MUTIARA WEDA : Gagal Paham
Anakku! Engkau mungkin berbicara berkali-kali dengan berbagai cara, terhadap banyak kitab suci, atau mendengarkan itu.
Acaksva srnu vā tāta nānā sāstrānya nekasah
Tathāpi na tava svāsthyam sarva-vismaranādrte
(Astavakra Gita, 16.1).
Tetapi Engkau tidak akan berada di dalam Sang Diri, jika engkau tidak melupakan itu semua. Dalam hidup, kita sering gagal memahami banyak hal. Oleh karena terlalu sering, bahkan kita telah menganggapnya biasa. Yang lebih parah, kegagalan itu justru kita jadikan pedoman men-justifikasi keadaan dan melakukan banyak hal darinya. Kita tidak lagi merasa gagal oleh karena telah terbiasa begitu. Kita tidak merasa bahwa tindakan-tindakan kita sering muncul dari kegagalan pemahaman itu. Di akhir, sering muncul terlambat, saat kita menyadarinya, kita baru merasa semua itu sia-sia. Disinilah alasannya mengapa kita senantiasa menderita. Jadi, disini bisa dikatakan bahwa penderitaan kita pada hakikatnya muncul dari gagal paham atau kegagalan memahami sesuatu.
Pemahaman yang bagaimana kita sebut gagal? Pemahaman yang mengkorupsi objek itu bisa dikatakan gagal paham. Maksudnya, kita di dalam melihat, merasakan, atau memikirkan sesuatu senantiasa muncul dari persepsi kita, muncul dari gambaran kita terhadap sesuatu itu. Kita tidak pernah melihat sesuatu apa adanya. Kebenaran sesuatu itu muncul dari nilai-nilai yang kita berikan. Jika kita mempersepsi bahwa benda itu bagus, maka nilai benda itu juga bagus, demikian sebaliknya. Jadi kitalah yang memaksakan nilai kepada objek itu, bukan semata-mata nilai intrinsik yang ada pada objek itu.
Dalam segala aspek kehidupan kita sering berpikir dengan cara seperti itu. Contoh dalam kehidupan spiritual misalnya, kita sering memaksakan pemahaman kita pada sebuah ajaran. Saat kita membaca kitab bahwa 'orang yang memuja leluhur mencapai leluhur, orang yang memuja dewa mencapai dewa, sementara yang memuja-Ku, akan langsung mencapai Aku,' lalu kita berpikir bahwa dengan memuja 'Aku' itu berarti telah langsung mencapai yang tertinggi dan tidak perlu lagi memuja leluhur dan dewa. Sebagai konsekuensi pemahaman itu, kita lalu ‘nuludang’ sanggah kemulan, karena tempat ini adalah untuk pemujaan leluhur yang tingkatannya lebih rendah. Atau sebaliknya, kita membaca kitab yang sama itu, tetapi oleh karena kita telah nyaman melakukan pemujaan kepada leluhur, kita mengira kitab tersebut berbahaya, sesat, dan patut ditinggalkan.
Contoh lain misalnya, seseorang, oleh karena suatu dan lain hal, tiba-tiba tertarik menjalani kehidupan spiritual. Dia membaca seluruh kitab suci dan menghafalkannya. Kemudian dia merasa bahwa ajaran kitab suci itu telah dikuasasinya dan mutlak benar. Dia menjadi terikat dengan kitab dan ajarannya tersebut. Suatu ketika jika ada orang lain yang mengkritisi kitab itu, dia menjadi marah dan mendeklarasikan diri untuk melakukan apa saja untuk mempertahankan kebenaran yang dipahaminya. Bahkan, kemungkinan dia menjadi lebih ekstrim dengan mengatakan bahwa apapun ajaran yang di luar kitab tersebut adalah sesat dan layak dimusnahkan.
Hal seperti inilah yang dikritik keras oleh teks di atas. Sepanjang kita masih terikat dengan apapun, termasuk dengan ajaran kitab suci, seseorang tidak akan mampu mencapai pembebasan atau menyatu dengan Sang Diri. Teks di atas menyatakan, 'sepanjang kita tidak meninggalkan semua ajaran itu' kita tidak berbeda dengan orang biasa lainnya. Mengapa? Karena kita masih sama-sama terikat dengan sesuatu, hanya objeknya yang berbeda. Orang lain bisa terikat dengan materi, sementara kita terikat dengan kitab suci. Aliran yang menghidupinya sama-sama keterikatan dan semua keterikatan akan membelenggu kita.
Namun, meskipun teks di atas mengkritisi kebiasaan orang gagal paham, kita bahkan mungkin bisa lebih gagal memahami teks di atas. Bagaimana tidak, sebab kita bisa secara langsung bereaksi terhadap pernyataan di atas dalam dua hal. Pertama, kita akan berteriak, 'bagaimana mungkin!' ‘Jika kita meninggalkan kitab suci, artinya kita mesti meninggalkan ajarannya pula. Dan, jika kita meninggalkan kitab suci dan ajarannya, kehidupan akan kita kembali barbar, tanpa nilai-nilai kemuliaan’. Kedua, bisa saja kita langsung menerima pernyataan tersebut mentah-mentah dan kemudian kita membuang seluruh kitab suci dan tidak lagi menggunakan kitab suci sebagai penuntun. Lalu kita menyebut sebagai 'spiritual tanpa sastra'.
Tathāpi na tava svāsthyam sarva-vismaranādrte
(Astavakra Gita, 16.1).
Tetapi Engkau tidak akan berada di dalam Sang Diri, jika engkau tidak melupakan itu semua. Dalam hidup, kita sering gagal memahami banyak hal. Oleh karena terlalu sering, bahkan kita telah menganggapnya biasa. Yang lebih parah, kegagalan itu justru kita jadikan pedoman men-justifikasi keadaan dan melakukan banyak hal darinya. Kita tidak lagi merasa gagal oleh karena telah terbiasa begitu. Kita tidak merasa bahwa tindakan-tindakan kita sering muncul dari kegagalan pemahaman itu. Di akhir, sering muncul terlambat, saat kita menyadarinya, kita baru merasa semua itu sia-sia. Disinilah alasannya mengapa kita senantiasa menderita. Jadi, disini bisa dikatakan bahwa penderitaan kita pada hakikatnya muncul dari gagal paham atau kegagalan memahami sesuatu.
Pemahaman yang bagaimana kita sebut gagal? Pemahaman yang mengkorupsi objek itu bisa dikatakan gagal paham. Maksudnya, kita di dalam melihat, merasakan, atau memikirkan sesuatu senantiasa muncul dari persepsi kita, muncul dari gambaran kita terhadap sesuatu itu. Kita tidak pernah melihat sesuatu apa adanya. Kebenaran sesuatu itu muncul dari nilai-nilai yang kita berikan. Jika kita mempersepsi bahwa benda itu bagus, maka nilai benda itu juga bagus, demikian sebaliknya. Jadi kitalah yang memaksakan nilai kepada objek itu, bukan semata-mata nilai intrinsik yang ada pada objek itu.
Dalam segala aspek kehidupan kita sering berpikir dengan cara seperti itu. Contoh dalam kehidupan spiritual misalnya, kita sering memaksakan pemahaman kita pada sebuah ajaran. Saat kita membaca kitab bahwa 'orang yang memuja leluhur mencapai leluhur, orang yang memuja dewa mencapai dewa, sementara yang memuja-Ku, akan langsung mencapai Aku,' lalu kita berpikir bahwa dengan memuja 'Aku' itu berarti telah langsung mencapai yang tertinggi dan tidak perlu lagi memuja leluhur dan dewa. Sebagai konsekuensi pemahaman itu, kita lalu ‘nuludang’ sanggah kemulan, karena tempat ini adalah untuk pemujaan leluhur yang tingkatannya lebih rendah. Atau sebaliknya, kita membaca kitab yang sama itu, tetapi oleh karena kita telah nyaman melakukan pemujaan kepada leluhur, kita mengira kitab tersebut berbahaya, sesat, dan patut ditinggalkan.
Contoh lain misalnya, seseorang, oleh karena suatu dan lain hal, tiba-tiba tertarik menjalani kehidupan spiritual. Dia membaca seluruh kitab suci dan menghafalkannya. Kemudian dia merasa bahwa ajaran kitab suci itu telah dikuasasinya dan mutlak benar. Dia menjadi terikat dengan kitab dan ajarannya tersebut. Suatu ketika jika ada orang lain yang mengkritisi kitab itu, dia menjadi marah dan mendeklarasikan diri untuk melakukan apa saja untuk mempertahankan kebenaran yang dipahaminya. Bahkan, kemungkinan dia menjadi lebih ekstrim dengan mengatakan bahwa apapun ajaran yang di luar kitab tersebut adalah sesat dan layak dimusnahkan.
Hal seperti inilah yang dikritik keras oleh teks di atas. Sepanjang kita masih terikat dengan apapun, termasuk dengan ajaran kitab suci, seseorang tidak akan mampu mencapai pembebasan atau menyatu dengan Sang Diri. Teks di atas menyatakan, 'sepanjang kita tidak meninggalkan semua ajaran itu' kita tidak berbeda dengan orang biasa lainnya. Mengapa? Karena kita masih sama-sama terikat dengan sesuatu, hanya objeknya yang berbeda. Orang lain bisa terikat dengan materi, sementara kita terikat dengan kitab suci. Aliran yang menghidupinya sama-sama keterikatan dan semua keterikatan akan membelenggu kita.
Namun, meskipun teks di atas mengkritisi kebiasaan orang gagal paham, kita bahkan mungkin bisa lebih gagal memahami teks di atas. Bagaimana tidak, sebab kita bisa secara langsung bereaksi terhadap pernyataan di atas dalam dua hal. Pertama, kita akan berteriak, 'bagaimana mungkin!' ‘Jika kita meninggalkan kitab suci, artinya kita mesti meninggalkan ajarannya pula. Dan, jika kita meninggalkan kitab suci dan ajarannya, kehidupan akan kita kembali barbar, tanpa nilai-nilai kemuliaan’. Kedua, bisa saja kita langsung menerima pernyataan tersebut mentah-mentah dan kemudian kita membuang seluruh kitab suci dan tidak lagi menggunakan kitab suci sebagai penuntun. Lalu kita menyebut sebagai 'spiritual tanpa sastra'.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
Komentar