Memilih Guru pada Usia Dini
Anak usia dini merupakan aset insani masa depan. Di samping orangtua, mereka memiliki kesempatan diasuh dan dididik dalam satu lembaga.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Sebut salah satunya, tempat pengasuhan anak (TPA) atau kelompok bermain. Mereka dipilihkan orangtua berdasarkan atas kemampuan sosial dan ekonomi keluarga. Anak tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Mungkin, ketidakbebasannya dikarenakan faktor usia yang relatif amat muda. Atau, orangtuanya tidak mampu secara ekonomi. Lembaga-lembaga yang baik biasanya mahal dan sangat mahal bagi orangtua miskin materi, walau kaya rohani.
Anak usia dini tidak gayut dengan tradisi keagamaan di Bali. Khususnya, saat ‘sang sisia’ (murid) menentukan ‘sang nabe’ (guru). Kriteria yang digunakan, misalnya ada suatu pertalian darah. Pertalian darah sering dikaitkan dengan genus sama. Dengan genus sama, vibrasi kesucian lebih kuat tersalur. Kadangpula, pemilihan ‘sang nabe’ dikaitkan secara historis. Hubungan historis antara guru dan murid menjalin kesamaan mashab. Misalnya, soroh B akan mencari B, demikian juga soroh P akan lebih cocok dengan P, dan seterusnya. Simpulannya, ‘sang sisia’ mempertimbangkan banyak hal ketika menentukan ‘sang nabe’. Sebaliknya, ‘sang nabe’ akan mempertimbangkan permohonan ‘calon sisia’ secara teliti. Tradisi ini mengajarkan tentang ketelitian dalam menentukan kesempurnaan ‘sang sisia’.
Apabila telah ada kesepahaman dan kemantapan keluarga, maka ‘sang calon sisia’ akan diperkenalkan pada etika utama. Dalam Cilakrama, ada kutipan, yaitu, nihan ta cilakramaning aguron-aguron, haywa tan bhakti ring guru, haywa himaniman, haywa tan cakti ring sang guru, hyawa tan sadhu tuhwa, haywa nikelana sapatuduhing sang guru, haywangideki wayangan sang guru, haywanglungguhi palungguhing sang guru. Artinya, ‘sang sisia’ seharusnya mentaati tata tertib, berbakti pada guru, hormat pada guru, tidak segan kepada guru, bersikap tulus dan ikhlas, tidak menentang perintah guru, jangan menginjak bayangan guru, atau jangan menduduki tempat duduk guru.
Anak usia dini tidak seperti ‘sang sisia’. Mereka umumnya hanya memperoleh lembaga tempat mereka diasuh, disemaikan atau ditingkatkan perkembangannya. Anak pada usia dini mulai diasuh, dilatih, dan dikembangkan oleh pendidik atau pengasuh yang kurang profesional dan proporsional. Kekurang-profesional itu dikarenakan rendahnya kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap para pendidik atau pengasuh. Anak usia dini tidak jarang terjerembab dalam situasi yang kurang mendidik. Mereka kadang dilatih mentaati aturan makan, minum atau berperilaku atas dasar boleh atau tidak boleh. Anak usia dini tidak pernah dilatih berpikir kritis (critical thinking) sejak dini. Mereka diwajibkan mematuhi aturan secara ketat. Asasnya sederhana, yaitu, yang melanggar dihukum dan yang mematuhi diberi hadiah?
Marilah kita membandingkan pantangan makan atau minum bagi seorang vegetarian. Seorang vegetarian pantang makan daging. Mereka dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang tumbuh di atas tanah. Demikian pula soal minuman, kehadiran berjudi, tata cara berteduh, tata cara menempati rumah, melakukan jual-beli, atau berutang, Aturan demikian akan menyehatkan pertumbuhan jiwa dan raga. Apabila anjuran tersebut dilanggar, maka efek negatif tidak bisa dihindari.
Aturan dalam dunia anak usia dini sering tidak ditanamkan sebagai ‘brata’ (tapa). Kenyataannya, aturan-aturan itu dipandang seolah-olah sebagai tata krama mutlak. Artinya, pelanggaran aturan harus dihukum, sebaliknya pemenuhan aturan diberi ganjaran positif. Kapan lagi anak usia dini dilatih memaknai pemenuhan terhadap aturan sebagai bagian pembersihan diri? Pembersihan diri tidak sebatas mandi, berpakaian bersih, tertib berkata, dan berperilaku. Oleh karena itu, hubungan guru dengan murid dikembangkan sebagai tata krama yang mendorong seseorang berkeyakinan untuk menjadi teladan. Semoga. *
1
Komentar