Bali Susah
Banyak orang bilang sekarang zaman tak menentu. Sebuah masa yang sulit ditebak, seperti tak punya arah, tak gampang dimengerti, sehingga acap menakutkan.
Orang justru bingung ketika diberi kesempatan, menduga itu sebuah jebakan atau hoaks. Ketika gaji dikabarkan naik, banyak orang jadi bimbang: ini justru sebuah peluang yang bisa membuat hidup semakin susah. Harga barang akan berhamburan naik, sehingga semakin sulit dibeli. Apa itu tidak berarti hidup semakin kisruh?
Bali sebenarnya sudah sejak lama susah. Banyak sekali hal yang membuatnya sulit. Dulu, orang-orang mengaku sangat tenang hidup di Bali. Aman, teduh, damai, kebahagiaan merubung di mana-mana. Dulu Bali penuh cahaya bintang-bintang. Jika kita mendongakkan kepala ke langit, bintang-bintang kelihatan komplit. Bintang-bintang itulah yang membuat Ktut Tantri, penulis buku Revolusi di Nusa Damai, selalu merindukan Bali. “Di New York,” tulisnya di akhir buku, “Aku tak bakalan pernah menyaksikan bintang-bintang itu, kalah oleh gemerlap lampu jalanan.”
Bali mulai semakin susah ketika ia menjadi paket yang sangat laris dijual. Brosur dan leaflet pariwisata nyinyir menyuguhkan Bali sebagai tempat menjanjikan kesenangan duniawi, dan bisa dengan gampang disulap menjadi kenikmatan surgawi.
Jutaan brosur itu disebar, maka berjuta kesusahan menimpa Bali. Jika kemudian berjuta-juta lagi bujuk rayu turisme bertebaran di media sosial, tentu jutaan pula tambahan kesusahan menggerogoti Bali.
Jika kita bertanya kepada orang-orang Bali, siapa gerangan penyebab kesusahan itu, secepat kilat mereka menjawab, “Kaum pendatang itu, para pelancong, yang membuat kami susah.” Tapi jika kita tanya para pendatang itu, mereka akan menjawab, “Lho orang Bali sendiri dong yang membuat Bali susah. Kenapa mesti salahkan orang lain?”
Orang Bali sering dituding sebagai masyarakat yang mudah melempar kesalahan kepada orang lain. Mereka kadang merasa seperti mahluk super yang tak gampang keliru. Mereka selalu menilik diri sebagai orang yang senantiasa punya tujuan baik. Orang lain, bukan orang Bali, suka dianggap dibalut oleh keinginan merusak. Orang Bali sering menggerutu, “Pantas mereka suka merusak seperti itu, mereka tak pernah ketisin tirta, tak pernah mabakti,” jika menyaksikan kaum pendatang yang bertabiat buruk.
Kesusahan acap kali terjadi tanpa disadari, punya proses, tak sekali jadi. Banyak sekali orang Bali yang ingin kaya, tanpa sadar ikut menjual Bali. Dari pertumbuhan ekonomi Bali, mereka menikmati tak hanya kesejahteraan hidup, tapi juga kesempatan pamer diri. Sebuah kebudayaan baru manusia Bali muncul: suka bergenit-genit, punya gairah besar untuk memiliki apa saja yang bisa dimiliki karena merasa punya cukup banyak uang.
Tabiat pamer diri dan bergenit-genit ini kemudian membuat Bali semakin susah. Lalu lintas padat mobil mewah, snobisme menjadi pilihan baru. Orang Bali tak mampu pun makin kelihatan miskin. Timbang rasa semakin sayup, untung rugi menjadi pilihan penting. Orang kemudian bingung: ke mana perginya nikmat kekerabatan di Bali?
Bali masa kini memiliki takaran-takaran baru untuk mengukur keberhasilan seseorang. Seorang pelukis, dulu, disegani dan dihormati, jika karya mereka bisa dinikmati di tempat-tempat sakral, melalui peristiwa-peristiwa suci. Karyanya menjadi milik semua orang. Sekarang seseorang dikagumi sebagai pelukis besar jika karyanya laku puluhan juta rupiah. Banyak hal ditakar dari pertumbuhan ekonomi. Dan semua itu menghasilkan benturan-benturan baru di kalangan masyarakat Bali yang mencoba bertahan terus pada tradisi. Tradisi yang membiasakan mereka untuk tidak menonjolkan diri, agar tetap terjaga harmoni.
Bali dan manusianya terus menerus punya kesempatan menjadi besar, kaya, terkenal, sangat makmur. Semuanya sangat menggairahkan, memang, tapi justru membuat Bali semakin mudah berjumpa kesulitan atau ketidakseimbangan. Akhirnya orang harus sadar, Bali jangan gegabah menerima peluang, jangan mudah takluk pada tawaran uang, sebab bisa membuat pulau kecil ini semakin terperosok, kian kaya dengan kesusahan, yang justru diciptakan oleh orang-orang Bali sendiri.
Hidup berkecukupan menciptakan gaya hidup baru orang Bali. Hadiah kemakmuran dari industri turisme membuat orang Bali semakin yakin dan percaya diri melaksanakan upacara adat dan keagamaan yang besar, dengan ongkos bisa mencapai miliaran rupiah. Tatkala pandemi Covid-19 membuat bisnis pariwisata berantakan, orang mengaku hidup di Bali semakin susah, dan gaya hidup baru itu meredup kehilangan tempat. Hari-hari belakangan ini adalah hari-hari susah di Bali. Semua orang tak sabar ingin ke luar dari bombardir kesusahan itu.
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar