Lahan Dijual untuk Ngaben, Terpaksa Tinggal di Gubuk Reot Kawasan Hutan
Potret Pasangan Keluarga Miskin dari Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Buleleng
Bantuan beras 5 kilogram per bulan yang sempat diterima keluarga Made Wangi, dihentikan pemerintah tahun 2018 lalu karena nomor kartu keluarga (KK)-nya diketahui dobel.
SINGARAJA, NusaBali
Pasangan suami istri I Made Wangi, 62, dan Ni Made Rakta, 61, merupakan salah satu potret keluarga miskin dari Banjar Silagading, Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Mereka terpaksa tinggal pada gubuk reot di hutan negara di perbukitan kawasan perbatasan Desa Sambirenteng dan Desa Pinggan (Kecamatan Kintamani, Bangli), setelah lahan pekarangan satu-satuya dijual untuk upacara pengabenan.
Pasutri Made Wangi dan Made Rakta menempati tiga unit gubuk reot di perbukitan tersebut bersama anak perempuannya, Ni Ketut Yasa, dan sang cucu I Gede Sudiana, 8. Gubuk reot berdinding anyaman bambu dan ranting beratapkan ilalang tersebut dibangun di antara pohon jambu mete.
Semula, keluarga miskin ini tinggal di Banjar Silagading, Desa Sambirenteng, yang lokasinya dekat pantai. Namun, beberapa tahun silam, tanah pekarangan yang merupakan harta satu-satunya milik mereka terpaksa dijual untuk biaya pengabenan leluhur Made Wangi.
Karena tak memiliki tempat tinggal dan lahan lainnya, Made Wangi memutuskan mengajak istri dan anaknya untuk tinggal di gubuk reot di hutan negara yang lokasinya di perbukitan. Kesehariannya, Made Wangi selaku kepala keluarga kerjanya hanya memelihara sapi milik orang lain, istilahnya ngadas. Saat mulai musim hujan, barulah keluarga miskin ini menanam tanaman palawija, seperti jagung dan ketela pohon di sekitar gubuknya.
“Saya sudah lama tinggal di sini (perbukitan, Red), tidak ingat sejak tahun berapa. Yang pasti, sejak anak-anak saya masih kecil. Karena tidak punya tempat lain, kami terpaksa mondok di sini. Tanah ini tanah hutan negara, saya hanya numpang dan menanaminya kalau musim hujan. Kalau pas kering begini, ya hanya cari pakan sapi,” tutur Made Wangi saat ditemui NusaBali di gubuknya, Selasa (3/8) siang.
Keluarga Made Wangi sebetulnya sudah sempat mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah, baik jaminan kesehatan berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun bantuan beras sejahtera (Rastra) bagi KK miskin. Hanya saja, bantuan Rastra terakhir kali diterimanya tahun 2018 silam. “Bantuan beras tiba-tiba terputus hingga saat ini,” keluh pria berusia 62 tahun ini.
Made Wangi tidak dapat berbuat banyak di tengah kehidupan keras yang dihadapinya. Sebagai tulang punggung keluarga, dia pun membiasakan istri, anak, dan cucunya hidup seadanya.
Ketika musim kemarau, tidak ada hasil ladang, keluarga miskin ini terpaksa hanya makan nasi cacah (irisan ketela pohon yang dikeringkan, Red). Biasanya, cacah ini dia buat saat musim hujan. Cacah disimpan sebagai cadangan makanan saat keluarga ini tak punya beras untuk dimasak.
“Saat ini, uang untuk beli kopi saja kami tidak punya. Beras juga habis. Ya, mau tidak mau kami harus makan nasi cacah saja. Kadang cacah memang dijual, tapi sekarang lagi tidak ada yang beli,” papar Made Wangi.
Pasutri Made Wangi dan Made Rakta sebenarnya memiliki 5 orang anak. Dua (2) anak perempuannya sudah menikah. Sedangkan anak lelaki satu-satunya dan anak bungsunnya yang perempuan, kini merantau ke Denpasar, bekerja serabutan. Hanya anak perempuan satunya lagi, Ketut Yasa, yang tinggal bersama orangtua mereka. Selain itu, juga salah satu cucunya yang berusia 8 tahun, Gede Sudiana.
Menurut Made Wangi, keluarganya meresa beruntung karena saat ini masih musim kemarau, sehingga mereka tidak kehujanan. Maklum, gubuk mereka yang beratapkan ilalang sudah banyak berlubang alias bocor.
Keluarga miskin ini menjalani hari-harinya tinggal di gubuk reot kawasan hutan tanpa penerangan listrik. Mereka biasanya langsung beristirahat setiap menjelang malang. Tak ada hiburan nonton televisi yang bisa mereka nikmati.
Selain itu, air bersih juga sulit didapatkan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, keluarga miskin ini biasanya mencari di sumber mata air Gunung Sari, yang berjarak sekitar 700 meter ke arah selatan (bagian atas) dari gubuknya. Air yang ditimba dalam jirigen itu kemudian ditampung di bak penampungan sederhana.
“Harapan kami, mudah-mudahan ada bantuan dari pemerintah, seperti dulu. Kalau dulu, setiap bulan kami dapat jatah beras 5 kilogram. Itu saja bagi kami sudah cukup. Tapi, bantuan beras itu sudah terputus sejak tahun 2018,” cerita Made Wangi.
Sementara itu, Sekretaris Desa (Sekdes) Sambirenteng, I Made Setiawan, memastikan keluraga Made Wangi adalah warganya. Menurut Setiawan, keluarga Made Wangi sebenarnya sudah pernah mendapat bantuan pemerintah berupa KIS, KIP, dan beras. Bahkan, pada tahun 2018 mereka sempat akan mendapatkan bantuan bedah rumah dari Pemprov Bali. Namun, bantuan bedah rumah itu ditolak Made Wangi karena tidak memiliki lahan sendiri untuk membangunnya.
Setiawan menyebutkan, bantuan beras sejahtera yang saat ini bernama Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), tidak lagi didapatkan keluarga Made Wangi, karena nomor KK-nya dobel. Gara-gara nomor KK bermasalah, bantuan terhenti otomatis melalui sistem pemerintah pusat.
“Tindak lanjutnya, nanti akan kembali kami usulkan untuk masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), agar mereka kembali mendapatkan haknya. Kalaupun belum bisa masuk tahun ini, nanti dari pihak desa akan mengusahakan BLT Dana Desa,” tandas Setiawan, yang sempat naik ke perbukitan menjenguk keluarga Made Wangi.
Sementara itu, kondisi memprihatinkan Made Wangi dan keluarganya menarik simpati dari sejumlah kalangan. Tim Reaksi Cepat (TRC) Yayasan Angel Heart Bali pun langsung turun tangan megunjungi keluarga miskin ini untuk memberikan bantuan sembako dan uang tunai. *k23
Pasutri Made Wangi dan Made Rakta menempati tiga unit gubuk reot di perbukitan tersebut bersama anak perempuannya, Ni Ketut Yasa, dan sang cucu I Gede Sudiana, 8. Gubuk reot berdinding anyaman bambu dan ranting beratapkan ilalang tersebut dibangun di antara pohon jambu mete.
Semula, keluarga miskin ini tinggal di Banjar Silagading, Desa Sambirenteng, yang lokasinya dekat pantai. Namun, beberapa tahun silam, tanah pekarangan yang merupakan harta satu-satunya milik mereka terpaksa dijual untuk biaya pengabenan leluhur Made Wangi.
Karena tak memiliki tempat tinggal dan lahan lainnya, Made Wangi memutuskan mengajak istri dan anaknya untuk tinggal di gubuk reot di hutan negara yang lokasinya di perbukitan. Kesehariannya, Made Wangi selaku kepala keluarga kerjanya hanya memelihara sapi milik orang lain, istilahnya ngadas. Saat mulai musim hujan, barulah keluarga miskin ini menanam tanaman palawija, seperti jagung dan ketela pohon di sekitar gubuknya.
“Saya sudah lama tinggal di sini (perbukitan, Red), tidak ingat sejak tahun berapa. Yang pasti, sejak anak-anak saya masih kecil. Karena tidak punya tempat lain, kami terpaksa mondok di sini. Tanah ini tanah hutan negara, saya hanya numpang dan menanaminya kalau musim hujan. Kalau pas kering begini, ya hanya cari pakan sapi,” tutur Made Wangi saat ditemui NusaBali di gubuknya, Selasa (3/8) siang.
Keluarga Made Wangi sebetulnya sudah sempat mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah, baik jaminan kesehatan berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun bantuan beras sejahtera (Rastra) bagi KK miskin. Hanya saja, bantuan Rastra terakhir kali diterimanya tahun 2018 silam. “Bantuan beras tiba-tiba terputus hingga saat ini,” keluh pria berusia 62 tahun ini.
Made Wangi tidak dapat berbuat banyak di tengah kehidupan keras yang dihadapinya. Sebagai tulang punggung keluarga, dia pun membiasakan istri, anak, dan cucunya hidup seadanya.
Ketika musim kemarau, tidak ada hasil ladang, keluarga miskin ini terpaksa hanya makan nasi cacah (irisan ketela pohon yang dikeringkan, Red). Biasanya, cacah ini dia buat saat musim hujan. Cacah disimpan sebagai cadangan makanan saat keluarga ini tak punya beras untuk dimasak.
“Saat ini, uang untuk beli kopi saja kami tidak punya. Beras juga habis. Ya, mau tidak mau kami harus makan nasi cacah saja. Kadang cacah memang dijual, tapi sekarang lagi tidak ada yang beli,” papar Made Wangi.
Pasutri Made Wangi dan Made Rakta sebenarnya memiliki 5 orang anak. Dua (2) anak perempuannya sudah menikah. Sedangkan anak lelaki satu-satunya dan anak bungsunnya yang perempuan, kini merantau ke Denpasar, bekerja serabutan. Hanya anak perempuan satunya lagi, Ketut Yasa, yang tinggal bersama orangtua mereka. Selain itu, juga salah satu cucunya yang berusia 8 tahun, Gede Sudiana.
Menurut Made Wangi, keluarganya meresa beruntung karena saat ini masih musim kemarau, sehingga mereka tidak kehujanan. Maklum, gubuk mereka yang beratapkan ilalang sudah banyak berlubang alias bocor.
Keluarga miskin ini menjalani hari-harinya tinggal di gubuk reot kawasan hutan tanpa penerangan listrik. Mereka biasanya langsung beristirahat setiap menjelang malang. Tak ada hiburan nonton televisi yang bisa mereka nikmati.
Selain itu, air bersih juga sulit didapatkan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, keluarga miskin ini biasanya mencari di sumber mata air Gunung Sari, yang berjarak sekitar 700 meter ke arah selatan (bagian atas) dari gubuknya. Air yang ditimba dalam jirigen itu kemudian ditampung di bak penampungan sederhana.
“Harapan kami, mudah-mudahan ada bantuan dari pemerintah, seperti dulu. Kalau dulu, setiap bulan kami dapat jatah beras 5 kilogram. Itu saja bagi kami sudah cukup. Tapi, bantuan beras itu sudah terputus sejak tahun 2018,” cerita Made Wangi.
Sementara itu, Sekretaris Desa (Sekdes) Sambirenteng, I Made Setiawan, memastikan keluraga Made Wangi adalah warganya. Menurut Setiawan, keluarga Made Wangi sebenarnya sudah pernah mendapat bantuan pemerintah berupa KIS, KIP, dan beras. Bahkan, pada tahun 2018 mereka sempat akan mendapatkan bantuan bedah rumah dari Pemprov Bali. Namun, bantuan bedah rumah itu ditolak Made Wangi karena tidak memiliki lahan sendiri untuk membangunnya.
Setiawan menyebutkan, bantuan beras sejahtera yang saat ini bernama Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), tidak lagi didapatkan keluarga Made Wangi, karena nomor KK-nya dobel. Gara-gara nomor KK bermasalah, bantuan terhenti otomatis melalui sistem pemerintah pusat.
“Tindak lanjutnya, nanti akan kembali kami usulkan untuk masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), agar mereka kembali mendapatkan haknya. Kalaupun belum bisa masuk tahun ini, nanti dari pihak desa akan mengusahakan BLT Dana Desa,” tandas Setiawan, yang sempat naik ke perbukitan menjenguk keluarga Made Wangi.
Sementara itu, kondisi memprihatinkan Made Wangi dan keluarganya menarik simpati dari sejumlah kalangan. Tim Reaksi Cepat (TRC) Yayasan Angel Heart Bali pun langsung turun tangan megunjungi keluarga miskin ini untuk memberikan bantuan sembako dan uang tunai. *k23
Komentar