Sempat Berjaya di Era Tahun 1950-an, Kini Tersisa Satu Perajin Usia Sepuh
Tenun Cagcag Jati Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Sukawati yang Terancam Punah
Pihak desa berupaya memperkenalkan kembali kain tenun yang nyaris punah ini dengan ditampilkan dalam ajang Pameran UMKM pra even Saharsa Warsa 1.000 tahun Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Caka.
GIANYAR, NusaBali
Kerajinan kain tenun pernah eksis di Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar sekitar tahun 1950-an. Peminatnya dari kalangan wisatawan asing yang berlibur di Bali. Dijajakan ke hotel-hotel tempat turis menginap. Kain tenun dengan beberapa motif ini kerap dijadikan oleh-oleh atau souvenir.
Namun kini, kerajinan tenun yang dinamai Cagcag Jati Dentiyis ini di ambang kepunahan. Jika semasa jaya, hampir sebagian besar perempuan satu banjar bisa menenun. Minimal memintal benang. Kini perajin tenun hanya tersisa satu orang saja. Usianya pun sudah sangat sepuh. "Masih ada satu penenun yang tetap setia dan aktif menenun sampai saat ini. Ni Made Mirib, usianya sekitar 76 tahun," jelas Kepala Dusun Banjar Dentiyis, I Wayan Dira saat dtemui, Sabtu (2/10).
Sepengetahuan Wayan Dira, kerajinan tenun ini macet karena tuntutan zaman. Ketika perajin merasa mendapat penghasilan yang tidak layak dibanding jerih payahnya menenun seharian. "Berdasarkan cerita dari tetua kami, dulu perajin ini punya suatu perkumpulan. Kain hasil tenun, diambil oleh pengepul untuk dijual ke hotel-hotel," jelasnya. Mulanya, perajin bisa hidup dari hasil tenun. Namun lambat laun, harga beli justru semakin turun. "Kain yang dibuat susah payah selama seharian, bahkan ada selembar baru selesai 2 hari dibayar murah. Tidak sebanding, sehingga membuat satu per satu beralih profesi ke pekerjaan lain," jelasnya.
Padahal dulu, mulai dari kalangan anak-anak, remaja putri hingga lansia menekuni kerajinan ini. Terutama sepulang dari menggarap ladang, kaum perempuan melanjutkan aktifitas menenun, baik di satu kelompok maupun di rumah masing-masing.
Kini hampir semua perajin sudah beralih profesi. Cenderung memilih aktifitas majejahitan untuk sarana upakara yang lebih menjanjikan. "Ada juga yang menjadi pedagang," terang Wayan Dira. Kendala lain, pembuat motif tenun Cagcag Jati Dentiyis ini hanya bisa dilakukan satu orang saja. "Hanya Jero Mangku Pulasari yang dulu bisa membuat motif. Saat ini beliau juga sudah lanjut usia. Penglihatannya sudah rabun, tidak lagi bisa membuat motif. Karena itu rumit," jelasnya. Selain itu, tenun Cagcag Jati ini kalah pada kualitas bahan baku benang. "Yang dipakai benang yang mudah luntur jika dicuci," ungkapnya.
Meski banyak kendala, Wayan Dira mensyukuri masih ada satu penenun yang aktif dan setia sampai saat ini. Maka itu pihaknya berharap, potensi yang pernah eksis di masa lalu ini bisa dibangkitkan kembali di masa kekinian. Terlebih di era ekonomi kreatif ini, kain tenun tidak sebatas untuk dijadikan kamen atau selendang. Melainkan bisa diolah menjadi produk kreatif lain.
Ni Made Mirib, 76, saat ditemui mengaku tetap setia menjamah alat tenunnya setiap hari. Made Mirib mengaku sejak kecil sudah bersentuhan dengan aktifitas ini. Ketika orangtuanya jaman dahulu membawa bahan baku berupa kapas. Made Mirib semasa kanak-kanak, dengan semangat mencabik-cabik gulungan kapas untuk kemudian dijemur. Dari kapas, dililit menjadi benang kemudian dipintal dengan alat serupa roda sepeda. "Dulu menenun ini menjadi penghasilan utama. Kalau tidak menenun, tidak bisa belanja beras," ujarnya.
Diakui memang aktifitas menenun ini rumit. Dibandingkan era milenial saat ini, Made Mirib memaklumi banyak teman-temannya yang beralih profesi. "Teman saya ada yang berdagang, ada yang mejejahitan, jadi tukang banten, dan ke sawah. Saya yang tidak kuat kerja sawah, pilih di rumah saja," ungkapnya.
Made Mirib tetap menenun setelah urusan membantu menantunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga selesai. "Biar ada kegiatan," jelasnya. Kain tenun hasil karya Made Mirib saat ini masih bisa dihitung dengan jari. Tidak laku dijual, sehingga hanya disimpan untuk dipergunakan sendiri. Biasanya digunakan sebagai wastra sanggah atau rantasan. Kain tenun ini juga dibuat untuk cucu perempuannya. "Saya buatkan satu untuk cucu. Dipakai saat menari Rejang Sutri di Pura Desa Batuan," jelasnya. Jika pun dijual, Made Mirib memperkirakan satu lembar kain sepanjang 1 atau 2 meter harganya bisa jutaan rupiah. Hanya saja, dengan harga tersebut jarang ada orang yang membeli. Kecuali mereka yang melihat kain tersebut sebagai sebuah karya seni.
Sepengetahuannya pula, dulu setiap rumah warga memiliki alat tenun. Sekarang, ada yang masih punya alat dalam kondisi rusak. Bahkan ada pula yang sudah dibongkar. Di usia yang sudah sepuh ini, Made Mirib mengaku tetap menenun mengandalkan rasa. "Karena mata sudah rabun, nenun pakai perasaan saja," imbuhnya.
Perbekel Batuan, Ari Anggara mengatakan sedang mencoba membangkitkan kembali potensi kerajinan tenun ini. Bahkan Ari Anggara meminta bantuan langsung pada Ketua Dekranasda Kabupaten Gianyar Ny Ida Ayu Adnyani Mahayastra. "Seperti halnya pengembangan tenun di Pejeng Kangin, kami harap tenun di Desa Batuan juga bisa dibantu untuk dihidupkan kembali potensi yang luar biasa ini," ujarnya.
Sementara itu dari desa berupaya memperkenalkan kembali kain tenun yang nyaris punah ini. Ditampilkan dalam ajang pameran UMKM pra even Saharsa Warsa 1.000 tahun Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Caka. Pameran dibuka pada, Kamis (30/9) dan berlangsung selama setahun penuh hingga 26 Desember 2022 dalam rangka menyambut perayaan seribu tahun tersebut. Dihandel oleh dua komunitas seni, yakni Perkumpulan Pelukis Baturulangun dan Komunitas Citra Kara.
Ketua Dekranasda Kabupaten Gianyar Ny Ida Ayu Surya Adnyani Mahayastra mengaku tertarik dengan kain tenun Cagcag Jati ini. Apalagi kondisinya nyaris punah dengan hanya tersisa satu perajin usia sepuh. "Bahwa di sini ada potensi kain tenun. Kondisinya hampir mirip dengan produksi di Pejeng Kangin. Ketika kita turun, hanya ada satu penenun. Kita ajak dialog, bahwa dulu juga eksis hampir semua warga bisa menenun untuk dijual ke pasar," jelasnya.
Sebelum dibangkitkan kembali, Dekranasda Gianyar terlebih dahulu bertanya kepada mantan penenun. "Mau gak kembali? Kalau mau, dikumpulkan lagi orang-orangnya. Ternyata di sana terkumpul hampir 100 orang, tidak hanya lansia banyak yang muda-muda," ujar Ny Adnyani. Barulah ketika sudah mulai ada gairah, Dekranasda membantu melalui CSR. "Kita buatkan program. Bantu 10 alat ke perajin, kemudian dilanjutkan dengan pelatihan, pewarnaan alam. Syukur sekarang produknya sudah go national. Sampai saat ini, setiap kali ada pameran kita ikut sertakan," jelasnya.
Ny Adnyani berharap langkah-langkah tersebut bisa juga diterapkan di Desa Batuan. "Tentu harus ada pembahasan lebih lanjut, terpenting adalah komitmen dari perajin itu sendiri," jelasnya. *nvi
Namun kini, kerajinan tenun yang dinamai Cagcag Jati Dentiyis ini di ambang kepunahan. Jika semasa jaya, hampir sebagian besar perempuan satu banjar bisa menenun. Minimal memintal benang. Kini perajin tenun hanya tersisa satu orang saja. Usianya pun sudah sangat sepuh. "Masih ada satu penenun yang tetap setia dan aktif menenun sampai saat ini. Ni Made Mirib, usianya sekitar 76 tahun," jelas Kepala Dusun Banjar Dentiyis, I Wayan Dira saat dtemui, Sabtu (2/10).
Sepengetahuan Wayan Dira, kerajinan tenun ini macet karena tuntutan zaman. Ketika perajin merasa mendapat penghasilan yang tidak layak dibanding jerih payahnya menenun seharian. "Berdasarkan cerita dari tetua kami, dulu perajin ini punya suatu perkumpulan. Kain hasil tenun, diambil oleh pengepul untuk dijual ke hotel-hotel," jelasnya. Mulanya, perajin bisa hidup dari hasil tenun. Namun lambat laun, harga beli justru semakin turun. "Kain yang dibuat susah payah selama seharian, bahkan ada selembar baru selesai 2 hari dibayar murah. Tidak sebanding, sehingga membuat satu per satu beralih profesi ke pekerjaan lain," jelasnya.
Padahal dulu, mulai dari kalangan anak-anak, remaja putri hingga lansia menekuni kerajinan ini. Terutama sepulang dari menggarap ladang, kaum perempuan melanjutkan aktifitas menenun, baik di satu kelompok maupun di rumah masing-masing.
Kini hampir semua perajin sudah beralih profesi. Cenderung memilih aktifitas majejahitan untuk sarana upakara yang lebih menjanjikan. "Ada juga yang menjadi pedagang," terang Wayan Dira. Kendala lain, pembuat motif tenun Cagcag Jati Dentiyis ini hanya bisa dilakukan satu orang saja. "Hanya Jero Mangku Pulasari yang dulu bisa membuat motif. Saat ini beliau juga sudah lanjut usia. Penglihatannya sudah rabun, tidak lagi bisa membuat motif. Karena itu rumit," jelasnya. Selain itu, tenun Cagcag Jati ini kalah pada kualitas bahan baku benang. "Yang dipakai benang yang mudah luntur jika dicuci," ungkapnya.
Meski banyak kendala, Wayan Dira mensyukuri masih ada satu penenun yang aktif dan setia sampai saat ini. Maka itu pihaknya berharap, potensi yang pernah eksis di masa lalu ini bisa dibangkitkan kembali di masa kekinian. Terlebih di era ekonomi kreatif ini, kain tenun tidak sebatas untuk dijadikan kamen atau selendang. Melainkan bisa diolah menjadi produk kreatif lain.
Ni Made Mirib, 76, saat ditemui mengaku tetap setia menjamah alat tenunnya setiap hari. Made Mirib mengaku sejak kecil sudah bersentuhan dengan aktifitas ini. Ketika orangtuanya jaman dahulu membawa bahan baku berupa kapas. Made Mirib semasa kanak-kanak, dengan semangat mencabik-cabik gulungan kapas untuk kemudian dijemur. Dari kapas, dililit menjadi benang kemudian dipintal dengan alat serupa roda sepeda. "Dulu menenun ini menjadi penghasilan utama. Kalau tidak menenun, tidak bisa belanja beras," ujarnya.
Diakui memang aktifitas menenun ini rumit. Dibandingkan era milenial saat ini, Made Mirib memaklumi banyak teman-temannya yang beralih profesi. "Teman saya ada yang berdagang, ada yang mejejahitan, jadi tukang banten, dan ke sawah. Saya yang tidak kuat kerja sawah, pilih di rumah saja," ungkapnya.
Made Mirib tetap menenun setelah urusan membantu menantunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga selesai. "Biar ada kegiatan," jelasnya. Kain tenun hasil karya Made Mirib saat ini masih bisa dihitung dengan jari. Tidak laku dijual, sehingga hanya disimpan untuk dipergunakan sendiri. Biasanya digunakan sebagai wastra sanggah atau rantasan. Kain tenun ini juga dibuat untuk cucu perempuannya. "Saya buatkan satu untuk cucu. Dipakai saat menari Rejang Sutri di Pura Desa Batuan," jelasnya. Jika pun dijual, Made Mirib memperkirakan satu lembar kain sepanjang 1 atau 2 meter harganya bisa jutaan rupiah. Hanya saja, dengan harga tersebut jarang ada orang yang membeli. Kecuali mereka yang melihat kain tersebut sebagai sebuah karya seni.
Sepengetahuannya pula, dulu setiap rumah warga memiliki alat tenun. Sekarang, ada yang masih punya alat dalam kondisi rusak. Bahkan ada pula yang sudah dibongkar. Di usia yang sudah sepuh ini, Made Mirib mengaku tetap menenun mengandalkan rasa. "Karena mata sudah rabun, nenun pakai perasaan saja," imbuhnya.
Perbekel Batuan, Ari Anggara mengatakan sedang mencoba membangkitkan kembali potensi kerajinan tenun ini. Bahkan Ari Anggara meminta bantuan langsung pada Ketua Dekranasda Kabupaten Gianyar Ny Ida Ayu Adnyani Mahayastra. "Seperti halnya pengembangan tenun di Pejeng Kangin, kami harap tenun di Desa Batuan juga bisa dibantu untuk dihidupkan kembali potensi yang luar biasa ini," ujarnya.
Sementara itu dari desa berupaya memperkenalkan kembali kain tenun yang nyaris punah ini. Ditampilkan dalam ajang pameran UMKM pra even Saharsa Warsa 1.000 tahun Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Caka. Pameran dibuka pada, Kamis (30/9) dan berlangsung selama setahun penuh hingga 26 Desember 2022 dalam rangka menyambut perayaan seribu tahun tersebut. Dihandel oleh dua komunitas seni, yakni Perkumpulan Pelukis Baturulangun dan Komunitas Citra Kara.
Ketua Dekranasda Kabupaten Gianyar Ny Ida Ayu Surya Adnyani Mahayastra mengaku tertarik dengan kain tenun Cagcag Jati ini. Apalagi kondisinya nyaris punah dengan hanya tersisa satu perajin usia sepuh. "Bahwa di sini ada potensi kain tenun. Kondisinya hampir mirip dengan produksi di Pejeng Kangin. Ketika kita turun, hanya ada satu penenun. Kita ajak dialog, bahwa dulu juga eksis hampir semua warga bisa menenun untuk dijual ke pasar," jelasnya.
Sebelum dibangkitkan kembali, Dekranasda Gianyar terlebih dahulu bertanya kepada mantan penenun. "Mau gak kembali? Kalau mau, dikumpulkan lagi orang-orangnya. Ternyata di sana terkumpul hampir 100 orang, tidak hanya lansia banyak yang muda-muda," ujar Ny Adnyani. Barulah ketika sudah mulai ada gairah, Dekranasda membantu melalui CSR. "Kita buatkan program. Bantu 10 alat ke perajin, kemudian dilanjutkan dengan pelatihan, pewarnaan alam. Syukur sekarang produknya sudah go national. Sampai saat ini, setiap kali ada pameran kita ikut sertakan," jelasnya.
Ny Adnyani berharap langkah-langkah tersebut bisa juga diterapkan di Desa Batuan. "Tentu harus ada pembahasan lebih lanjut, terpenting adalah komitmen dari perajin itu sendiri," jelasnya. *nvi
1
Komentar