Incumbent Minta Tarung Bebas di 2019
versi Tama Tenaya, jika sistem nomor urut, orang berebut dapat urutan atas, lama-lama wakil rakyat malas dekat dengan rakyat
DENPASAR, NusaBali
Di tengah pembahasan RUU Pemilu serentak Pileg 2019 dan Pilpres 2019 yang dilakukan DPR RI, para incumbent yang kini duduk di DPRD Bali 2014-2019 mulai ketar-ketir tentang kemungkinan kembalinya sistem nomor urut. Mereka menginginkan sistem tarung bebas dipertahankan di Pileg 2019, sehingga peluang lolos terbuka lebar.
Ketua Komisi I DPRD Bali (yang membidangi keamanan, perundang-undangan, politik, Pemilu), I Ketut Tama Tenaya, mengatakan hampir seluruh 55 anggota DPRD Bali 2014-2019 akan terjun lagi dalam tarung Pileg 2019, dengan kendaraan partai yang sama. Para kandidat caleg incumbent ini rata-rata menginginkan tarung bebas, karena mereka sudah telanjur membina konstituen.
”Teman-teman tidak mau hasil kerja bertahun-tahun memelihara konstituen, hangus begitu saja,” ujar politisi PDIP asal Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini kepada NusaBali di Denpasar, Kamis (19/1).
Bagi Tama Tenaya, tarung bebas paling bagus sistemnya, sehingga para incumbent sudah kerja 5-15 tahun tidak sia-sia kerjanya. Namun, jika tiba-tiba tarung bebas diganti dengan sistem nomor urut, peluang para incumbent yang sudah kerja bertahun-tahun bisa disalip new comer.
“Saya, misalnya, sudah dua periode (10 tahun) duduk di DPRD Bali. Selama ini, saya sudah telanjur dekat dengan rakyat. Tapi, peluangnya bisa tiba-tiba hangus, karena masalah nomor urut. Kalau dapat nomor urut 1 di Dapil Badung sih nggak masalah. Tapi, kalau caleg nomor urut sepatu, meski punya banyak pendukung, mati dah. Maka itu, teman-teman semuanya ingin tarung bebas,” tandas Tama Tenaya.
Tama Tenaya menegskan, sistem nomor urut dalam bahasa Pemilu disebut sebagai sistem ‘proporsional tertutup’, seperti dalam Pileg 2004 silam. Saat itu, pemilih hanya mencoblos gambar partai. Kemudian, penentuan caleg yang lolos ke kursi legislatif dihitung dari nomor urut calon, bukan berdasarkan jumlah suara terbanyak---sebagaimana halnya tarung bebas.
“Jadi, dalam sistem nomor urut, orang berebut dapat nomor urut topi atau nomor paling atas. Lama-lama, wakil rakyat malas dekat dengan rakyat. Sebab, tinggal berjuang di partai, jadi pengurus partai, dapat nomor urut teratas,” ujar Tama Tenaya yang mantan Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali 2009-2014.
Paparan senada juga disampaikan Ketua Fraksi Demokrat DPRD Bali, I Wayan Adnyana. Menurut Adnyana, tarung bebas memang yang paling tepat untuk mengukur kekuatan caleg dan basis dukungannya. “Tapi, kita belum tahu juga nanti aturan untuk Pileg 2019. Sebab, RUU Pemilu masih dibahas di DPR,” ujar politisi Demokrat asal Desa Luwus, Kecamatan Baturiti, Tabanan ini.
Adnyana menyebutkan, jika sistem tarung bebas, dengan perolehan lebih dari 17.000 suara diu Dapil Tabanan, diestimasi sudah cukup untuk lolos ke DPRD Bali. “Lolos atau tidak, kita sudah bisa estimasi kalau tarung bebas. Memang rata-rata teman di DPRD Bali ingin sistem tarung bebas dipertahankan,” ujar Sekretaris DPD Demokrat Bali yang sudah dua periode lolos ke DPRD Provinsi dengan sistem tarung bebas ini.
Saat ini, ada 55 anggota DPRD Bali hasil tarung bebas Pileg 2014 lalu. Rinciannya, 24 anggota Dewan dari Fraksi PDIP, 11 anggota Dewan dari Fraksi Golkar, 8 anggota Dewan dari Fraksi Demokrat, 7 anggota Dewan dari Fraksi Gerindra, 2 anggota Dewan dari NasDem, 1 anggota Dewan dari Hanura, 1 anggota Dewan dari PKPI, dan 1 anggota Dewan dari PAN.
Dari jumlah ini, sebagian sudah merasakan dua sitem pertarungan, yakni nomor urut (Pileg 2004) dan tarung bebas (Pileg 2009 dan 2014). Mereka, antara lain, Gede Kusumaputra (anggota Fraksi PDIP Dapil Buleleng) dan Ketut Kariyasa Adnyan (anggota Fraksi PDIP Dapil Buleleng). Sebagian besar lagi tidak pernah merasakan tarung sistem nomor urut, karena baru ikut di dua pesta terakhir (Pileg 2009 dan 2014), seperti Ketut Tama Tenaya (anggota Fraksi PDIP Dapil Badung) dan Nyoman Sugawa Korry (anggota Fraksi Golkar Dapil Buleleng).
Sementara itu, Ketua KPU Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandhi mengatakan ketika Pileg 2014, aturannya mengacu UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, di mana penentuan perolehan kursi/lolosnya caleg ke Dewan berdasarkan suara terbanyak. Menurut Raka Sandhi, Pileg 2014 menggunakan sistem proporsional terbuka alias tarung bebas, di mana pemilih mencoblos gambar partai dan nomor urut caleg. “Tapi, untuk Pileg 2019 mendatang, kita belum tahu perubahannya. Kalau berubah, itu sudah pasti, karena Pileg 2019 akan digelar bersamaan dengan Pilpres 2019,” ujar Raka Sandhi saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Kamis kemarin.
KPU Bali sendiri, kata Raka Sandhi, tetap melakukan koordinasi dengan KPU RI sambil menunggu keputusan di DPR RI. “Pansus sedang bekerja merancang sistem dan UU Pemilu 2019. Mungkin sekitar April 2017 mendatang, baru kita bisa ketahui sistemnya. Namun, kami sekarang tugasnya koordinasi dengan KPU RI sembari menunggu UU selesai,” ujar komisioner KPU asal Desa Yehsumbul, Kecamatan Mendoyo, Jembrana ini. * nat
Ketua Komisi I DPRD Bali (yang membidangi keamanan, perundang-undangan, politik, Pemilu), I Ketut Tama Tenaya, mengatakan hampir seluruh 55 anggota DPRD Bali 2014-2019 akan terjun lagi dalam tarung Pileg 2019, dengan kendaraan partai yang sama. Para kandidat caleg incumbent ini rata-rata menginginkan tarung bebas, karena mereka sudah telanjur membina konstituen.
”Teman-teman tidak mau hasil kerja bertahun-tahun memelihara konstituen, hangus begitu saja,” ujar politisi PDIP asal Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini kepada NusaBali di Denpasar, Kamis (19/1).
Bagi Tama Tenaya, tarung bebas paling bagus sistemnya, sehingga para incumbent sudah kerja 5-15 tahun tidak sia-sia kerjanya. Namun, jika tiba-tiba tarung bebas diganti dengan sistem nomor urut, peluang para incumbent yang sudah kerja bertahun-tahun bisa disalip new comer.
“Saya, misalnya, sudah dua periode (10 tahun) duduk di DPRD Bali. Selama ini, saya sudah telanjur dekat dengan rakyat. Tapi, peluangnya bisa tiba-tiba hangus, karena masalah nomor urut. Kalau dapat nomor urut 1 di Dapil Badung sih nggak masalah. Tapi, kalau caleg nomor urut sepatu, meski punya banyak pendukung, mati dah. Maka itu, teman-teman semuanya ingin tarung bebas,” tandas Tama Tenaya.
Tama Tenaya menegskan, sistem nomor urut dalam bahasa Pemilu disebut sebagai sistem ‘proporsional tertutup’, seperti dalam Pileg 2004 silam. Saat itu, pemilih hanya mencoblos gambar partai. Kemudian, penentuan caleg yang lolos ke kursi legislatif dihitung dari nomor urut calon, bukan berdasarkan jumlah suara terbanyak---sebagaimana halnya tarung bebas.
“Jadi, dalam sistem nomor urut, orang berebut dapat nomor urut topi atau nomor paling atas. Lama-lama, wakil rakyat malas dekat dengan rakyat. Sebab, tinggal berjuang di partai, jadi pengurus partai, dapat nomor urut teratas,” ujar Tama Tenaya yang mantan Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali 2009-2014.
Paparan senada juga disampaikan Ketua Fraksi Demokrat DPRD Bali, I Wayan Adnyana. Menurut Adnyana, tarung bebas memang yang paling tepat untuk mengukur kekuatan caleg dan basis dukungannya. “Tapi, kita belum tahu juga nanti aturan untuk Pileg 2019. Sebab, RUU Pemilu masih dibahas di DPR,” ujar politisi Demokrat asal Desa Luwus, Kecamatan Baturiti, Tabanan ini.
Adnyana menyebutkan, jika sistem tarung bebas, dengan perolehan lebih dari 17.000 suara diu Dapil Tabanan, diestimasi sudah cukup untuk lolos ke DPRD Bali. “Lolos atau tidak, kita sudah bisa estimasi kalau tarung bebas. Memang rata-rata teman di DPRD Bali ingin sistem tarung bebas dipertahankan,” ujar Sekretaris DPD Demokrat Bali yang sudah dua periode lolos ke DPRD Provinsi dengan sistem tarung bebas ini.
Saat ini, ada 55 anggota DPRD Bali hasil tarung bebas Pileg 2014 lalu. Rinciannya, 24 anggota Dewan dari Fraksi PDIP, 11 anggota Dewan dari Fraksi Golkar, 8 anggota Dewan dari Fraksi Demokrat, 7 anggota Dewan dari Fraksi Gerindra, 2 anggota Dewan dari NasDem, 1 anggota Dewan dari Hanura, 1 anggota Dewan dari PKPI, dan 1 anggota Dewan dari PAN.
Dari jumlah ini, sebagian sudah merasakan dua sitem pertarungan, yakni nomor urut (Pileg 2004) dan tarung bebas (Pileg 2009 dan 2014). Mereka, antara lain, Gede Kusumaputra (anggota Fraksi PDIP Dapil Buleleng) dan Ketut Kariyasa Adnyan (anggota Fraksi PDIP Dapil Buleleng). Sebagian besar lagi tidak pernah merasakan tarung sistem nomor urut, karena baru ikut di dua pesta terakhir (Pileg 2009 dan 2014), seperti Ketut Tama Tenaya (anggota Fraksi PDIP Dapil Badung) dan Nyoman Sugawa Korry (anggota Fraksi Golkar Dapil Buleleng).
Sementara itu, Ketua KPU Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandhi mengatakan ketika Pileg 2014, aturannya mengacu UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, di mana penentuan perolehan kursi/lolosnya caleg ke Dewan berdasarkan suara terbanyak. Menurut Raka Sandhi, Pileg 2014 menggunakan sistem proporsional terbuka alias tarung bebas, di mana pemilih mencoblos gambar partai dan nomor urut caleg. “Tapi, untuk Pileg 2019 mendatang, kita belum tahu perubahannya. Kalau berubah, itu sudah pasti, karena Pileg 2019 akan digelar bersamaan dengan Pilpres 2019,” ujar Raka Sandhi saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Kamis kemarin.
KPU Bali sendiri, kata Raka Sandhi, tetap melakukan koordinasi dengan KPU RI sambil menunggu keputusan di DPR RI. “Pansus sedang bekerja merancang sistem dan UU Pemilu 2019. Mungkin sekitar April 2017 mendatang, baru kita bisa ketahui sistemnya. Namun, kami sekarang tugasnya koordinasi dengan KPU RI sembari menunggu UU selesai,” ujar komisioner KPU asal Desa Yehsumbul, Kecamatan Mendoyo, Jembrana ini. * nat
Komentar