pulau Dewata CLOSED selama masa PPKM Darurat, 3-20 Juli 2021, tak terkecuali wisata religi.
Satu di antaranya adalah Pura Tirta Empul berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat ini, Pura Tirta Empul telah ditutup total untuk kegiatan wisata
Sebelumnya di lokasi ini juga dikenal sebagai tempat malukat atau pembersihan diri bagi masyarakat Hindu di Bali, maupun masyarakat non Hindu.
Made Mawiarnata, selaku Bendesa Adat Manukaya Let, Pengempon Pura Tirta Empul, menyatakan bahwa kegiatan wisata yang menimbulkan kerumunan telah ditutup total di masa PPKM Darurat yang berlangsung pada tanggal 3 Juli – 20 Juli 2021.
Namun untuk kepentingan upacara adat, masih ada ‘disepensasi’. “Hanya krama yang memiliki kepentingan upacara adat saja yang diperbolehkan masuk, dan dibatasi 1 atau 2 orang saja, dengan pengawasan yang ketat oleh pecalang dan jero mangku,” ujarnya.
Pada saat dikunjungi NusaBali.com, Kamis (15/7/2021) Pura Tirta Empul terlihat sangat sepi. “Kalau hari-hari biasa, ada saja yang mengunjungi Pura Tirta Empul untuk malukat,” ujar Made Mawiarnata.
Made Mawiarnata pun menambahkan, apabila PPKM Darurat telah berakhir, maka Pura Tirta Empul akan dibuka normal kembali. “Masih melihat perkembangan situasi, dan arahan dari pemerintah. Jika seandainya PPKM Darurat telah usai pada 20 Juli 2021, maka Pura Tirta Empul akan dibuka kembali secara normal, tentunya dengan penerapan prokes yang ketat di masa pandemi,” tegasnya.
Made Mawiarnata pun mengimbau masyarakat agar mematuhi peraturan yang ada di masa PPKM Darurat ini. Masyarakat dan Desa Adat Manukaya pun telah menjaga ketat kawasan Pura Tirta Empul demi kenyamanan bersama. “Dikarenakan di Pura Tirta Empul terdapat tempat untuk memohon tirta, bagi krama yang ingin nunas tirta dipersilakan. Tentunya kembali lagi kami tegaskan harus dengan izin aparat desa setempat,” ujarnya.
Made Mawiarnata pun lebih lanjut menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat melarang seseorang dengan kepentingan adat untuk masuk ke dalam Pura Tirta Empul. “Kegiatan upacara adat itu kepentingan agama, dan fungsi dari pura ya sejatinya untuk kegiatan beragama. Namun yang harus diperhatikan jumlah orangnya dan penerapan prokesnya saja, karena masih masa pandemi” ungkapnya.
Dalam kesempatannya Made Mawiarnata pun menceritakan mitologi Pura Tirta Empul. Ia pun menyebutkan pada zaman dahulu kala, tersebutlah seorang raja yang gagah perkasa dan tak tertandingi di daerah bali. Raja ini bernama Mayadanawa seorang raja di Bali berketurunan raksasa anak dari seorang Dewi Danu Batur.
Raja tersebut terkenal dengan kesaktiannya yang sangat luar biasa, ia mampu mengubah dirinya menjadi berbagai macam wujud yang dikehendaki seperti menjadi kambing, ayam, pohon, dan batu. Karena kesaktian dan tahta yang ia dapatkan, Mayadanawa menjadi sangat angkuh dan sombong. Bahkan ia pada saat itu melarang penduduk di Bali untuk menyembah Tuhan dengan segala manifestasinya, karena ia merasa tak ada yang paling kuat selain dirinya, maka ia menyuruh para penduduk untuk menyembah dirinya saja.
Setelah perbuatan itu diketahui oleh para dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah di sebelah Utara Desa Tampaksiring. Dengan kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (racun) yang mengakibatkan pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit akibat minum air tersebut.
Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah ‘Tirta Empul’ dan air suci ini dipakai memerciki pasukan Bhatara Indra sehingga tidak beberapa lama bisa sembuh lagi seperti sediakala. Pengejaran Mayadanawa pun dilanjutkan.
Mengetahui hal itu, Mayadanawa sempat ingin bersembunyi dengan mengubah dirinya menjadi bermacam-macam bentuk, namun Bhatara Indra tetap mengetahuinya. Pada akhirnya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Batu Paras, diketahulah oleh Bhatara Indra kemudian dipanah batu paras tersebut dan pada akhirnya Raja Mayadanawa menemui ajalnya.
“Sehingga kini Kematian Mayadanawa itu diperingati oleh masyarakat Hindu di Bali sebagai perayaan Hari Raya Galungan, yang mengandung makna, kemenangan dharma ‘kebaikan' melawan adharma ‘keburukan',” tuturnya.
Made Mawiarnata pun berharap agar pandemi segera usai. Dan aktivitas wisata, malukat, dan kegiatan adat di Pura Tirta Empul dapat terlaksana dengan lancar dan tanpa kekhawatiran. “Yang terpenting saat ini adalah mewujudkan kesehatan bersama, dan menekan angka kasus Covid-19 di Bali,” tutupnya. *rma
Komentar