Biaya Ditanggung Banjar, Berlaku Sama bagi Semua Soroh dan Kasta
Krama adat Banjar Abian Kapas Kaja, Desa Pakraman Sumerta yang berjumlah 225 kepala keluarga (KK) dikenakan patus Rp 35.000 per KK jika ada krama meninggal dunia
Sistem Ngaben di Banjar Abian Kapas Kaja, Desa Pakraman Sumerta, Kecamatan Denpasar Timur
DENPASAR, NusaBali
Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya Ngaben di Banjar Abian Kapas Kaja, Desa Pakraman Sumerta, Kecamnatan Denpasar Timur sedikit beda dibanding tempat-tempat lainnya di Bali. Bukan hanya Ngaben Massal yang digelar secara gratis, bahkan keluarga yang menggelar Ngaben perorangan pun tidak keluar biaya. Sebab, seluruh biaya ditanggung pihak banjar. Ketentuan ‘gratis’ ini berlaku bagi semua soroh dan kasta.
Kelian Adat Banjar Abian Kapas Kaja, Drs I Nyoman Juana MSi, menyatakan ada sejumlah perbedaan sistem Ngaben di banjarnya dengan sistem Ngaben umumnya di Bali. Pertama, sistem Ngaben di Banjar Abian Kapas Kaja berbeda dari sisi pembiayaan. Biasanya, Ngaben perorangan di Bali mengharuskan pihak keluarga merogoh kocek lumayan besar. Namun, ini tidak berlaku di Abian Abian Kapas Kaja. Sebab, bila ada krama sebanjar yang meninggal, seluruh biaya upacara Ngaben perorangan di sini ditanggung pihak banjar.
Menurut Nyoman Juana, pihak keluarga duka yang melaksanakan upacara Ngaben perorangan bisa dikatakan tidak keluar uang sepeser pun. “Selain itu, keluarga duka juga tidak diwajibkan menyediakan makanan atau minuman kepada krama banjar, kerabat, atau tamiu (tamu) yang melayat,” ungkap Juana saat ditemui NusaBali di sela upacara Ngaben salah satu krama meninggal di Banjar Abian Kapas Kaja, Desa Pakraman Sumerta pada Buda Pon Watugunung, Rabu (18/1).
Perbedaan kedua Ngaben di Banjar Abian Kapas Kaja dengan Ngaben umumnya di Bali, menyangkut persiapan upakaranya. Di Bali umumnya, pembuatan sarana upakara Ngaben dilakukan di pekarangan rumah duka. Tapi, untuk persiapan Ngaben di Banjar Abian Kapas Kaja, dilakukan sepenuhnya di Bale Banjar.
“Baik banten maupun sarana penusangan (memandikan jenazah, Red) dibuat di Bale Banjar oleh krama banjar. Pihak keluarga duka diam saja di rumahnya, tanpa perlu menyiapkan apa-apa. Setelah sarana yang disiapkan krama banjar di Bale Banjar rampung, barulah dibawa ke rumah duka,” papar Juana.
Juana menyebutkan, persiapan upakara Ngaben sepenuhnya dilakukan di Bale Banjar, karena lahan pekarangan rumah krama sudah semakin sempit. Tak ada cukup lahan untuk kegiatan membuat persiapan upakara Ngaben di rumah keluarga duka.
Bukan hanya sarana dan prasarana upakara Ngaben yang dipersiapkan oleh pihak Banjar Abian Kapas Kaja. Sesari Ida Pedanda, Sesari Gong, hingga Sesari Upakara pun disiapkan pihak banjar. Bahkan, ada pemberian dana sebesar Rp 3 juta oleh pihak panjar, yang bisa dimanfaatkan untuk membuat atau membeli bade. “Dari keuntungan Warung Banjar, juga ada subsidi Rp 500.000 untuk menyewa kompor mayat. Jadi, Ngaben di sini sangat meringankan beban keluarga duka,” beber Juana.
Pihak banjar juga menyiapkan sebuah mobil Pick Up dan sebuah alat angkut roda empat yang bisa digunakan untuk mengarak bade dari rumah duka menuju Setra Desa Pakraman Sumerta. “Tak bisa kita pungkiri, zaman semakin modern. Apalagi, arus lalulintas di Jalan WR Supratman Denpasar (di mana Bale Banjar Abian Kapas Kaja berada, Red) cukup padat. Kalau masih menggunakan cara manual, akan menimbulkan kemacetan. Ketika pengarakan bade sudah memakai roda, akan lebih efektif dan efisien,” katanya.
“Bukan berarti dengan kemudahan ini, krama di banjar kami menjadi malas. Tidak, semangat menyama brya dan gotong royong itu tetap ada. Hanya, caranya saja yang kita permudah,” lanjut Juana, yang kesehariannya berprofesi sebagai dosen bidang studi Agama Hindu di Universitas Warmadewa.
Lantas, dari mana sumber dana untuk membiayai Ngaben di Banjar Aban Kapas Kaja? Menurut Juana, sumber dananya berasal dari peturunan (iuran) krama adat Banjar Abian Kapas Kaja yang berjumlah 225 kepala keluarga (KK). Setiap ada kematian, per KK setiap dikenakan iuran Rp 35.000. Iuran ini dalam istilah Bali sama dengan patus.
“Dulu patus di sini memang masih berupa beras, kain kasa, dan uang seikhlasnya. Tapi, seiring berjalannya waktu, patus ini diuangkan seharga beras dan isi patus lainnya. Meski demikian, saat ini beberapa krama yang mejenukan karena merasa iba, masih ada yang membawa sekadar gula dan kopi,” papar dosen jebolan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unud dan Program Pascasarjana Ilmu Agama & Budaya Unhi Denpasar ini.
Juana mengakui dari iuran Rp 35.000 per KK, akan terhimpun dana sekitar Rp 7,8 juta dan ini tidaklah cukup untuk membiayai upacara Ngaben secara keseluruhan. Nah, sisa kekurangan biayanya dikeluarkan melalui kas banjar. Pemasukan terbesar untuk kas banjar berasal dari retribusi para pemilik toko dan warung yang menyewa lahan di wilayah Banjar Abian Kapas Kaja.
Sistem Ngaben seperti ini, kata Juana, sudah mulai diterapkan di Banjar Abian Kapas Kaja sejak tahun 2004. Dan, Ngaben secara gratis bagi keluarga duka ini berlaku sama bagi semua krama banjar baik segala soroh, baik Tri Wangsa maupun krama biasa.
Juana mengisahkan, saat awal-awal penerapannya di tahun 2004, memang banyak pihak yang tidak setuju dengan sistem Ngaben seperti ini. “Pertama kali dicetuskan memang banyak pertimbangan. Hal itu biasa karena kita satu banjar pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Terutama, dikhawatirkan semangat menyama braya akan hilang, padahal tidak. Hanya tempat persiapannya saja yang dipindah, semangat menyama braya itu tetap ada,” kenang Juana.
Mengenai banten dan upakara, menurut Juana, dipakai tingkatan madya yaitu Ngaben Pranawa. Untuk persiapan sarana upakara Ngaben, dilakukan H-3. Dimulai dari krama lanang (laki-laki) membuat perlengkapan penusangan dan sebagainya, sementara krama istri (perempuan) membuat banten.
Khusus untuk krama istri, pembuatan banten dipercayakan kepada 16 orang serati banten. Hal ini diterapkan supaya pembuatan banten bisa efektif dan efisien. Makanya, 16 orang serati banten ini diberikan sedikit insentif, karena mereka sudah mempersiapkan banten Ngaben yang cukup rumit hanya dalam waktu 3 hari. “Per orang insentifnya berbeda-beda. Ada yang dapat Rp 125.000, ada pula Rp 150.000 per orang, tergantung keahliannya,” jelas Juana.
Menurut Juana, ide menggelar sistem Ngaben khsan Banjar Abian Kapas Kaja ini muncul karena rasa prihatin melihat krama yang kesulitan dalam melaksanakan upacara Ngaben akibat keterbatasan dana. “Dulu biaya Ngaben cukup besar. Ketika ada krama meninggal dunia, tidak langsung diabenkan, tapi hanya dikubur. Bahkan ada satu keluarga yang memiliki 4 sampai 5 sawa yang dikubur. Dari situ, muncul gagasan untuk meringankan biaya Ngaben bagi krama,” katanya.
Mengenai konsep kebersamaan yang diterapkan, juga berlaku untuk prajuru banjar. Jika di sebagian tempat di Bali, prajuru banjar mendapat luputan atau istilahnya kebebasan, beda halnya dengan di Banjar Abian Kapas Kaja. Juana mengatakan, prajuru di sini posisinya dengan krama banjar. “Kalau pengurus tidak datang rapat paruman kena dosan, sama dengan krama. Jadi tidak ada perbedaan di sini,” tandas Juana.
“Kita semua di sini sama, nggak ada perbedaan saya sebagai kelian dengan krama banjar. Dari ngayah hingga pepeson, juga sama. Di sinilah kita ingin memberikan motivasi kepada krama bahwa esensi dari ngayah itu sebenarnya adalah kebersamaan ini. Bukan berarti baru jadi pengurus, luput dari dedosan, bahkan mendapatkan sesuatu,” katanya. * nvi
Komentar