Mesin Roasting Tua Buatan Jerman Rahasia Dapur 'Kopi Banyuatis'
SINGARAJA, NusaBali
Deru suara api melalap kayu bakar keluar dari dua mesin raksasa setinggi tiga meter di ruang 10x10 meter.
Tak berselang lama, aroma semerbak khas aroma kopi tercium hidung. Mesin itu adalah mesin roasting (pemanggang) bubuk kopi milik perusahaan Kopi Banyuatis, yang disebut-sebut mesin roasting tua berumur 76 tahun.
Mesin itu berada di pabrik Kopi Banyuatis yang berlokasi di Jalan Raya Singaraja-Seririt, wilayah Desa Pemaron, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Kopi Banyuatis salah satu brand kopi ternama di Bali, dimiliki oleh warga Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng. Usaha pengolahan biji kopi menjadi bubuk ini dilakoni secara turun temurun sejak tahun 1950.
Rasa serbuk kopi robusta yang dikenal merakyat ini, membuat hampir semua orang yang mencicipinya ketagihan dan tak mampu berpaling ke merk lain. Salah satu rahasianya, hingga kini Kopi Banyuatis masih memakai mesin roasting kopi tua buatan Jerman yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1945.
Usaha pengolahan kopi ini sekarang dikelola oleh Gede Pusaka, 45, keturunan ketiga Jro Dalang Gelgel. Di temui di pabrik pengolahan kopinya, Gede Pusaka yang akrab disapa De Saka ini membocorkan sedikit rahasia dapur produksinya kepada NusaBali, Jumat (1/10), bertepatan dengan hari kopi sedunia.
Kopi Banyuatis tercipta berawal dari buyut De Saka yang bernama Jro Dalang Gelgel, memiliki kebun kopi yang cukup luas dari hasil kerjanya sebagai dalang. Lambat laun kebun kopi tersebut diwarisi oleh anaknya Putu Dalang (kakek De Saka). Sekitar tahun 1950, Putu Dalang mulai kebingungan mengelola kebun kopinya. Dia pun berinisiatif untuk mencoba pengolahan biji kopi menjadi serbuk, untuk mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi.
“Waktu kakek saya itu belum ada brand, produk dijual tanpa label. Setelah dilanjutkan bapak saya (Ketut Englan, red) sekitar tahun 1975 itu mulai dikasih brand Banyuatis. Itu nama diambil dari asal tanah kelahiran,” jelas Saka. Seiring berjalannya waktu produksi kopi Banyuatis yang saat ini sebagai brand kopi bubuk tertua di Bali, peminatnya semakin banyak. Sehingga produksinya pun bertambah, dan mesin roasting konvensional yang dulu menggunakan drum tidak mencukupi lagi.
Hingga pada tahun 1996, De Saka sebagai penerus usaha keluarganya membeli dua mesin roasting konvensional. Mesin roasting ini dibeli dari pabrik kopi di Surabaya. Mesin berukuran besar ini terbuat dari baja dan mampu memanggang biji kopi satu kali produksi sebanyak 200 kilogram. “Saya beli dari pabrik kopi di Surabaya karena mereka beli mesin baru. Saya tidak tahu persisnya mesin ini dibuat. Tetapi dari sejumlah teman yang tahu, disebut produksi tahun 1945, buatan Jerman,” katanya.
Dua mesin roasting ini pun sangat bandel. Karena ukurannya yang besar dan tinggi hampir menghabiskan ruangan 10 x 10 meter. Produksi kopi bubuk hingga kini masih mempertahankan mesin roasting konvensional. Meskipun saat ini perkembangan teknologi, banyak menelurkan mesin canggih dan ramah lingkungan.
De Saka mengaku masih mempertahankan dua mesin roasting konvensional ini, karena sesuai dengan brand Kopi Banyuatis yang merupakan kopi tua. Dia pun mengaku belum berkeinginan mengganti mesin tua yang memiliki peran penting dalam produksi kopi bubuknya. Padahal dari segi operasional, mesin roasting tua ini lebih boros, jika dibandingkan dengan mesin roasting kekinian yang sudah menggunakan bahan bakar gas.
Lebih mahal, karena pembakarannya menggunakan kayu bakar. Kayu bakar yang digunakan untuk meroasting kopi pun tak sembarangan. Hanya boleh menggunakan kayu kopi, cengkih, asam, lamtoro, rambutan, kusambi, kalimoko dan bekul. Sedangkan kini harga kayu bakar di pasaran cukup mahal, karena tak banyak tersedia.
Hanya saja keyakinannya pada mesin tua ini dapat menjamin konsistensi hasil panggangan kopi sebelum digiling. Selain juga sangat kuat dan bandel. Mesin yang berproses setiap hari dengan suhu panas, tidak terpengaruh meski usianya sudah tua. Kerusakan berarti pun sangat jarang muncul, paling hanya mengganti spare part kecil, yang masih bisa ditangani oleh teknisi setempat.
Mesin roasting tua ini pun tidak sembarang orang dapat mengoperasikan. Menurut De Saka, saat ini pabriknya hanya punya tiga roaster. Dua orang roaster senior dan satu roaster magang yang dilatih dan disiapkan untuk menggantikan seniornya yang akan memasuki masa pensiun.
“Tidak sembarangan orang bisa dan mau, karena mengoperasikan mesin ini harus tahan panas, kemudian paham proses dari mendengarkan suara, dari bau dan melihat warna asap. Sehingga tenaga yang bertugas di sini sangat terbatas. Minimal dilatih lima tahun sebelum menggantikan yang akan pensiun,” jelas dia.
Sehari mesin tua ini mampu berproduksi tiga kali. Sehingga rata-rata produksi per harinya bisa mencapai satu ton. Sejauh ini Kopi Banyuatis setia menjaga cita rasa salah satunya dengan kualitas bahan baku yang dipakai. Sebagai kopi Bali, Kopi Banyuatis komitmen tetap memakai kopi lokal Bali. Ratusan ton kopi Bali dari petani kopi lokal Buleleng, Bangli dan Tabanan, diserap untuk diproses. Saat ini selain memenuhi pasar lokal Bali, kopi Banyuatis juga mulai menjajal pasar ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Perusahaan yang getol mengkampanyekan brand kopi rakyat karena harga terjangkau ini mendapat keuntungan tersendiri pada masa pandemi saat ini. Produksi dan pemasarannya sama sekali tak terpengaruh pandemi, tak seperti usaha lainnya. “Bapak memang dari awal inginnya produksi kopi rakyat, ini penyokong utama kami sehingga tak kena dampak pandemi,” jelas dia.
Selain produksi kopi bubuk rakyat, sejak tahun 1990, Kopi Banyuatis juga menyediakan kopi premium untuk oleh-oleh, hingga kopi serbuk saset siap seduh yang sudah masuk ke pasar dan toko modern. *k23
Komentar