AWK Dapat Teguran Tertulis dari BK DPD RI
Dianggap Intervensi Seleksi Pendamping Penganut Agama Hindu di Kemenag Sumut
JAKARTA, NusaBali
Anggota Komite I DPD RI Dapil Bali, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III (AWK), mendapat teguran secara tertulis dari Badan Kehormatan (BK) DPD RI.
Hal itu terungkap dalam Rapat Paripurna DPD RI yang berlangsung secara fisik dan virtual, Jumat (16/7).
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua BK DPD RI, Leonardy Harmainy Dt Bandaro Basa. Menurut Anggota Tim Kerja BK DPD RI, Muhammad Nuh, dalam rapat paripurna kemarin, Alat Kelengkapan Dewan (AKD) membacakan laporannya. “BK DPD RI antara lain melaporkan terkait permasalahan AWK. Kami memberikan teguran tertulis kepada AWK, untuk mengingatkan agar tidak melakukan tin-dakan seperti itu lagi," ujar Muhammad Nuh seusai rapat paripurna kemarin.
Menurut Nuh, teguran tertulis diberikan kepada AWK karena dianggap melakukan pelanggaran administrasi. Awalnya, AWK mendapat aduan terkait seleksi pendamping penganut agama Hindu di Sumata Utara, yang tidak lolos seleksi. Kemudian, kata Nuh, AWK mengirim surat kepada Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sumatra Utara (Sumut).
Dalam suratnya itu, kata Nuh, AWK mempertanyakan ketidaklulusan tersebut atas nama lembaga DPD RI dan seolah-olah dikaitkan dengan Komite I yang membidangi pemerintahan. Sebenarnya, tidak terlalu salah AWK mengatakan sebagai Anggota DPD RI dan mempertanyakan masalah tersebut. Namun, menurut Nuh, AWK sudah terlalu jauh mengambil langkah.
Bahkan, AWK tidak berkoordinasi dengan anggota DPD RI Dapil Sumut, sehingga dinilai ada pelanggaran etika. Selain itu, surat yang diirim dianggap sebagai bentuk intervensi dan protes.
Nuh mengatakan, BK DPD RI pun telah mengecek surat itu ke Kanwil Kemenang Provinsi Sumut. Dari situ, BK DPD RI menilai ada pelanggaran administrasi, sehingga memberi sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada AWK.
Versi Nuh, seharusnya saat AWK mendapat aduan, bisa melakukan dua pendekatan. Pertama, koordinasi dengan anggota DPD RI Dapil Sumut. “Kedua, koordinasi dengan Komite III DPD RI yang antara lain membidangi masalah agama dan pendidikan,” terang anggota DPD RI Dapil Sumut ini.
Sementara, mengenai kasus AWK tentang ucapannya yang membolehkan kalangan muda melakukan seks bebas asalkan menggunakan kondom dan dugaan penistaan agama Hindu, menurut Nuh, sejauh ini belum diputuskan. Pasalnya, BK DPD RI akan melakukan pendalaman lagi.
BK DPD RI sendiri sudah meminta fatwa kepada PHDI Bali terkait masalah tersebut. PHDI Bali, kata Nuh, menjawab ada pelanggaran dan AWK mesti minta maaf. Namun, sampai saat ini belum ada permintaan maaf sesuai tradisi Hindu. Untuk itu, BK DPD RI akan melakukan pendalaman kembali mengenai jawaban dari PHDI Bali tersebut.
"Supaya BK DPD RI punya gambaran utuh terkait permasalahan itu ketika melakukan sidang nanti, karena ini menyangkut agama. Oleh karenanya, jawaban dari PHDI Bali akan menjadi dasar dalam menyikapi masalah itu, apakah ada penistaan agama Hindu atau tidak," terang Nuh.
Sampai saat ini, kata Nuh, belum dijadwalkan kapan sidang BK DPD RI akan digelar. Masalahnya, mulai, Sabtu (17/7) besok sudah reses hingga 12 Agustus 2021. Namun, yang terpenting sudah dilaporkan pada masa sidang saat ini. Tinggal masa sidang berikutnya diagendakan.
Nuh tidak menampik putusan atas permasalahan AWK terkait dugaan penistaan Agama tersebut relatif lama dibandingkan tentang pengiriman surat ke Kanwil Kemenag Provinsi Sumut. Sebab, mengenai surat tersebut, masalah administrasi dan klarifikasi dilakukan ke daerah. Sedangkan masalah penistaan agama agak lama, karena dikhawatirkan ada muatan politis, sehingga rentan. “Untuk itu, perlu dilakukan pendalaman-pendalaman,” tegas Nuh.
Sayangnya, AWK belum berhasil dikonfirmasi NusaBali terkait adanya teguran tertulis dari BK DPD RI. Saat dihubungi per telepon tadi malam, terdengar nada sambung namun ponselnya tidak diangkat. Pesan WhatsApp yang dikirimkan juga belum dibalas hingga berita ini ditulis. *k22
Menurut Nuh, teguran tertulis diberikan kepada AWK karena dianggap melakukan pelanggaran administrasi. Awalnya, AWK mendapat aduan terkait seleksi pendamping penganut agama Hindu di Sumata Utara, yang tidak lolos seleksi. Kemudian, kata Nuh, AWK mengirim surat kepada Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sumatra Utara (Sumut).
Dalam suratnya itu, kata Nuh, AWK mempertanyakan ketidaklulusan tersebut atas nama lembaga DPD RI dan seolah-olah dikaitkan dengan Komite I yang membidangi pemerintahan. Sebenarnya, tidak terlalu salah AWK mengatakan sebagai Anggota DPD RI dan mempertanyakan masalah tersebut. Namun, menurut Nuh, AWK sudah terlalu jauh mengambil langkah.
Bahkan, AWK tidak berkoordinasi dengan anggota DPD RI Dapil Sumut, sehingga dinilai ada pelanggaran etika. Selain itu, surat yang diirim dianggap sebagai bentuk intervensi dan protes.
Nuh mengatakan, BK DPD RI pun telah mengecek surat itu ke Kanwil Kemenang Provinsi Sumut. Dari situ, BK DPD RI menilai ada pelanggaran administrasi, sehingga memberi sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada AWK.
Versi Nuh, seharusnya saat AWK mendapat aduan, bisa melakukan dua pendekatan. Pertama, koordinasi dengan anggota DPD RI Dapil Sumut. “Kedua, koordinasi dengan Komite III DPD RI yang antara lain membidangi masalah agama dan pendidikan,” terang anggota DPD RI Dapil Sumut ini.
Sementara, mengenai kasus AWK tentang ucapannya yang membolehkan kalangan muda melakukan seks bebas asalkan menggunakan kondom dan dugaan penistaan agama Hindu, menurut Nuh, sejauh ini belum diputuskan. Pasalnya, BK DPD RI akan melakukan pendalaman lagi.
BK DPD RI sendiri sudah meminta fatwa kepada PHDI Bali terkait masalah tersebut. PHDI Bali, kata Nuh, menjawab ada pelanggaran dan AWK mesti minta maaf. Namun, sampai saat ini belum ada permintaan maaf sesuai tradisi Hindu. Untuk itu, BK DPD RI akan melakukan pendalaman kembali mengenai jawaban dari PHDI Bali tersebut.
"Supaya BK DPD RI punya gambaran utuh terkait permasalahan itu ketika melakukan sidang nanti, karena ini menyangkut agama. Oleh karenanya, jawaban dari PHDI Bali akan menjadi dasar dalam menyikapi masalah itu, apakah ada penistaan agama Hindu atau tidak," terang Nuh.
Sampai saat ini, kata Nuh, belum dijadwalkan kapan sidang BK DPD RI akan digelar. Masalahnya, mulai, Sabtu (17/7) besok sudah reses hingga 12 Agustus 2021. Namun, yang terpenting sudah dilaporkan pada masa sidang saat ini. Tinggal masa sidang berikutnya diagendakan.
Nuh tidak menampik putusan atas permasalahan AWK terkait dugaan penistaan Agama tersebut relatif lama dibandingkan tentang pengiriman surat ke Kanwil Kemenag Provinsi Sumut. Sebab, mengenai surat tersebut, masalah administrasi dan klarifikasi dilakukan ke daerah. Sedangkan masalah penistaan agama agak lama, karena dikhawatirkan ada muatan politis, sehingga rentan. “Untuk itu, perlu dilakukan pendalaman-pendalaman,” tegas Nuh.
Sayangnya, AWK belum berhasil dikonfirmasi NusaBali terkait adanya teguran tertulis dari BK DPD RI. Saat dihubungi per telepon tadi malam, terdengar nada sambung namun ponselnya tidak diangkat. Pesan WhatsApp yang dikirimkan juga belum dibalas hingga berita ini ditulis. *k22
1
Komentar