Pengembangan Solar Cell Terbentur SDM
Pemanfaatan solar cell diklaim dapat menekan 40 persen biaya operasional, terutama dari penggunaan listrik.
SINGARAJA, NusaBali
Penerapan energi terbarukan di Buleleng untuk mengurangi polusi sudah diterapkan sejak 2017. Dua jaringan solar cell atau panel surya sudah dioperasikan di Desa Bondalem dan Tembok, Kecamatan Tejakula. Panel surya penghasil listrik itu dimanfaatkan untuk menarik air dari sumur bor. Meski dinilai efektif, pengembangan solar cell saat ini masih terkendala sumber daya manusia (SDM) hingga perizinan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Buleleng I Putu Adiptha Eka Putra, mengatakan rangkaian solar cell di dua desa wilayah Buleleng Timur merupakan pilot project. Dua desa dibantu rangkaian solar cell pada 2017 lalu untuk menekan biaya operasional sumur bor yang sangat mahal jika hanya menggunakan aliran listrik konvensional.
Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas PUTR pun mengalokasikan anggaran untuk dua desa itu masing-masing Rp 1 miliar. Solar cell di Desa Bondalem memiliki daya tampung 25.000 A, sedangkan solar cell di Desa Tembok 15.000 VA.
“Kami memang sasar dua desa ini karena pertimbangan daerah sulit air bersih. Nah, saat dibantu sumur bor ternyata biaya operasionalnya sangat tinggi. Kalau dikelola swadaya pemerintah desa tidak mampu, sehingga kami buat pilot project ini,” jelas Adiptha, Senin (30/8).
Selama empat tahun berjalan, keberadaan sollar cell di dua desa wilayah Kecamatan Tejakula ini diklaim berhasil. Karena dapat menekan 40 persen biaya operasional terutama dari penggunaan listrik. Adiptha pun menyontohkan biaya tagihan listrik sumur bor di Desa Bondalem yang sebelum penggunaan solar cell sebesar Rp 12 juta per bulan. Sedangkan setelah dibantu solar cell tagihan listrik dari PLN berkisar Rp 6 juta – Rp 8 juta per bulan.
Namun dari empat tahun pengoperasian, ternyata pemanfaatan solar cell masih terkendala SDM. Dinas PUTR terpaksa harus mendatangkan teknisi dari luar Bali, untuk memperbaiki sistem solar cell saat terjadi kerusakan. “Memang selama ini masih terkendala SDM. Ke depan ini yang harus pemerintah siapkan. Selain juga dari segi perizinan, belum ada kerjasama dengan PLN jika dikembangkan dan dimanfaatkan untuk umum,” kata Adiptha.
Sedangkan untuk pemanfaatan solar cell perorangan, untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga, sejauh ini belum banyak digunakan masyarakat. Biaya pemasangan jaringan baru cukup mahal, sehingga yang memanfaatkan baru kalangan tertentu saja.
“Secara manfaat selain bisa menekan tagihan listrik, solar cell ini sangat ramah lingkungan, tidak ada polusi yang diakibatkan. Ke depannya memang mengarah ke pemanfaatan energi terbarukan seperti ini,” jelas Adiptha. Dinas PUTR pun berencana mengajukan pengembangan solar cell di Buleleng kepada pemerintah pusat, seusai pandemi. Dia mengaku usulan sudah sempat dicanangkan tahun 2019 lalu, namun tak terealisasi karena terhalang pandemi Covid-19. Padahal Buleleng yang hampir keseluruhannya mendapat penyinaran penuh matahari, sangat berpotensi untuk pengembangan solar cell. *k23
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Buleleng I Putu Adiptha Eka Putra, mengatakan rangkaian solar cell di dua desa wilayah Buleleng Timur merupakan pilot project. Dua desa dibantu rangkaian solar cell pada 2017 lalu untuk menekan biaya operasional sumur bor yang sangat mahal jika hanya menggunakan aliran listrik konvensional.
Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas PUTR pun mengalokasikan anggaran untuk dua desa itu masing-masing Rp 1 miliar. Solar cell di Desa Bondalem memiliki daya tampung 25.000 A, sedangkan solar cell di Desa Tembok 15.000 VA.
“Kami memang sasar dua desa ini karena pertimbangan daerah sulit air bersih. Nah, saat dibantu sumur bor ternyata biaya operasionalnya sangat tinggi. Kalau dikelola swadaya pemerintah desa tidak mampu, sehingga kami buat pilot project ini,” jelas Adiptha, Senin (30/8).
Selama empat tahun berjalan, keberadaan sollar cell di dua desa wilayah Kecamatan Tejakula ini diklaim berhasil. Karena dapat menekan 40 persen biaya operasional terutama dari penggunaan listrik. Adiptha pun menyontohkan biaya tagihan listrik sumur bor di Desa Bondalem yang sebelum penggunaan solar cell sebesar Rp 12 juta per bulan. Sedangkan setelah dibantu solar cell tagihan listrik dari PLN berkisar Rp 6 juta – Rp 8 juta per bulan.
Namun dari empat tahun pengoperasian, ternyata pemanfaatan solar cell masih terkendala SDM. Dinas PUTR terpaksa harus mendatangkan teknisi dari luar Bali, untuk memperbaiki sistem solar cell saat terjadi kerusakan. “Memang selama ini masih terkendala SDM. Ke depan ini yang harus pemerintah siapkan. Selain juga dari segi perizinan, belum ada kerjasama dengan PLN jika dikembangkan dan dimanfaatkan untuk umum,” kata Adiptha.
Sedangkan untuk pemanfaatan solar cell perorangan, untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga, sejauh ini belum banyak digunakan masyarakat. Biaya pemasangan jaringan baru cukup mahal, sehingga yang memanfaatkan baru kalangan tertentu saja.
“Secara manfaat selain bisa menekan tagihan listrik, solar cell ini sangat ramah lingkungan, tidak ada polusi yang diakibatkan. Ke depannya memang mengarah ke pemanfaatan energi terbarukan seperti ini,” jelas Adiptha. Dinas PUTR pun berencana mengajukan pengembangan solar cell di Buleleng kepada pemerintah pusat, seusai pandemi. Dia mengaku usulan sudah sempat dicanangkan tahun 2019 lalu, namun tak terealisasi karena terhalang pandemi Covid-19. Padahal Buleleng yang hampir keseluruhannya mendapat penyinaran penuh matahari, sangat berpotensi untuk pengembangan solar cell. *k23
1
Komentar