Drama Gong Jangan Sampai Lenyap
Perkembangan zaman dan teknologi yang kian pesat membuat apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisional kian berkurang.
Pesan Dramawan ‘Patih Anom’, AA Rai Kalam
SEMARAPURA, NusaBali
Sehingga berdampak terhadap keengganan para seniman untuk berkreasi, salah satunya seni Drama Gong. Hal ini diakui oleh seniman senior Drama Gong, Anak Agung Rai Kalam, asal Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung.
Mantan pemeran Patih Anom pada sejumlah drama gong ternama ini menjelaskan, di era modern ini hampir di setiap rumah memiliki TV, terlebih pentas kesenian sudah disiarkan langsung. Maka banyak masyrakat yang beranggapapan lebih baik menonton di rumah saja. Selain hemat tenaga, juga mengirit biaya untuk membayar tiket masuk. “Kalau penontonnya sepi otomatis senimannya enggan untuk pentas, karena kepuasan seniman terletak terhadap apresiasi dari masyarakat,” ujarnya, kepada NusaBali, Jumat (20/1).
Kata seniman senior berusia 77 tahun ini, spirit seniman Drama Gong baik yang sudah berpengalaman maupun bibit dari generasi memang tinggi. Untuk membakar semangat berkarya tersebut, pemerintah harus memberikan ruang kepada mereka secara berkesinambungan dalam even seni. Diantaranya, Pesta Kesenian Bali (PKB), festival di tingkat kabupaten/kota dan lainnya. “Meskipun tidak bisa pentas seperti dulu lagi, saya berharap kesenian Drama Gong ini tetap lestari,” harapnya.
Agung Rai Kalam sendiri saat ini terbentur faktor usia dan kondisinya sakit sejak beberapa waktu lalu, sehingga membatasi ruang geraknya. Kendati demikian dia masih tergabung sebagai pengurus Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Klungkung. Bahkan 2016 lalu dia masih bisa memberikan pembinaan terhadap duta Drama Gong dari Gumi Serombotan ini, sebelum tampil dalam even PKB. “Saya tetap paksakan agar bisa berbagi ilmu dan pengalaman, namun dari panitia yang antar-jemput saya, untuk datang ke tempat latihan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Agung Rai Kalam mengisahkan, perjalanannya sebagai pemain Drama Gong dimulai sejak 1967. Sejatinya ketika itu dia tidak memiliki kemampuan atau bakat menari. Namun karena adanya keperluan masyarakat akan hiburan tinggi, maka timbul semangatnya untuk berkarya. Disamping itu, lewat pementasan drama tersebut banyak warga yang merasa terhibur, terutama yang mengalami trauma pasca peristiwa G-30S/PKI. “Saya kali pertama pentas di Bencingah Puri Satria Kawan, bersama sejumlah kru, saat itu saya langsung menjadi pembina,” terangnya.
Pementasan tersebut mulai dikenal di masyarakat khususnya di Klungkung, selanjutnya tahun 1970 Listibiya Provinsi Bali, Majelis Pembina dan pertimbangan kebudayaan mengadakan festival Drama Gong se-Bali. Klungkung diwakili oleh kru besutan dari Agung Rai Kalam. Dia berperan sebagai patih anom. Seiring berjalannya waktu persaingan Drama Gong makin ramai dan makin ketat. “Begitupula saat itu eksistensi Drama Gong memang sempat pasang-surut,” katanya.
Agung Rai Kalam juga berhasil memperoleh sejumlah penghargaanya sebagai seniman. Diantaranya, Piagam Aji Sewaka Nugraha, dari Pemkab Klungkung. Penghargaan pembinaan dan pengembangan Drama Gong, dari Pemkab Klungkung. Penghargaan sebagai Seniman Tua dari Pemprov Bali. Piagam Dharma Kusuma dari Pemda Bali. “Untuk melestarikan Drama Gong di era modern ini, harus disesuaikan dengan selera masyarakat, tetapi jangan sampai terlepas dari pakem-pakem Drama Gong itu sendiri,” pungkasnya.
Saat NusaBali berkunjung ke kediamannya di Pura Satria Kawan, sekitar pukul 10.00 Wita, dia nampak letih karena sakit dan duduk di kursi. Selama sakit kerabat dan para rekannya sesama seniman memang sempat beberapa kali menjenguknya. “Kalau pejabat memang ada menjenguk saat saya opname di RSUD Klungkung, termasuk Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta,” pungkasnya. * wa
Komentar