Usaha Tani Tembakau Bali Utara Tinggal Kenangan
Singaraja, NusaBali.com
Bangunan berukuran 5x5 meter itu terlihat terbengkalai. Bangunan dengan ketinggian 11 meter itu merupakan sisa-sisa kejayaan petani tembakau di Buleleng. Kini bangunan itu tak terurus. Hanya menjadi gudang penyimpanan barang bekas.
Sore itu Komang Widiadnyana, 25, sengaja berjalan ke arah bangunan tua itu. Ia mengambil sebuah tangki untuk menyemprot pestisida. Kebetulan saja tangki itu tersimpan di bangunan tua itu.
Oven, demikian masyarakat setempat memberi nama bangunan itu. Dulu, pada masa jaya tembakau, bangunan itu jamak digunakan untuk mengeringkan tembakau. Namun sejak delapan tahun terakhir, bangunan itu beralih fungsi. Kini fungsinya tak lebih dari sekadar gudang penyimpanan barang bekas.
Bangunan itu dulunya digunakan untuk mengeringkan tembakau. Di seantero Buleleng, tak sulit menemukan bangunan seperti itu. Utamanya di Desa Panji, Desa Sambangan, Desa Baktiseraga, maupun di Desa Panji Anom.
Widiadnyana rupanya memahami fenomena itu. Widi, demikian pemuda itu biasa disapa, lahir dari keluarga petani tembakau. Ayahnya, Mangku Ketut Kadi, 65, merupakan petani tembakau yang tersohor di Desa Panji Anom. Buktinya, bangunan yang bernama oven tembakau itu masih berdiri tegak di halaman rumah.
Foto: Salah satu oven tembakau yang banyak terbengkalai di Buleleng setelah perusahaan mitra memutuskan hubungan kerjasama sejak tahun 2020 lalu. -LILIK
Mangku Kadi memilih berhenti menjadi petani tembakau sejak 2013 lalu. Bertahun-tahun Mangku Kadi hiatus dari profesinya sebagai petani tembakau. “Bapak bilang sudah tidak menguntungkan. Pemerintah juga sudah tidak berpihak pada petani tembakau,” cerita Widi.
Setelah tiga tahun memutuskan berhenti bertani tembakau, Mangku Kadi divonis mengidap meningitis. Kegiatan bertani dan berkebunnya praktis berhenti total. “Paling bapak ke sawan atau ke kebun lihat-lihat saja sambil mengumpulkan kayu bakar,” imbuh pemuda kelahiran 1996. Profesi itu lantas dilanjutkan oleh Widi.
Sejatinya Widi telah memiliki pekerjaan tetap. Yakni sebagai laboran di RSUD Buleleng. Profesi itu diemban sejak 2016. Tapi, seperti peribahasa. Apel jatuh tak jauh dari pohonnya. Keinginan Widi menggeluti dunia tani tak dapat dibendung. Di sela-sela waktu usai bekerja di rumah sakit pemerintah, Widi selalu menyempatkan diri untuk mengurus sawah dan kebun keluarga.
Pada NusaBali, Widi menuturkan, keluarganya telah menggeluti bisnis tembakau sejak ia berusia 7 tahun. Kala itu ayahnya masih menjadi buruh tani, ikut bekerja pada pamannya. Setelah memiliki modal yang cukup, keluarga ini memutuskan bercocok tanam tembakau sejak 1995.
Seingat Widi, ayahnya tak pernah merugi. Lebih lagi keluarganya mengendalikan pertanian tembakau. Dari hulu hingga hilir. Sejak bibit masih berupa biji, hingga panen. Hasil panen tembakau selalu diserap industri hasil tembakau. Utamanya industri rokok. Rata-rata daun tembakau yang dihasilkan dari kebun Mangku Kadi berwarna kuning langsat dan mulus. Daun tembakau semacam itu akan masuk kualitas super yang diberi harga tinggi oleh perusahaan mitra.
“Waktu itu bapak sampai bisa beli tanah. Luasnya sekitar tiga hektare. Sekarang ditanami padi, tidak pernah ditanami tembakau,” cerita Widi.
Sejak 2006, keluarga Widi sebenarnya merasa galau. Krisis minyak tanah sangat memengarauhi industri hulu. Biaya pengeringan tembakau melonjak tajam. Petani pun kelabakan, karena tak siap dengan kondisi itu.
Alhasil petani melakukan konversi bahan bakar pengeringan tembakau. Dari minyak tanah menjadi gas. Tapi ini bukan perkara mudah. Sebab bisnis pertanian tembakau, merupakan bisnis mahal. Petani harus berhitung sejak dari sewa lahan, harga bibit, ongkos buruh, biaya pemupukan, biaya panen, hingga ongkos pengeringan.
“Malah pernah suatu ketika itu sewa lahan saja, biaya yang keluar sama dengan tiga kali hasil panen padi. Itu kan sudah nggak masuk akal,” ceritanya.
Ongkos buruh tani misalnya. Petani tembakau rata-rata memekerjakan 10-15 orang buruh tetap. Jumlah itu dapat bertambah sesuai dengan jenis pekerjaan.
Biasanya petani akan mengurangi buruh saat proses pemangkasan pucuk atau pembersihan ulat daun. Lain waktu, saat pemupukan tembakau, jumlah buruh kembali ditingkatkan. Selama enam bulan periode masa tanam tembakau, jumlah tenaga keja yang dilibatkan sangat fluktuaktif.
Pada 2013 misalnya. Keluarga Widiadnyana harus merogoh biaya sebanyak Rp 60 juta untuk biaya operasional. Biaya itu tak selalu berhasil ditutupi keuntungan. Biasanya petani baru balik modal bila cuaca berpihak. Bila masuk musim kemarau basah, bisa dipastikan cuan tinggal harapan.
Risiko yang tinggi, memilih keluarga ini berhenti menanam tembakau. Widi pun bersyukur, karena keluarganya memilih berhenti bercocok tanam tembakau sejak awal. Sebab perusahaan Industri Hasil Tembakau, memutuskan tidak menyerap hasil tembakau petani sejak 2020 lalu.
Melirik Peluang Baru
SEPATU Bot itu penuh lumpur. Widi terseok-seok di pematang sawah. Berusaha menuju pintu air yang terletak sekitar 200 meter arah selatan lahan sawah milik keluarganya. Dia berusaha mengalirkan air dari saluran air yang ada. Saban hari ia berjuang menerapkan teknik yang diajarkan oleh ayahnya.
Widi tak mau menyerah begitu saja. Dia berusaha membuktikan pada orang tuanya, bahwa ia bisa mewarisi keahlian keluarga. Yakni bercocok tanam.
Hari-hari belakangan, ia memilih lahan pertanian milik orang tuanya. Peluang menanam tembakau ia buang jauh-jauh. Kini dia memilih bercocok tanaman pangan. Seperti padi, kedelai, kacang hijau dan jagung. Selain itu, ia juga menanam rambutan hingga cengkih.
Sejak 2014 lahan pertanian itu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bertani. Dia dibantu seorang buruh tani yang diberi tugas menjaga sawah dan kebunnya saat ditinggal bekerja di rumah sakit. Widi menilai pekerjaan sebagai petani adalah hal serius, bukan semata hobi.
Baginya bertani memberikan potensi yang menjanjikan. Ia memiliki keinginan mengelola lahannya dengan pola organik. Sehingga nilai komoditas yang dihasilkan lebih tinggi.
Hasil tani saat ini diakui sudah mencukupi bagi keluarga. Bahkan Widi mengaku bekerja sebagai petani memberikan hasil yang lebih besar, ketimbang bekerja sebagai laboran di rumah sakit pemerintah.
“Komoditas apapun yang kita tanam, jika proses hulu-hilirnya bagus dan nyambung hingga pasca panen. Saya rasa petani semuanya bisa lebih dari cukup. Tapi sekarang belum 100 persen organik,” katanya.
Bagi Widi meyakinkan orang tua bukan perkara mudah. Sebab jeda peralihan dari bertani dengan bahan kimia menjadi organik, butuh jeda waktu selama dua tahun. Itu berarti, selama dua tahun pula keluarga kehilangan pendapatan dari bertani.
“Padahal kalau bisa 100 persen organik, prospeknya lebih meyakinkan. Saya masih mengumpulkan modal dulu, termasuk menerapkan penyiraman sistem tetes pada cengkih dan rambutan di kebun,” ungkap Widi.
Bukan Lagi Primadona
KINI komoditas tembakau tak lagi menjadi primadona di Buleleng. Mengacu data pada Dinas Pertanian Buleleng, sejak 2017 lalu terjadi penurunan signifikan terhadap luas area tanam kebun tembakau. Dari semula 410 hektare pada tahun 2017, merosot menjadi 288,9 hektare pada tahun 2019. Bahkan pada tahun 2020 dan 2021 tak ada lagi petani yang menanam tembakau.
Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta mengungkapkan, petani lebih memilih bercocok tanam komoditas tanaman pangan. Sebab komoditas itu yang lebih menjanjikan pada masa pandemi. Ketimbang tanaman tembakau yang sebenarnya masuk dalam komoditas tersier bagi masyarakat.
Foto: Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarta. -LILIK
Selain itu sejak beberapa tahun terakhir, serapan hasil panen tembakau dari Industri Hilir Tembakau tak signifikan. “Harus diakui komoditas tembakau ini sangat tergantung dengan perusahaan mitra (pabrik rokok). Sejak pemutusan kerjasama mitra kerja petani tembakau luasan tanam tembakau memang merosot tajam,” kata Sumiarta.
Peralihan komoditas itu disebut tak memberikan pengaruh siginifikan terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian dan perkebunan. Sebab petani telah melirik komoditas lain.
“Ada yang menanam jagung, ada yang menanam kedelai, ad ajuga yang menanam sorgum. Masih ada alternatif tanaman lain sebagai komoditas sela ketika musim kemarau. Ini juga memberikan hasil yang lumayan bagi petani,” tuturnya.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Buleleng dr Sucipto meyakini, peralihan komoditas tembakau ke komoditas tanaman pangan akan berdampak langsung pada taraf kesehatan masyarakat. Dari sisi medis, menurut Sucipto, konsumsi tembakau akan memengaruhi angka stunting di Kabupaten Buleleng.
Mengacu hasil penelitian Tim Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), tahun 1997-2014. Dalam penelitian tersebut disimpulkan anak yang memiliki orang tua perokok kronis memiliki probabilita mengalami stunting 5.5% lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orang tua bukan perokok.
Disamping itu konsumsi tembakau dalam bentuk rokok, akan memicu ketergantungan. Bagi pria, konsumsi rokok akan memicu impotensi. Sementara bagi kaum hawa, dapat memicu gangguan kehamilan dan janin. Dalam jangka panjang, konsumsi rokok juga memicu gangguan saluran pernafasan, hingga gangguan jantung.
“Peralihan komoditas ini tentu sejalan dengan rencana pemerintah mengurangi angka stunting. Karena stunting itu pengaruhnya sudah terjadi sejak dalam proses kandungan,” jelasnya. k23
Komentar