JT Bali Usulkan Sidang di Tempat Bagi Pelanggar Tonase
Pengelolaan Jembatan Timbang (JT) se-Indonesia diambil alih pemerintah pusat mulai tahun 2017.
NEGARA, NusaBali
Pengelolaan oleh pusat diharapkan dapat mengatasi pelanggaran tonase di Bali. JT Wilayah Bali usul ke pemerintah pusat agar menerapkan kebijakan secara nasional, melaksanakan sanksi tilang dengan langsung sidang di tempat.
Koordinator JT Wilayah Bali, I Ketut Suhartana menilai pemberlakuan sidang di tempat menjadi salah satu cara ampuh menyadarkan para sopir yang melanggar tonase. Penilaian itu tidak terlepas dari pengalamannya menjabat Kepala UPT JT Cekik, Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana. Saat menjabat Kepala UPT JT Cekik, dilakukan beberapa upaya menghadapi permasalahan kendaraan kelebihan tonase masuk Bali. Seperti pemberlakuan Uji Petik, namun tetap menimbulkan kekroditan arus lalu lintas sehingga hanya dijalankan sekitar beberapa bulan. Upaya terakhir, menerapkan denda tilang maksimal antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu per pelanggar tonase.
Tetapi penerapan denda tilang maksimal ini, kata Suhartana, juga belum membuat jera para sopir pelanggar tonase. Malah pelanggaran tonase menjadi makin banyak. Pasalnya, surat tilang yang sesuai aturan berlaku selama 14 hari kerap dimanfaatkan para sopir untuk lebih leluasa mengangkut muatan berlebih. Dengan membayar sekali tilang antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu yang berlaku selama dua minggu itu, mereka bisa mengirim barang melebihi tonase paling tidak hingga 10 kali bolak-balik.
Karena keadaan itu, menurutnya, dengan momen pengambialihan pengelolaan oleh pemerintah pusat perlu mengeluarkan kebijakan aturan nasional dengan menerapkan sidang di tempat. Jika sidang di tempat ini benar-benar diterapkan di semua JT, diyakini para pelanggar tonase akan berpikir ulang hendak melanggar. “Kuncinya perlu penyeragaman. Kalau bisa diterapkan sidang di tempat. Usulan sidang di tempat ini sudah kita buatkan rancangannya, tinggal sampaikan ke pusat,” tandasnya. * ode
Koordinator JT Wilayah Bali, I Ketut Suhartana menilai pemberlakuan sidang di tempat menjadi salah satu cara ampuh menyadarkan para sopir yang melanggar tonase. Penilaian itu tidak terlepas dari pengalamannya menjabat Kepala UPT JT Cekik, Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana. Saat menjabat Kepala UPT JT Cekik, dilakukan beberapa upaya menghadapi permasalahan kendaraan kelebihan tonase masuk Bali. Seperti pemberlakuan Uji Petik, namun tetap menimbulkan kekroditan arus lalu lintas sehingga hanya dijalankan sekitar beberapa bulan. Upaya terakhir, menerapkan denda tilang maksimal antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu per pelanggar tonase.
Tetapi penerapan denda tilang maksimal ini, kata Suhartana, juga belum membuat jera para sopir pelanggar tonase. Malah pelanggaran tonase menjadi makin banyak. Pasalnya, surat tilang yang sesuai aturan berlaku selama 14 hari kerap dimanfaatkan para sopir untuk lebih leluasa mengangkut muatan berlebih. Dengan membayar sekali tilang antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu yang berlaku selama dua minggu itu, mereka bisa mengirim barang melebihi tonase paling tidak hingga 10 kali bolak-balik.
Karena keadaan itu, menurutnya, dengan momen pengambialihan pengelolaan oleh pemerintah pusat perlu mengeluarkan kebijakan aturan nasional dengan menerapkan sidang di tempat. Jika sidang di tempat ini benar-benar diterapkan di semua JT, diyakini para pelanggar tonase akan berpikir ulang hendak melanggar. “Kuncinya perlu penyeragaman. Kalau bisa diterapkan sidang di tempat. Usulan sidang di tempat ini sudah kita buatkan rancangannya, tinggal sampaikan ke pusat,” tandasnya. * ode
Komentar