Bikin Usaha Keripik, Tembus Pasar Hongkong
Kiat Tiga Difabel Bersaudara di Ubud Hadapi Pandemi
Meski pun kami difabel, masa kami tidak bisa? Kami tak mau bersedih akibat pandemi ini.
GIANYAR, NusaBali
KETUT Budiarsa,40 warga difabel asal Banjar Kedewatan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali. Dia berani menikahi gadis pujaannya, Ida Ayu Ketut Kenari alias Dayu Kenari, 15 Maret 2019. Bukan karena laki-laki difabel bertubuh kecil ini telah menyemai cinta kasih sejak lima tahun sebelumnya. Namun, dia sangat yakin kelak mampu menjalani bahtera rumah tangga dari kreativitas melukis.
Sulit memang membayangkan bahtera rumah tangga seperti apa yang mereka bangun. Karena Dayu Kenari juga penyandang polio yang membuat kakinya lumpuh. Perempuan asal Banjar Griya, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem (sekitar 30 km arah timur dari Desa Kedewatan, Ubud) ini sempat bersama Ketut, bergabung pada salah satu yayasan pengasuh difabel di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali. Meski jadi pasutri (pasangan suami istri) sama-sama penyandang difabel, mereka bisa bahagia. Dayu Kenari hamil dan melahirkan bayi laki-laki sehat dan lucu, 12 April 2020. Bayi mereka diberi nama Putu Agus Budika Dharma Separsa.
Namun kebahagiaan mereka seketika terampas. Pandemi Covid-19 menerjang Bali sejak Maret 2020 hingga waktu tak pasti. Sektor pariwisata yang menjadi kebanggaan desanya, Desa Kedewatan, langsung padam. Desa ini hanya berbatas Tukad (sungai) Campuhan dengan jantung pariwisata Ubud yang terkenal itu. Keluarga Ketut tentu paling parah merasakan dampak tertimpa pandemi yang telah menelan banyak nyawa ini. Lebih-lebih keluarga ini memang tercatat sebagai keluarga kurang mampu.
Ketut tak lagi bisa menjual lukisannya. Sang istri juga tak dapat melanjutkan usaha mikro bidang kerajinan manik-manik. Sebelum pandemi, produk ini dia jual secara online dan menitip di artshop-artshop seputar kawasan wisata Ubud.
Sebenarnya, Ketut adalah enam bersaudara. Kakak pertama perempuan sudah menikah, kakak kedua perempuan meninggal masih bayi, kakak ketiga, I Nyoman Budiarta,43, dan dua adik laki-laki yakni I Wayan Piyadnya,38, dan Kadek Budiana,36. I Nyoman Budiarta, Ketut dan Wayan Piyadnya sama-sama penyandang difabel osteogenesis imperfecta (perapuhan tulang). Penyakit ini mengakibatkan tubuhnya mengkerut. Kelainan anatomi tubuh mereka kentara sejak masih kanak-kanak. Dalam kancah seni rupa di kawasan Ubud, Gianyar, Bali, tiga bersaudara penyandang difabel ini menamai diri Three Brothers.
Orangtua mereka, I Ketut Ngong,75 dan Ni Made Korni,62, hanya pedagang kecil. Mereka masing-masing menjual makanan berbungkus daun keliling desa. Karena pariwisata sepi, maka daya beli masyarakat lumpuh. Jualan mereka pun sulit laku.
Kondisi memilukan akibat pandemi membuat Ketut dan istrinya harus putar otak. Apalagi harus menanggung buah hatinya. Tekanan pandemi berkepanjangan tak membuat menyerah. Ketut makin tertantang untuk menghidupi keluarga. Dia mengaku termotivasi oleh banyak orang non difabel yang minim gerak fisik bahkan diam, tapi bisa kaya. ‘’Meski pun kami difabel, masa kami tidak bisa? Kami tak mau bersedih akibat pandemi ini. Atas rahmat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), setelah dua bulan ngobrol sama istri untuk cari solusi, akhirnya kami sepakati buat usaha keripik singkong,’’ beber Ketut Budiarsa saat ditemui NusaBali di rumahnya, Kamis (30/9) lalu.
Keluarganya pun setuju hingga terlibat dalam usaha ini. Keripik bukan komoditas baru bagi Ketut. Karena ibunya yang penjual makanan berbungkus daun, pernah membuat keripik. Namun usaha keripik itu tak jalan karena sang ibu lebih fokus berjualan keliling. Selain itu, saat tinggal pada sebuah yayasan difabel di Desa Tampaksiring, Ketut terkenal suka memasak.
Minggu, 30 Mei 2020, Ketut mulai memprakarsai membuat keripik singkong. Dia libatkan istri, kakak, adik, bahkan ibunya. Mereka mecoba membuat keripik berbahan 3 kg singkong dengan hasil 7 bungkus ukuran sedang. Harga per bungkus dijual Rp 10.000. ‘’Tujuh bungkus keripik ini saya posting di akun Facebook dan Instagram saya, ternyata hari itu juga habis,’’ kenang Ketut.
Bermula tujuh bungkus terjual habis itu, Ketut dapat pesanan keripik hingga 100 bungkus. Di balik pesanan 100 bungkus ini, Ketut dan keluarga mulai paham tentang kendala dan hambatan berwirausaha. Pesanan mendadak 100 bungkus keripik sempat membuat Ketut bingung mencari bahan baku. Dia berbantuan kursi roda elektrik ikut keliling pasar desa untuk mencari singkong mentah.
Kendala yang dialami Ketut saat proses pembuatan keripik, antara lain sulitnya memotong tipis rata singkong dengan pisau manual. Selain itu, menggoreng dengan kompor gas sumbu kecil memakan banyak waktu. Bahkan, keluarga ini terpaksa lembur membuat keripik singkong 100 bungkus itu sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 10.00 malam. Ketut juga menemukan kendala lain, yakni keripiknya meski garing, masih dilembabkan minyak goreng. ‘’Tapi, saya tak mau nyerah dengan kendala-kendala seperti itu. Saya harus carikan solusi,’’ ujar Ketut, dibenarkan oleh kakaknya, I Nyoman Budiarta.
Atas bantuan teman, dia kini mengoperasikan mesin penyedot minyak pada keripik usai digoreng. Sumbu kompor gasnya mini diganti jumbo, yang dia sebut kompor joss. Berkat modernisasi perabot kerja, usaha keripik berlabel Three Brothers+1 Family ini dapat mengefisiensi pekerjaan hingga 60 persen. Three Brothers dalam label berarti ‘tiga bersaudara’ yakni ketut, kakak, dan adik yang sama-sama difabel. Sedangkan +1 family adalah anggota keluarga yang lain dengan kondisi normal, tinggal dalam satu pekarangan. Mereka adalah Kadek Budiana, adik bungsu Ketut Budiarsa, ibu dari Ketut, Ni Made Korni, dan keponakan-keponakan.
Ketut menjelaskan, proses produksi keripik dimulai dari membersihkan singkong atau ubi talas. Selanjutnya singkong diiris-iris dengan mesin pengiris listrik, mencuci irisan, pembumbuan, dan menggoreng. Lanjut, gorengan keripik dikeringkan pada mesin pengering listrik. Proses diakhiri dengan pengemasan.
Seiring pesanan membanjir, Ketut dan keluarga terus belajar meningkatkan kualitas produk. Misalnya, agar keripik bisa renyah, gurih, enak, dan irit minyak, bahannya harus dari singkong segar. Menimbang pasar makin cerah, Ketut optimis usaha keripik ini bisa jadi lapangan kerja untuk keluarga bahkan warga lain di desanya. ‘’Sejak awal saya berpikiran, jangan sampai usaha keripik ini hanya hangat-hangat tai ayam atau semangat hanya sementara. Saya ingin, usaha ini berlanjut untuk kesejahteraan keluarga dan warga lain,’’ jelasnya.
Untuk diketahui, Ketut hanya bisa pakai tangan kirinya yang mengkerut untuk mengiris dan menggoreng keripik, karena tangan kanannya tanpa tulang. Sementara, kakaknya Nyoman Budiarta hanya bisa kerja dengan tangan kanan, karena tangan kirinya tak bertulang. Sedangkan, I Wayan Piyadnya, kedua tangannya tanpa tulang. Karena masing-masing dari kakinya mengkerut, tiga saudara ini saat beraktivitas selalu dari atas kursi roda. Jika kerja angkat-mengangkat dan mencuci perabotan, mereka dibantu keluarga normal. ‘’Saya, kakak, dan adik saya yang difabel, nggak bisa kerja berat, misal nyuci penggorengan. Tapi ini kan kerja tim, kami yang difabel dapat bagian ngiris dan menggoreng. Karena perabot ini kami setel agar cocok untuk tubuh kami,’’ ujar Ketut.
Kini, keripik Three Brothers+1 Family punya pemasok singkong dan ubi talas dari warga asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar. Setahu Ketut, pemasok bahan baku keripik ini adalah mantan pemandu wisatawan manca negara. Untuk bertahan hidup di tengah pandemi, pemandu turis ini banting setir jadi dagang singkong dan ubi talas. ‘’Kami amat bersyukur di masa pandemi Covid-19 ini, bisa eksis dan membantu petani untuk mengolah singkong dan ubi talasnya,’’ tambah I Nyoman Budiarta, menimpali.
Tak hanya keripik singkong, Ketut dan keluarganya juga memproduksi keripik ubi talas dan keripik daun kelor. Pembungkusnya tak lagi plastik melainkan kertas ramah lingkungan. Ketut dan Three Brothers+1 Family menargetkan produk keripiknya mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI. Mereka juga menargetkan usaha mikro ini menjadi sumber pendapatan tetap keluarga. Selain itu, usaha ini bisa menjadi pembeli tetap hasil pertanian, khususnya singkong dan ubi talas. Kini mereka dapat memroduksi dan mejual keripik 150 bungkus per hari. Harga per bungkus antara Rp 15.000 sampai Rp 18.000. ‘’Kalau jelang hari raya keagamaan, produksinya akan lebih banyak, karena permintaan untuk parcel,’’ ujar Ketut, lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Negeri di Desa Batubulan, Kecamatan, Sukawati, Gianyar, Bali ini.
Berkat proses produksi yang serba higienis serta kemasan cantik dan apik, keripik ini dibeli oleh konsumen kelas menengah ke atas. Selama ini, dengan penjualan secara online dan jasa paket antar, keripik Three Brothers+1 Family menembus pelanggan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, dan lain-lainnya. Beberapa juga telah menembus pasar ekspor ke Hongkong. ‘’Impian kami ke depan, keripik Three Brothers+1 Family bisa go international, dan mempekerjakan banyak orang. Asal punya tekad kuat, kami yakinkan kepada teman-teman difabel bisa mandiri,’’ tegas Ketut. *wilasa
Sulit memang membayangkan bahtera rumah tangga seperti apa yang mereka bangun. Karena Dayu Kenari juga penyandang polio yang membuat kakinya lumpuh. Perempuan asal Banjar Griya, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem (sekitar 30 km arah timur dari Desa Kedewatan, Ubud) ini sempat bersama Ketut, bergabung pada salah satu yayasan pengasuh difabel di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali. Meski jadi pasutri (pasangan suami istri) sama-sama penyandang difabel, mereka bisa bahagia. Dayu Kenari hamil dan melahirkan bayi laki-laki sehat dan lucu, 12 April 2020. Bayi mereka diberi nama Putu Agus Budika Dharma Separsa.
Namun kebahagiaan mereka seketika terampas. Pandemi Covid-19 menerjang Bali sejak Maret 2020 hingga waktu tak pasti. Sektor pariwisata yang menjadi kebanggaan desanya, Desa Kedewatan, langsung padam. Desa ini hanya berbatas Tukad (sungai) Campuhan dengan jantung pariwisata Ubud yang terkenal itu. Keluarga Ketut tentu paling parah merasakan dampak tertimpa pandemi yang telah menelan banyak nyawa ini. Lebih-lebih keluarga ini memang tercatat sebagai keluarga kurang mampu.
Ketut tak lagi bisa menjual lukisannya. Sang istri juga tak dapat melanjutkan usaha mikro bidang kerajinan manik-manik. Sebelum pandemi, produk ini dia jual secara online dan menitip di artshop-artshop seputar kawasan wisata Ubud.
Sebenarnya, Ketut adalah enam bersaudara. Kakak pertama perempuan sudah menikah, kakak kedua perempuan meninggal masih bayi, kakak ketiga, I Nyoman Budiarta,43, dan dua adik laki-laki yakni I Wayan Piyadnya,38, dan Kadek Budiana,36. I Nyoman Budiarta, Ketut dan Wayan Piyadnya sama-sama penyandang difabel osteogenesis imperfecta (perapuhan tulang). Penyakit ini mengakibatkan tubuhnya mengkerut. Kelainan anatomi tubuh mereka kentara sejak masih kanak-kanak. Dalam kancah seni rupa di kawasan Ubud, Gianyar, Bali, tiga bersaudara penyandang difabel ini menamai diri Three Brothers.
Orangtua mereka, I Ketut Ngong,75 dan Ni Made Korni,62, hanya pedagang kecil. Mereka masing-masing menjual makanan berbungkus daun keliling desa. Karena pariwisata sepi, maka daya beli masyarakat lumpuh. Jualan mereka pun sulit laku.
Kondisi memilukan akibat pandemi membuat Ketut dan istrinya harus putar otak. Apalagi harus menanggung buah hatinya. Tekanan pandemi berkepanjangan tak membuat menyerah. Ketut makin tertantang untuk menghidupi keluarga. Dia mengaku termotivasi oleh banyak orang non difabel yang minim gerak fisik bahkan diam, tapi bisa kaya. ‘’Meski pun kami difabel, masa kami tidak bisa? Kami tak mau bersedih akibat pandemi ini. Atas rahmat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), setelah dua bulan ngobrol sama istri untuk cari solusi, akhirnya kami sepakati buat usaha keripik singkong,’’ beber Ketut Budiarsa saat ditemui NusaBali di rumahnya, Kamis (30/9) lalu.
Keluarganya pun setuju hingga terlibat dalam usaha ini. Keripik bukan komoditas baru bagi Ketut. Karena ibunya yang penjual makanan berbungkus daun, pernah membuat keripik. Namun usaha keripik itu tak jalan karena sang ibu lebih fokus berjualan keliling. Selain itu, saat tinggal pada sebuah yayasan difabel di Desa Tampaksiring, Ketut terkenal suka memasak.
Minggu, 30 Mei 2020, Ketut mulai memprakarsai membuat keripik singkong. Dia libatkan istri, kakak, adik, bahkan ibunya. Mereka mecoba membuat keripik berbahan 3 kg singkong dengan hasil 7 bungkus ukuran sedang. Harga per bungkus dijual Rp 10.000. ‘’Tujuh bungkus keripik ini saya posting di akun Facebook dan Instagram saya, ternyata hari itu juga habis,’’ kenang Ketut.
Bermula tujuh bungkus terjual habis itu, Ketut dapat pesanan keripik hingga 100 bungkus. Di balik pesanan 100 bungkus ini, Ketut dan keluarga mulai paham tentang kendala dan hambatan berwirausaha. Pesanan mendadak 100 bungkus keripik sempat membuat Ketut bingung mencari bahan baku. Dia berbantuan kursi roda elektrik ikut keliling pasar desa untuk mencari singkong mentah.
Kendala yang dialami Ketut saat proses pembuatan keripik, antara lain sulitnya memotong tipis rata singkong dengan pisau manual. Selain itu, menggoreng dengan kompor gas sumbu kecil memakan banyak waktu. Bahkan, keluarga ini terpaksa lembur membuat keripik singkong 100 bungkus itu sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 10.00 malam. Ketut juga menemukan kendala lain, yakni keripiknya meski garing, masih dilembabkan minyak goreng. ‘’Tapi, saya tak mau nyerah dengan kendala-kendala seperti itu. Saya harus carikan solusi,’’ ujar Ketut, dibenarkan oleh kakaknya, I Nyoman Budiarta.
Atas bantuan teman, dia kini mengoperasikan mesin penyedot minyak pada keripik usai digoreng. Sumbu kompor gasnya mini diganti jumbo, yang dia sebut kompor joss. Berkat modernisasi perabot kerja, usaha keripik berlabel Three Brothers+1 Family ini dapat mengefisiensi pekerjaan hingga 60 persen. Three Brothers dalam label berarti ‘tiga bersaudara’ yakni ketut, kakak, dan adik yang sama-sama difabel. Sedangkan +1 family adalah anggota keluarga yang lain dengan kondisi normal, tinggal dalam satu pekarangan. Mereka adalah Kadek Budiana, adik bungsu Ketut Budiarsa, ibu dari Ketut, Ni Made Korni, dan keponakan-keponakan.
Ketut menjelaskan, proses produksi keripik dimulai dari membersihkan singkong atau ubi talas. Selanjutnya singkong diiris-iris dengan mesin pengiris listrik, mencuci irisan, pembumbuan, dan menggoreng. Lanjut, gorengan keripik dikeringkan pada mesin pengering listrik. Proses diakhiri dengan pengemasan.
Seiring pesanan membanjir, Ketut dan keluarga terus belajar meningkatkan kualitas produk. Misalnya, agar keripik bisa renyah, gurih, enak, dan irit minyak, bahannya harus dari singkong segar. Menimbang pasar makin cerah, Ketut optimis usaha keripik ini bisa jadi lapangan kerja untuk keluarga bahkan warga lain di desanya. ‘’Sejak awal saya berpikiran, jangan sampai usaha keripik ini hanya hangat-hangat tai ayam atau semangat hanya sementara. Saya ingin, usaha ini berlanjut untuk kesejahteraan keluarga dan warga lain,’’ jelasnya.
Untuk diketahui, Ketut hanya bisa pakai tangan kirinya yang mengkerut untuk mengiris dan menggoreng keripik, karena tangan kanannya tanpa tulang. Sementara, kakaknya Nyoman Budiarta hanya bisa kerja dengan tangan kanan, karena tangan kirinya tak bertulang. Sedangkan, I Wayan Piyadnya, kedua tangannya tanpa tulang. Karena masing-masing dari kakinya mengkerut, tiga saudara ini saat beraktivitas selalu dari atas kursi roda. Jika kerja angkat-mengangkat dan mencuci perabotan, mereka dibantu keluarga normal. ‘’Saya, kakak, dan adik saya yang difabel, nggak bisa kerja berat, misal nyuci penggorengan. Tapi ini kan kerja tim, kami yang difabel dapat bagian ngiris dan menggoreng. Karena perabot ini kami setel agar cocok untuk tubuh kami,’’ ujar Ketut.
Kini, keripik Three Brothers+1 Family punya pemasok singkong dan ubi talas dari warga asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar. Setahu Ketut, pemasok bahan baku keripik ini adalah mantan pemandu wisatawan manca negara. Untuk bertahan hidup di tengah pandemi, pemandu turis ini banting setir jadi dagang singkong dan ubi talas. ‘’Kami amat bersyukur di masa pandemi Covid-19 ini, bisa eksis dan membantu petani untuk mengolah singkong dan ubi talasnya,’’ tambah I Nyoman Budiarta, menimpali.
Tak hanya keripik singkong, Ketut dan keluarganya juga memproduksi keripik ubi talas dan keripik daun kelor. Pembungkusnya tak lagi plastik melainkan kertas ramah lingkungan. Ketut dan Three Brothers+1 Family menargetkan produk keripiknya mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI. Mereka juga menargetkan usaha mikro ini menjadi sumber pendapatan tetap keluarga. Selain itu, usaha ini bisa menjadi pembeli tetap hasil pertanian, khususnya singkong dan ubi talas. Kini mereka dapat memroduksi dan mejual keripik 150 bungkus per hari. Harga per bungkus antara Rp 15.000 sampai Rp 18.000. ‘’Kalau jelang hari raya keagamaan, produksinya akan lebih banyak, karena permintaan untuk parcel,’’ ujar Ketut, lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Negeri di Desa Batubulan, Kecamatan, Sukawati, Gianyar, Bali ini.
Berkat proses produksi yang serba higienis serta kemasan cantik dan apik, keripik ini dibeli oleh konsumen kelas menengah ke atas. Selama ini, dengan penjualan secara online dan jasa paket antar, keripik Three Brothers+1 Family menembus pelanggan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, dan lain-lainnya. Beberapa juga telah menembus pasar ekspor ke Hongkong. ‘’Impian kami ke depan, keripik Three Brothers+1 Family bisa go international, dan mempekerjakan banyak orang. Asal punya tekad kuat, kami yakinkan kepada teman-teman difabel bisa mandiri,’’ tegas Ketut. *wilasa
1
Komentar