Rasionalisme Beracara Agama
Apa yang terjadi saat krama Hindu dihadapkan pada pilihan yang nyaris tak dapat dipahami akal? Atau, dharmaning agama dan dharmaning negara tidak sinkron, kadang konflik dalam menentukan hari baik, ala ayuning dewasa.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Secara tradisi, pelaksanaan panca yadnya diatur ketat. Awalnya, krama Hindu di Bali taat asas terhadap tradisi. Namun saat ini, tradisi dikomplikasi dengan berbagai hal yang mengharuskan penyelarasan antara tradisi dengan modernisme. Misalnya, upacara manusia yadnya dilakukan berbarengan dengan pitra yadnya, atau, dewa yadnya dengan manusia yadnya? Apa harus ada bhisama untuk mengatur hal tersebut? Atau, biarkan semua yang berbeda itu berjalan tanpa harus dikonflikkan? Dinamika berpikir tersebut menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal budi adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Jadi, rasionalisme dalam melaksanakan yadnya dapat diartikan sebagai pelaksanaan yadnya berdasarkan atas akal semata. Hasil pelaksanaan pun diukur dengan akal. Proses, hasil, dan dampak dilakukan dengan cara berpikir logis. Akal digunakan untuk menguji benar-salah atau baik-buruknya proses, hasil atau dampak pelaksanaan upacara agama. Kebaikan dari rasionalisme adalah ia memberikan ruang dan waktu yang logis dalam melaksanakan yadnya berdasarkan atas akal. Artinya, kalau seseorang ingin melaksanakan suatu yadnya tetapi alat pendukung tidak tersedia, seperti waktu, maka pelaksanaannya dapat dilakukan kapan dan di mana saja. Dalam hal demikian, pelaksanaan upacara agama dilakukan dengan mementingkan situasi subjek ketimbang objek. Atau, pelaksanaannya hanya memikirkan yang keluar dari akal budinya saja.
Menyimak dari ketidak-taatan asas dalam pelaksanaan yadnya tersebut ditengara terjadi kontestasi antara rasa dan rasio, atau emotio ergo sum vs cognito ergo sum. Kedua-duanya memiliki dasar yang kuat, walau belum tentu benar keduanya. Ketika upacara agama didasarkan atas rasa semata, ia dapat menghantui ketika tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Kalau, pelaksanaannya terlalu peduli pada lingkungan dikhawatirkan akan menuai kritikan pedas karena kurang sesuai selera lingkungan.
Ketika rasa dikesampingkan dan digantikan dengan logika, pelaksanaan upacara yang ribet berjalan lancar. Keinginan melakukan yadnya terlaksana secara efektif dan efisien. Dilihat dari sudut waktu, pelaksanaan upacara agama dapat dilaksanakan kapan saja. Dilihat dari sarana upacara, maka yadnya dapat dilaksanakan dengan tingkatan nistaning nista, tetapi bermakna utama. Semua itu diatur menggunakan akal budi yang rasional. Realitas religi diwujudkan secara objektif, tanpa memedulikan apa rasa dunia. Atau, beberapa realitas beragama Hindu dapat dicapai validitasnya tanpa dukungan rasa. Dengan deduksi keinginan untuk melakukan yadnya terlaksana.
Apa yang diulas di atas ada baiknya, tetapi belum tentu benar seluruhnya. Bali memang mandiri, tetapi Bali tidak sendiri. Krama Bali memang mandiri, tetapi sebagai homo sociocus, mereka harus peduli sesama dan lingkungan. Oleh karena itu, bagaimana semestinya meningkahi desa kala patra agar tercipta harmoni, bukan kegaduhan (chaos). Kegaduhan merupakan harga mahal untuk bisa membeli harmoni yang telah ditanam oleh leluhur. Rasio, rasa, dan karma merupakan tiga sejoli yang mengembangkan kama kebaikan dan kebenaran di gumi Bali.
Keselarasan merupakan suatu keunggulan. Dalam melakukan yadnya, bukan besar-kecil, cepat-lambat, mewah-sederhana yang dijadikan ukuran. Bukan juga rasa atau logika yang dijadikan sandaran. Melainkan, keselarasan dalam beragama yang menjamin keharmonisan itulah yang terpenting. Sebagai krama Hindu, kewajiban untuk menjaga dan memastikan keselarasan adalah suatu keharusan. Semoga. *
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Secara tradisi, pelaksanaan panca yadnya diatur ketat. Awalnya, krama Hindu di Bali taat asas terhadap tradisi. Namun saat ini, tradisi dikomplikasi dengan berbagai hal yang mengharuskan penyelarasan antara tradisi dengan modernisme. Misalnya, upacara manusia yadnya dilakukan berbarengan dengan pitra yadnya, atau, dewa yadnya dengan manusia yadnya? Apa harus ada bhisama untuk mengatur hal tersebut? Atau, biarkan semua yang berbeda itu berjalan tanpa harus dikonflikkan? Dinamika berpikir tersebut menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal budi adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Jadi, rasionalisme dalam melaksanakan yadnya dapat diartikan sebagai pelaksanaan yadnya berdasarkan atas akal semata. Hasil pelaksanaan pun diukur dengan akal. Proses, hasil, dan dampak dilakukan dengan cara berpikir logis. Akal digunakan untuk menguji benar-salah atau baik-buruknya proses, hasil atau dampak pelaksanaan upacara agama. Kebaikan dari rasionalisme adalah ia memberikan ruang dan waktu yang logis dalam melaksanakan yadnya berdasarkan atas akal. Artinya, kalau seseorang ingin melaksanakan suatu yadnya tetapi alat pendukung tidak tersedia, seperti waktu, maka pelaksanaannya dapat dilakukan kapan dan di mana saja. Dalam hal demikian, pelaksanaan upacara agama dilakukan dengan mementingkan situasi subjek ketimbang objek. Atau, pelaksanaannya hanya memikirkan yang keluar dari akal budinya saja.
Menyimak dari ketidak-taatan asas dalam pelaksanaan yadnya tersebut ditengara terjadi kontestasi antara rasa dan rasio, atau emotio ergo sum vs cognito ergo sum. Kedua-duanya memiliki dasar yang kuat, walau belum tentu benar keduanya. Ketika upacara agama didasarkan atas rasa semata, ia dapat menghantui ketika tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Kalau, pelaksanaannya terlalu peduli pada lingkungan dikhawatirkan akan menuai kritikan pedas karena kurang sesuai selera lingkungan.
Ketika rasa dikesampingkan dan digantikan dengan logika, pelaksanaan upacara yang ribet berjalan lancar. Keinginan melakukan yadnya terlaksana secara efektif dan efisien. Dilihat dari sudut waktu, pelaksanaan upacara agama dapat dilaksanakan kapan saja. Dilihat dari sarana upacara, maka yadnya dapat dilaksanakan dengan tingkatan nistaning nista, tetapi bermakna utama. Semua itu diatur menggunakan akal budi yang rasional. Realitas religi diwujudkan secara objektif, tanpa memedulikan apa rasa dunia. Atau, beberapa realitas beragama Hindu dapat dicapai validitasnya tanpa dukungan rasa. Dengan deduksi keinginan untuk melakukan yadnya terlaksana.
Apa yang diulas di atas ada baiknya, tetapi belum tentu benar seluruhnya. Bali memang mandiri, tetapi Bali tidak sendiri. Krama Bali memang mandiri, tetapi sebagai homo sociocus, mereka harus peduli sesama dan lingkungan. Oleh karena itu, bagaimana semestinya meningkahi desa kala patra agar tercipta harmoni, bukan kegaduhan (chaos). Kegaduhan merupakan harga mahal untuk bisa membeli harmoni yang telah ditanam oleh leluhur. Rasio, rasa, dan karma merupakan tiga sejoli yang mengembangkan kama kebaikan dan kebenaran di gumi Bali.
Keselarasan merupakan suatu keunggulan. Dalam melakukan yadnya, bukan besar-kecil, cepat-lambat, mewah-sederhana yang dijadikan ukuran. Bukan juga rasa atau logika yang dijadikan sandaran. Melainkan, keselarasan dalam beragama yang menjamin keharmonisan itulah yang terpenting. Sebagai krama Hindu, kewajiban untuk menjaga dan memastikan keselarasan adalah suatu keharusan. Semoga. *
1
Komentar