Tanam 5.000 Pohon Per Tahun, Perbaiki Kerusakan Mangrove 60 Persen
Konservasi Hutan Mangrove di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng
Keberhasilan upaya konservasi yang dilakukan kelompok masyarakat di Desa Pejarakan mengantarkan Kelompok Putri Menjangan menerima plakat Kalpataru kategori pemerhati lingkungan pada tahun 2018 lalu.
SINGARAJA, NusaBali
Abdul Hari, 40, berdiri di pinggir pantai berpasir putih wilayah Banjar Dinas Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Kamis (22/7) sore. Matanya menerawang jauh menelisik satu demi satu pohon bakau (mangrove) dengan tinggi tak lebih dari satu meter. Pohon-pohon itu baru ditanam akhir Juni lalu. Dia mengamati secara seksama pertumbuhan pohon yang menjadi harapan kehidupan masa depan warga di Desa Pejarakan.
Sejak tahun 2012 lalu, pria kelahiran 16 Juli 1981 ini didapuk menjadi Ketua Satgas Lingkungan Pejarakan. Dia menginisiasi pembentukan komunitas lingkungan di desanya. Pembentukan Satgas Lingkungan ini ditargetkan untuk memperbaiki kerusakan hutan mangrove yang terjadi karena pembukaan tambak udang dan tambak garam pada tahun 1989-1990. Hampir 60 persen dari luas total hutan mangrove di Desa Pejarakan rusak.
Menurut pengamatan pria tiga anak ini, kondisi kerusakan hutan di pesisir pantai ini juga diperparah dengan perilaku masyarakat setempat. Hutan mangrove seluas 96 hektare lebih terlalu diekploitasi sumber daya hayatinya. Tak hanya mengambil hewan yang hidup di dalamnya sebagai sumber makanan dan penghasilan, daun dan pohon mangrove juga sering dipangkas habis sebagai pakan ternak. Tak berhenti sampai di sana eksploitasi pohon mangrove juga terjadi pada batang pohon yang sudah berusia tua. Batang-batang pohon itu dirangkai dan dipakai pagar rumah oleh warga.
“Dulu sebelum ada kelompok pengawasan kerusakannya parah. Dari panjang pantai 7 kilometer di Pejarakan ini rata-rata pesisirnya ada mangrovenya. Dulu masyarakat tidak paham soal pentingnya keberadaan pohon ini. Yang mereka cari rantingnya untuk kayu bakar, daunnya untuk ternak dan batang dipakai pagar rumah. Karena kalau disusun rapi, warna kayunya juga seperti pohon jati kalau kering juga teksturnya kuat,” ucap pria yang akrab disapa Pak Riri ini.
Satgas Lingkungan kemudian dibentuk untuk mengawasi aktivitas masyarakat di hutan mangrove. Puluhan anggota kelompok ini lebih mengedepankan pada edukasi terkait fungsi dan pentingnya menjaga hutan mengrove. Menurut anak kelima dari enam bersaudara pasangan suami istri (pasutri) Sihenudin dan Mukminah, upaya edukasi dan menanamkan pemahaman kepada masyarakat untuk ikut serta menjaga lingkungan, diakuinya tak semudah membalikkan telapak tangan. Proses mengubah kebiasaan dari eksploitasi hayati hutan bakau menjadi ambil seperlunya berproses lama. Satgas Lingkungan pun mulai melakukan pengawasan pengambilan daun dan ranting mangrove oleh warga dengan pengawasannya.
Hingga upaya pelestarian lingkungannya mendapat dukungan dari sejumlah kelompok pesisir Desa Pejarakan yang terbentuk secara bertahap. Kelompok-kelompok masyarakat itu kemudian menyatukan misi untuk memperbaiki kerusakan hutan mangrove di sekitar mereka.
Kegiatan reboisasi kemudian dibantu oleh kelompok pesisir seperti Kelompok Putri Menjangan dan juga anak-anak pelajar dan mahasiswa yang seringkali melakukan penelitian di Pejarakan. Di tengah perjalanan upaya konservasi yang dilakukannya tak hanya berfokus pada penyadaran masyarakat memperlakukan mangrove. Tetapi juga masalah sampah kiriman dari sungai yang bermuara di Teluk Pejarakan. Paling sedikit ada 90 kilogram sampah plastik dan residu didapat dari pembersihan bakau sekali turun.
Volume sampah di hutan mangrove itu akan menjadi lima kali lipat pada musim penghujan. Karena semua aliran air sungai bermuara di hutan mangrove Pejarakan. “Kami bersama kelompok lainnya dan pelajar di sini turun lakukan pembersihan sampah dua kali seminggu. Sampah puncaknya saat musim penghujan bisa 400-500 kilogram per satu kali turun, khusus sampah plastik dan residu saja,” ungkap suami Usnaini ini.
Konservasi yang dilakukan kelompok peduli lingkungan Desa Pejarakan ini kemudian diskemakan dari pembibitan mangrove, penanaman, pengawasan, pengelolaan sampah, hingga pengembangan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Upaya konservasi yang diawali dengan niat tulus kemudian mulai mendapatkan support dari pemerintah desa, kabupaten, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pengusaha swasta yang berinvestasi di kawasan pesisir Pejarakan.
“Kami sekarang punya target setahun menanam 5.000 bibit pohon mangrove. Pembibitan kami ambil dari alam, kemudian disemai dari induk pohonnya. Potensi hidup lebih tinggi, lebih tahan gempuran gelombang,” ucap Abdul Hari yang lama berkecimpung di dunia pariwisata sebelum memantapkan hari sebagai aktivis lingkungan ini.
Bahkan tahun ini Desa Pejarakan juga menerima bantuan pembibitan dari pemerintah pusat untuk konservasi lingkungan. Program yang dikemas dalam program padat karya menghasilkan 70.000 bibit mangrove. Aktivitas pelestarian yang dilakukan dengan konsisten hampir satu dasa warsa membuat kelompok ini mendapat banyak dukungan. Tak hanya dari pemerintah, dari pihak swasta yang menanamkan modalnya di Desa Pejarakan juga berkontribusi. Sejumlah pengusaha rutin memberikan dukungan biaya operasional kelompok-kelompok di pesisir Desa Pejarakan. Mulai dari kelompok pengelolaan sampahnya, kelompok penghijauan hingga kelompok pengawasan.
Alumni SMPN 2 Gerokgak ini juga mengatakan kelompok pelestari hutan mangrove Pejarakan diketahui Pemda, Pemdes, dan Desa Adat telah melakukan MoU dengan perusahaan di sekitar hutan mangrove. Selain dukungan material, investor juga menjaminkan komitmennya untuk ikut menjaga kelestarian mangrove. “Pengusaha di sini sudah pada pegang HGU (Hak Guna Usaha) sehingga di awal kami ingin melakukan konservasi tidak bisa sembarangan mengambil alih. Karena mereka punya dasar hukum. Kemudian ini yang kami jajaki untuk membuat kesepakatan sesuai dengan ketentuan undang-undang konservasi,” jelas Abdul Hari.
Dalam kesepakatan yang dibuat kelompok bersama investor disebut Abdul Hari menyepakati bahwa pemanfaatan kawasan hutan mangrove oleh investor hanya boleh 10 persen dari luasan mangrove di HGU mereka. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove tersebut juga diarahkan ramah lingkungan, seperti tidak membangun bangunan permanen di atas hutan bakau. Selain tidak menebang atau memotong pohon mangrove yang sudah ada. “Ini kesepakatan kami dengan pengusaha yang sejauh ini sangat mendukung upaya pelestarian. Dengan MoU ini kami tidak mengganggu usaha mereka, tetapi hutan mangrove tetap terjaga kelestariannya,” imbuh dia.
Upaya konservasi yang dilakukan bertahun-tahun ini disebut Abdul Hari sudah mulai dirasakan manfaatnya, mencegah abrasi dan memecah gelombang pasang. Selain dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar. Bahkan sebelum pandemi desa berbasis pariwisata ini sudah berhasil mengembangkan paket tracking hutan bakau yang dipaketkan dengan wisata alam lainnya. Seperti wisata air panas Banyuwedang, wisata bahari melihat keindahan bawah laut.
Banyak turis yang berlibur di kawasan Kabupaten Buleleng bagian barat menyukai touring berkeliling hutan mangrove, yang lintasannya disebut Abdul Hari terbentuk secara alami. Jika kondisi laut sedang pasang, wisatawan diajak berkeliling menggunakan sampan. Namun saat air laut surut cukup menggunakan sepatu boots dan menempuh jalur dengan berjalan kaki. Kelompok peduli lingkungan juga memberlakukan skema adopsi pohon mangrove kepada wisatawan yang ingin berkontribusi memelihara lingkungan.
“Syukur upaya konservasi yang dilakukan sudah mulai dinikmati warga di sini. Banyak yang menjadi guide sudah merasakan manfaatnya. Selain kelestarian alam, ekosistem di dalamnya juga mulai pulih. Dengan hutan mangrove yang rapat banyak tersedia ulat makanan burung. Burung Curik Bali juga mulai banyak terlihat sekarang,” katanya.
Tak hanya itu kekayaan hayati hutan mangrove, mulai dari ikan, kerang hingga kepiting bakau juga menjadi sumber penghidupan dan penghasilan warga setempat. Keberhasilan upaya konservasi yang dilakukan kelompok masyarakat di Desa Pejarakan mengantarkan Kelompok Putri Menjangan menerima plakat Kalpataru kategori pemerhati lingkungan pada tahun 2018 lalu. Penghargaan yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup itu disebut Abdul Hari sebagai kebanggaan bersama Desa Pejarakan.
“Sejak awal konservasi yang kami lakukan selalu mengedepankan Filosofi Tri Hita Karana, konsep Hindu Bali yang sangat menginspirasi. Tiga hubungan baik manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan untuk menciptakan keseimbangan duniawi. Ketika alam sudah kita jaga dengan baik, maka alam akan menyediakan segala untuk kehidupan kita,” tutur dia.
Abdul Hari dan teman-teman kelompok pelestari lingkungan Desa Pejarakan berharap apa yang mereka lakukan dapat menginspirasi orang lain di seluruh belahan dunia.
Sementara itu Perbekel Pejarakan Made Astawa secara terpisah mengatakan untuk konservasi mangrove di pesisir desanya memang sudah lama dilakukan oleh kelompok masyarakat setempat. Mereka juga banyak didukung pengusaha swasta di sekitarnya untuk biaya operasional.
“Pemeliharaan mangrove yang dilakukan masyarakat kami juga banyak didukung perusahaan swasta. Sebelum pandemi satu perusahaan bisa beri tujuh puluh lima juta (Rp 75 juta), itu dibagi-bagi kelompok yang langsung mengelola. Selain dari APBDes khusus untuk operasional pengelolaan sampahnya kami bantu,” jelas Astawa. Upaya kolaborasi untuk konservasi lingkungan yang sudah terbentuk di Desa Pejarakan ini pun disebutnya merupakan kesatuan bentuk untuk mempercepat pencapaian tujuan. *k23
Sejak tahun 2012 lalu, pria kelahiran 16 Juli 1981 ini didapuk menjadi Ketua Satgas Lingkungan Pejarakan. Dia menginisiasi pembentukan komunitas lingkungan di desanya. Pembentukan Satgas Lingkungan ini ditargetkan untuk memperbaiki kerusakan hutan mangrove yang terjadi karena pembukaan tambak udang dan tambak garam pada tahun 1989-1990. Hampir 60 persen dari luas total hutan mangrove di Desa Pejarakan rusak.
Menurut pengamatan pria tiga anak ini, kondisi kerusakan hutan di pesisir pantai ini juga diperparah dengan perilaku masyarakat setempat. Hutan mangrove seluas 96 hektare lebih terlalu diekploitasi sumber daya hayatinya. Tak hanya mengambil hewan yang hidup di dalamnya sebagai sumber makanan dan penghasilan, daun dan pohon mangrove juga sering dipangkas habis sebagai pakan ternak. Tak berhenti sampai di sana eksploitasi pohon mangrove juga terjadi pada batang pohon yang sudah berusia tua. Batang-batang pohon itu dirangkai dan dipakai pagar rumah oleh warga.
“Dulu sebelum ada kelompok pengawasan kerusakannya parah. Dari panjang pantai 7 kilometer di Pejarakan ini rata-rata pesisirnya ada mangrovenya. Dulu masyarakat tidak paham soal pentingnya keberadaan pohon ini. Yang mereka cari rantingnya untuk kayu bakar, daunnya untuk ternak dan batang dipakai pagar rumah. Karena kalau disusun rapi, warna kayunya juga seperti pohon jati kalau kering juga teksturnya kuat,” ucap pria yang akrab disapa Pak Riri ini.
Satgas Lingkungan kemudian dibentuk untuk mengawasi aktivitas masyarakat di hutan mangrove. Puluhan anggota kelompok ini lebih mengedepankan pada edukasi terkait fungsi dan pentingnya menjaga hutan mengrove. Menurut anak kelima dari enam bersaudara pasangan suami istri (pasutri) Sihenudin dan Mukminah, upaya edukasi dan menanamkan pemahaman kepada masyarakat untuk ikut serta menjaga lingkungan, diakuinya tak semudah membalikkan telapak tangan. Proses mengubah kebiasaan dari eksploitasi hayati hutan bakau menjadi ambil seperlunya berproses lama. Satgas Lingkungan pun mulai melakukan pengawasan pengambilan daun dan ranting mangrove oleh warga dengan pengawasannya.
Hingga upaya pelestarian lingkungannya mendapat dukungan dari sejumlah kelompok pesisir Desa Pejarakan yang terbentuk secara bertahap. Kelompok-kelompok masyarakat itu kemudian menyatukan misi untuk memperbaiki kerusakan hutan mangrove di sekitar mereka.
Kegiatan reboisasi kemudian dibantu oleh kelompok pesisir seperti Kelompok Putri Menjangan dan juga anak-anak pelajar dan mahasiswa yang seringkali melakukan penelitian di Pejarakan. Di tengah perjalanan upaya konservasi yang dilakukannya tak hanya berfokus pada penyadaran masyarakat memperlakukan mangrove. Tetapi juga masalah sampah kiriman dari sungai yang bermuara di Teluk Pejarakan. Paling sedikit ada 90 kilogram sampah plastik dan residu didapat dari pembersihan bakau sekali turun.
Volume sampah di hutan mangrove itu akan menjadi lima kali lipat pada musim penghujan. Karena semua aliran air sungai bermuara di hutan mangrove Pejarakan. “Kami bersama kelompok lainnya dan pelajar di sini turun lakukan pembersihan sampah dua kali seminggu. Sampah puncaknya saat musim penghujan bisa 400-500 kilogram per satu kali turun, khusus sampah plastik dan residu saja,” ungkap suami Usnaini ini.
Konservasi yang dilakukan kelompok peduli lingkungan Desa Pejarakan ini kemudian diskemakan dari pembibitan mangrove, penanaman, pengawasan, pengelolaan sampah, hingga pengembangan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Upaya konservasi yang diawali dengan niat tulus kemudian mulai mendapatkan support dari pemerintah desa, kabupaten, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pengusaha swasta yang berinvestasi di kawasan pesisir Pejarakan.
“Kami sekarang punya target setahun menanam 5.000 bibit pohon mangrove. Pembibitan kami ambil dari alam, kemudian disemai dari induk pohonnya. Potensi hidup lebih tinggi, lebih tahan gempuran gelombang,” ucap Abdul Hari yang lama berkecimpung di dunia pariwisata sebelum memantapkan hari sebagai aktivis lingkungan ini.
Bahkan tahun ini Desa Pejarakan juga menerima bantuan pembibitan dari pemerintah pusat untuk konservasi lingkungan. Program yang dikemas dalam program padat karya menghasilkan 70.000 bibit mangrove. Aktivitas pelestarian yang dilakukan dengan konsisten hampir satu dasa warsa membuat kelompok ini mendapat banyak dukungan. Tak hanya dari pemerintah, dari pihak swasta yang menanamkan modalnya di Desa Pejarakan juga berkontribusi. Sejumlah pengusaha rutin memberikan dukungan biaya operasional kelompok-kelompok di pesisir Desa Pejarakan. Mulai dari kelompok pengelolaan sampahnya, kelompok penghijauan hingga kelompok pengawasan.
Alumni SMPN 2 Gerokgak ini juga mengatakan kelompok pelestari hutan mangrove Pejarakan diketahui Pemda, Pemdes, dan Desa Adat telah melakukan MoU dengan perusahaan di sekitar hutan mangrove. Selain dukungan material, investor juga menjaminkan komitmennya untuk ikut menjaga kelestarian mangrove. “Pengusaha di sini sudah pada pegang HGU (Hak Guna Usaha) sehingga di awal kami ingin melakukan konservasi tidak bisa sembarangan mengambil alih. Karena mereka punya dasar hukum. Kemudian ini yang kami jajaki untuk membuat kesepakatan sesuai dengan ketentuan undang-undang konservasi,” jelas Abdul Hari.
Dalam kesepakatan yang dibuat kelompok bersama investor disebut Abdul Hari menyepakati bahwa pemanfaatan kawasan hutan mangrove oleh investor hanya boleh 10 persen dari luasan mangrove di HGU mereka. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove tersebut juga diarahkan ramah lingkungan, seperti tidak membangun bangunan permanen di atas hutan bakau. Selain tidak menebang atau memotong pohon mangrove yang sudah ada. “Ini kesepakatan kami dengan pengusaha yang sejauh ini sangat mendukung upaya pelestarian. Dengan MoU ini kami tidak mengganggu usaha mereka, tetapi hutan mangrove tetap terjaga kelestariannya,” imbuh dia.
Upaya konservasi yang dilakukan bertahun-tahun ini disebut Abdul Hari sudah mulai dirasakan manfaatnya, mencegah abrasi dan memecah gelombang pasang. Selain dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar. Bahkan sebelum pandemi desa berbasis pariwisata ini sudah berhasil mengembangkan paket tracking hutan bakau yang dipaketkan dengan wisata alam lainnya. Seperti wisata air panas Banyuwedang, wisata bahari melihat keindahan bawah laut.
Banyak turis yang berlibur di kawasan Kabupaten Buleleng bagian barat menyukai touring berkeliling hutan mangrove, yang lintasannya disebut Abdul Hari terbentuk secara alami. Jika kondisi laut sedang pasang, wisatawan diajak berkeliling menggunakan sampan. Namun saat air laut surut cukup menggunakan sepatu boots dan menempuh jalur dengan berjalan kaki. Kelompok peduli lingkungan juga memberlakukan skema adopsi pohon mangrove kepada wisatawan yang ingin berkontribusi memelihara lingkungan.
“Syukur upaya konservasi yang dilakukan sudah mulai dinikmati warga di sini. Banyak yang menjadi guide sudah merasakan manfaatnya. Selain kelestarian alam, ekosistem di dalamnya juga mulai pulih. Dengan hutan mangrove yang rapat banyak tersedia ulat makanan burung. Burung Curik Bali juga mulai banyak terlihat sekarang,” katanya.
Tak hanya itu kekayaan hayati hutan mangrove, mulai dari ikan, kerang hingga kepiting bakau juga menjadi sumber penghidupan dan penghasilan warga setempat. Keberhasilan upaya konservasi yang dilakukan kelompok masyarakat di Desa Pejarakan mengantarkan Kelompok Putri Menjangan menerima plakat Kalpataru kategori pemerhati lingkungan pada tahun 2018 lalu. Penghargaan yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup itu disebut Abdul Hari sebagai kebanggaan bersama Desa Pejarakan.
“Sejak awal konservasi yang kami lakukan selalu mengedepankan Filosofi Tri Hita Karana, konsep Hindu Bali yang sangat menginspirasi. Tiga hubungan baik manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan untuk menciptakan keseimbangan duniawi. Ketika alam sudah kita jaga dengan baik, maka alam akan menyediakan segala untuk kehidupan kita,” tutur dia.
Abdul Hari dan teman-teman kelompok pelestari lingkungan Desa Pejarakan berharap apa yang mereka lakukan dapat menginspirasi orang lain di seluruh belahan dunia.
Sementara itu Perbekel Pejarakan Made Astawa secara terpisah mengatakan untuk konservasi mangrove di pesisir desanya memang sudah lama dilakukan oleh kelompok masyarakat setempat. Mereka juga banyak didukung pengusaha swasta di sekitarnya untuk biaya operasional.
“Pemeliharaan mangrove yang dilakukan masyarakat kami juga banyak didukung perusahaan swasta. Sebelum pandemi satu perusahaan bisa beri tujuh puluh lima juta (Rp 75 juta), itu dibagi-bagi kelompok yang langsung mengelola. Selain dari APBDes khusus untuk operasional pengelolaan sampahnya kami bantu,” jelas Astawa. Upaya kolaborasi untuk konservasi lingkungan yang sudah terbentuk di Desa Pejarakan ini pun disebutnya merupakan kesatuan bentuk untuk mempercepat pencapaian tujuan. *k23
1
Komentar