Bangkai Burung Emprit Dikubur dengan Ritual Khusus
Penyebab Kematian Ribuan Burung di Setra Desa Adat Sema Diuji Laboratorium
Versi Kadus Banjar Sema, Desa Pering, I Wayan Ari Pratama, pohon kepah di areal Setra Desa Adat Sema dihuni burung sangsiah, sementara pohon asem kembar jadi tempat perlindungan burung emprit.
GIANYAR, NusaBali
Petugas Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Gianyar sudah am-bil sampel ribuan burung emprit (pipit) yang berjatuhan dari pohon di Setra Desa Adat Sema, Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar hingga mati, Kamis (9/9) pagi. Sampel tersebut dibawa ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bali untuk diuji laboratorium. Sementara, ribuan burung emprit yang mati telah dikuburkan dengan upacara ritual yang dipimpin pamangku.
Kabid Kesehatan Hewan-Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Peternakan Gianyar, I Made Santiarka, mengatakan sampel burung yang mati pasca berjatuhan dari pohon diduga kedinginan akibat diguyur hujan lebat tersebut telah diambil Kamis sore sekitar pukul 17.00 Wita. Pengambilan sampel dilakukan sebelum bangkai ribuan burung emprit tersebut dikuburkan krama Desa Adat Sema di areal setra.
Sampel burung emprit ini selanjutnya diuji di Laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Hasilnya baru akan keluar dalam sepekan ke depan. "Tadi sudah dihubungi kapan hasil uji laboratorium keluar. Kata pihak BBVet, hasilnya hasilnya kira-kira seminggu baru keluar,” jelas Santiarka di Gianyar, Jumat (10/9).
Meski belum keluar hasil uji laboratorium, namun Santiarka menduga ribuan burung berukuran kecil itu berjatuhan dari pohon asem kembar di Setra Desa Adat Sema, lalu mati, murni karena kedinginan akibat guyuran hujan. Menurut Santiarka, biasanya saat hujan, burung ini berlindung di pohon. Namun, karena jumlahnya terlalu banyak, dengan kondisi daun asem yang kecil-kecil, burung tidak terlindungi hingga kebasahan.
"Nah, ketika hujan lebat ini, burung tidak bisa terbang karena basah kuyup. Yang terinjak dan bulunya basah, langsung jatuh dan sebagian besar mati. Kalau yang bulunya bisa kering, ya bisa terbang kembali dan selamat," katanya.
Sementara, BKSDA Provinsi Bali menyampaikan dugaan baru kematian ribuan burung emprit di Setra Desa Adat Sema. Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Bali, Prawona Meruanto, menduga burung mati karena keracunan pestisida. "Dugaan kami adalah perilaku masyarakat yang menggunakan pestisida non-alami di sekitar Desa Pering,” jelas Prawona kepada detikcom secara terpisah, Jumat kemarin.
Prawona menyebutkan, burung pipit saat mencari makan pasti bergerombol dari ratusan sampai ribuan. Mereka mencari makan di tanaman padi yang baru tumbuh, yang mungkin saja baru selesai dilakukan penyemprotan pestisida. "Jadi, dugaan sementara seperti itu. Kemudian, teman-teman di lapangan melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk tetap hati-hati menggunakan pestisida dan menjaga habitat satwa liar yang ada di sekitar mereka,” katanya.
Tim BKSDA Bali, kata dia, sudah melakukan peninjauan ke lapangan. Dari hasil peninjauan itulah ditemukan adanya dugaan burung-burung emprit keracunan pestisida. Selain keracunan, dugaan lainnya adalah burung mati karena curah hujan yang tinggi dan mengandung asam. “Karena curah hujan yang cukup tinggi dan mungkin sedikit mengandung asam, sehingga air hujan mengakibatkan burung-burung itu terjatuh."
Sedangkan Kepala Seksi Wilayah 2 BKSDA Bali, Sulistyo Widodo, mengtatakan fenomena burung pipit berjatuhan juga pernah terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. “Khusus di Bali, ini juga bukan kasus pertama. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kawasan Sanglah (Denpasar) dan Selemadeg (Tabanan),” papar Sulistyo.
Sulistyo mengatakan, burung pipit dapat mati bergerombol karena hewan ini adalah jenis satwa koloni yang hidup berkelompok dalam jumlah besar. Ukuran burung yang kecil, menyebabkan kecenderungan berkoloni dalam jumlah besar untuk mengurangi risiko terhadap predator.
"Termasuk saat beristirahat pun bergerombol. Biasanya, di satu pohon yang besar bisa sampai ribuan burung," tandas Sulistyo. Nah, guna mengetahui penyebab kematian ribuan burung emprit di Setra Desa Adat Sema tersebut, menurut Sulistyo, harus dibuktikan secara scientific melalui proses otopsi bangkai dan kotorannya.
Sementara, Kepala Dusun (Kadus) Banjar Sema, Desa Pering, I Wayan Ari Partama, sebelumnya mengatakan ini bukan kali pertama terjadi peristiwa burung emprit berjatuhan dari pohon asem kembar di Setra Desa Adat Sema hingga mati. Peristiwa serupa juga pernah terjadi 6 bulan lalu.
"Kejadiannya persis sama. Setelah hujan lebat, ribuan burung emprit berjatuhan hingga mati. Pohon asem itu memang dijadikan markas tem-pat hinggap, usai mencari makan di ladang petani,” terang Ari Pratama, Kamis sore.
Jadi, Ari Pratama memastikan tidak ada persepsi ribuan burung emprit berjatuhan dan mati karena keracunan. "Tidak ada keracunan, itu murni karena basah kuyup akibat diguyur hujan. Ini harus ditegaskan, biar tidak salah nanti. Sejak dulu burung emprit memang suka memilih rumah di pohon asem,” tandas Ari Pratama.
Krama Desa Adat Sema sendiri sudah gotong royong menguburkan bangaki ribuan burung emprit tersebut, Kamis sore sekitar pukul 17.00 Wita. Penguburan dilakukan melalui prosesi upacara ritual khusus yang dipimpin pamangku. "Sesuai kepercayaan, kami siapkan banten pejati dan canang sari, penguburan dipimpin oleh pamangku," ungkap Ari Partama saat dikonfirmasi NusaBali, Jumat kemarin.
Menurut Ari Partama, bangkai ribuan burung emprit tersebut dikubur sesuai kesepakatan tetua desa. Awalnya, krama banjar berencana untuk membakar bangkai burung tersebut. "Namun, karena tetua melarangnya dan meminta untuk dikubur, maka kalamngan pemuda dan krama adat bergotong royong membuat liang, lalu menguburkan burung yang mati," jelasnya.
Ari Pratama mengungkapkan, di areal Setra Desa Adat Sema dihuni dua jenis burung yang hinggap di pohon berbeda. Pohon asem kembar dihuni burung emprit, sementara pohon kepah dihuni burung sangsiah. “Sedangkan yang berjatuhan dan akhirnya mati semuanya burung emprit di pohon asem. Ini karena daun pohon asem relatif jarang dan kecil, sehingga tidak sanggup melindungi burung dari guyuran hujan lebat yang terjadi selama 5 jam,” tegas Ari Pratama. *nvi
Kabid Kesehatan Hewan-Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Peternakan Gianyar, I Made Santiarka, mengatakan sampel burung yang mati pasca berjatuhan dari pohon diduga kedinginan akibat diguyur hujan lebat tersebut telah diambil Kamis sore sekitar pukul 17.00 Wita. Pengambilan sampel dilakukan sebelum bangkai ribuan burung emprit tersebut dikuburkan krama Desa Adat Sema di areal setra.
Sampel burung emprit ini selanjutnya diuji di Laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Hasilnya baru akan keluar dalam sepekan ke depan. "Tadi sudah dihubungi kapan hasil uji laboratorium keluar. Kata pihak BBVet, hasilnya hasilnya kira-kira seminggu baru keluar,” jelas Santiarka di Gianyar, Jumat (10/9).
Meski belum keluar hasil uji laboratorium, namun Santiarka menduga ribuan burung berukuran kecil itu berjatuhan dari pohon asem kembar di Setra Desa Adat Sema, lalu mati, murni karena kedinginan akibat guyuran hujan. Menurut Santiarka, biasanya saat hujan, burung ini berlindung di pohon. Namun, karena jumlahnya terlalu banyak, dengan kondisi daun asem yang kecil-kecil, burung tidak terlindungi hingga kebasahan.
"Nah, ketika hujan lebat ini, burung tidak bisa terbang karena basah kuyup. Yang terinjak dan bulunya basah, langsung jatuh dan sebagian besar mati. Kalau yang bulunya bisa kering, ya bisa terbang kembali dan selamat," katanya.
Sementara, BKSDA Provinsi Bali menyampaikan dugaan baru kematian ribuan burung emprit di Setra Desa Adat Sema. Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Bali, Prawona Meruanto, menduga burung mati karena keracunan pestisida. "Dugaan kami adalah perilaku masyarakat yang menggunakan pestisida non-alami di sekitar Desa Pering,” jelas Prawona kepada detikcom secara terpisah, Jumat kemarin.
Prawona menyebutkan, burung pipit saat mencari makan pasti bergerombol dari ratusan sampai ribuan. Mereka mencari makan di tanaman padi yang baru tumbuh, yang mungkin saja baru selesai dilakukan penyemprotan pestisida. "Jadi, dugaan sementara seperti itu. Kemudian, teman-teman di lapangan melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk tetap hati-hati menggunakan pestisida dan menjaga habitat satwa liar yang ada di sekitar mereka,” katanya.
Tim BKSDA Bali, kata dia, sudah melakukan peninjauan ke lapangan. Dari hasil peninjauan itulah ditemukan adanya dugaan burung-burung emprit keracunan pestisida. Selain keracunan, dugaan lainnya adalah burung mati karena curah hujan yang tinggi dan mengandung asam. “Karena curah hujan yang cukup tinggi dan mungkin sedikit mengandung asam, sehingga air hujan mengakibatkan burung-burung itu terjatuh."
Sedangkan Kepala Seksi Wilayah 2 BKSDA Bali, Sulistyo Widodo, mengtatakan fenomena burung pipit berjatuhan juga pernah terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. “Khusus di Bali, ini juga bukan kasus pertama. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kawasan Sanglah (Denpasar) dan Selemadeg (Tabanan),” papar Sulistyo.
Sulistyo mengatakan, burung pipit dapat mati bergerombol karena hewan ini adalah jenis satwa koloni yang hidup berkelompok dalam jumlah besar. Ukuran burung yang kecil, menyebabkan kecenderungan berkoloni dalam jumlah besar untuk mengurangi risiko terhadap predator.
"Termasuk saat beristirahat pun bergerombol. Biasanya, di satu pohon yang besar bisa sampai ribuan burung," tandas Sulistyo. Nah, guna mengetahui penyebab kematian ribuan burung emprit di Setra Desa Adat Sema tersebut, menurut Sulistyo, harus dibuktikan secara scientific melalui proses otopsi bangkai dan kotorannya.
Sementara, Kepala Dusun (Kadus) Banjar Sema, Desa Pering, I Wayan Ari Partama, sebelumnya mengatakan ini bukan kali pertama terjadi peristiwa burung emprit berjatuhan dari pohon asem kembar di Setra Desa Adat Sema hingga mati. Peristiwa serupa juga pernah terjadi 6 bulan lalu.
"Kejadiannya persis sama. Setelah hujan lebat, ribuan burung emprit berjatuhan hingga mati. Pohon asem itu memang dijadikan markas tem-pat hinggap, usai mencari makan di ladang petani,” terang Ari Pratama, Kamis sore.
Jadi, Ari Pratama memastikan tidak ada persepsi ribuan burung emprit berjatuhan dan mati karena keracunan. "Tidak ada keracunan, itu murni karena basah kuyup akibat diguyur hujan. Ini harus ditegaskan, biar tidak salah nanti. Sejak dulu burung emprit memang suka memilih rumah di pohon asem,” tandas Ari Pratama.
Krama Desa Adat Sema sendiri sudah gotong royong menguburkan bangaki ribuan burung emprit tersebut, Kamis sore sekitar pukul 17.00 Wita. Penguburan dilakukan melalui prosesi upacara ritual khusus yang dipimpin pamangku. "Sesuai kepercayaan, kami siapkan banten pejati dan canang sari, penguburan dipimpin oleh pamangku," ungkap Ari Partama saat dikonfirmasi NusaBali, Jumat kemarin.
Menurut Ari Partama, bangkai ribuan burung emprit tersebut dikubur sesuai kesepakatan tetua desa. Awalnya, krama banjar berencana untuk membakar bangkai burung tersebut. "Namun, karena tetua melarangnya dan meminta untuk dikubur, maka kalamngan pemuda dan krama adat bergotong royong membuat liang, lalu menguburkan burung yang mati," jelasnya.
Ari Pratama mengungkapkan, di areal Setra Desa Adat Sema dihuni dua jenis burung yang hinggap di pohon berbeda. Pohon asem kembar dihuni burung emprit, sementara pohon kepah dihuni burung sangsiah. “Sedangkan yang berjatuhan dan akhirnya mati semuanya burung emprit di pohon asem. Ini karena daun pohon asem relatif jarang dan kecil, sehingga tidak sanggup melindungi burung dari guyuran hujan lebat yang terjadi selama 5 jam,” tegas Ari Pratama. *nvi
Komentar