Penting Mereharmoni Desa Adat - Dinas
2 Tahun Lebih Perda No : 4/2019 tentang Desa Adat
Dua desa ini meski diposisikan saling melengkapi dan berdampingan, satu dengan yang lain, tanpa saling menghegemoni.
DESA adat di Bali telah memiliki landasan legal formal berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Perda ini memberikan ruang eksplorasi lebih luas bagi desa adat untuk mengembangkan segenap potensi desa adat. Dengan itu, desa adat tak hanya mengembangkan potensi secara sepihak.
Desa adat juga dapat menjalin kerja sama dengan pihak lain, hampir dalam segala bidang. Antara lain, bidang ekonomi, pembangunan kawasan perdesaan desa adat, maupun lainnya. Desa adat bisa bekerja sama dengan desa adat lain, desa dinas/kelurahan, pemerintah lebih atas, dan pihak lainnya. Desa adat dapat melakukan kegiatan ekonomi tak hanya dalam sektor keuangan berupa LPD (Labda Pacingkreman Desa), namun juga bisa menjamah sektor riil berupa Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (Bupda).
Bupda ini bisa berupa toko modern, mendirikan dan mengelola pendidikan formal dan nonformal berbasis agama Hindu. Bentuknya, bisa pasraman sesuai kearifan lokal Bali dan baga utsaha lain. Bahkan khusus model pendidikan yang dikelola oleh desa adat, sebagaimana amanat Perda itu, desa adat bisa mendapatkan bantuan dana dari APBN. Ketentuan ini diatur dengan Permenag No 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu.
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat dari Kemendes RI di Provisdi Bali Jro Mangku Kadek Suardika mengaku sangat menyambut positip keleluasaan ruang eksplorasi pengembangan potensi oleh desa adat. Dengan itu, desa adat akan lebih terbuka berkiprah, namun tetap didasari tatanan Tri Hita Karana, dan sistem kearifan lokal desa adat atau Hindu Bali umumnya. ‘’Tapi keleluasaan pengembangan potensi desa adat tersebut meski tetap mengacu pada prinsip dualitas desa. Yakni, keharmonisan gerak antara desa adat dan desa dinas,’’ ujar pamangku asal Banjar Seseh, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati ini.
Mantan Koordinator Pendamping Desa Provinsi Bali periode 2015 – 2020 ini menegaskan, prinsip dualitas desa tersebut berangkat dari upaya sistematis untuk menempatkan posisi desa adat dan desa dinas secara egaliter dan harmonis berazaskan keadilan berdesa. Prinsip ini pula lebih menjamin gerak pembangunan desa dengan kesetimbangan instrumen dua basis, adat dan dinas. Dua desa ini meski diposisikan saling melengkapi dan berdampingan, satu dengan yang lain tanpa saling menghegemoni. Praktik hegemoni atau cengkeraman penguasaan suatu bidang secara masif dan terselubung muncul, tak kala antara satu dengan yang lain merasa paling berwenang bahkan berkuasa. ‘’Rasa ingin berkuasa ini lah sepatutnya dihindari.’’ Jelasnya.
Mangku Kadek menyebut, titik utama yang ingin dicapai atas keberdampingan dua model desa itu, tiada lain terwujudnya kemandirian desa menuju kesejahteraan masyarakat. Dengan itu, desa (desa adat dan dinas) tak hanya leluasa dalam merencanakan pembangunan. Dua desa ini secara berdampingan juga akan makin piawai menrencna, menyusun dan mengeksekusi program, mengevaluasi. Dua desa ini akan bergotongroyong merevitalisasi rencana secara terpadu yang dilandasi output dan outcome yang berkemajuan.
Mangku Kadek mewanti-wanti sedemikian pentingnya krama dan prajuru desa adat dan pemerintahan desa dinas mewujudkan keharmonisan desa. Dirinya sejak lama mendengungkan, bahkan terkesan fanatik untuk menekankan prinsip dualitas desa dalam membangun kesatuan gerak menuju desa mandiri. Jauh lebih penting lagi, keberdampingan dua desa ini dapat menjadi praktik inti bagi masyarakat yang tak hanya sukses berdesa. Harmoni berdesa juga makin menjadi menu nyata dalam menjaga praktik berbangsa, menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), menjunjung kebhinekaan, dan menjaga kedaulatan negara dari desa.
Mangku khawatir jika dualitas desa tak didudukkan secara arif, sebagaimana kenyataan di lapangan. Desa adat yang sedapat mungkin lebih leluasa mengembangkan diri, malah berbalik menjadi objek eksplorasi yang cenderung terbebani. Kondisi ini tak dipungkiri karena desa adat rentan dimasuki kepentingan non adat yang ‘berjubah’ desa adat dan agama Hindu Bali. Tak mustahil, desa adat makin terbebani di tengah banyak peraturan yang pendisplinannya lebeih dipercayakan kepada krama dengan memporsir tatanan lembaga desa adat.
‘’Saya pikir, misal, dalam hal menegakkan ketertiban umum di desa yang berkaitan dengan tupoksi desa dinas, tak semuanya harus dibebankan kepada desa adat, misal kepada pecalang. Desa pasti punya Hansip atau sistem keamanan swakarsa,’’ ujarnya. Dirinya pun menangkap kesan sering terjadi kerancuan bahwa desa adat mempraktikkan tugas kedinasan, sebaliknya desa dinas melakukan tindakan keadatan.
Mangku Kadek mengaku kurang sependapat antara desa adat dan desa dinas didudukkan dalam posisi dualisme. Karena pembedaan isme atau paham itu tak hanya berarti berbeda dalam substansi berdesa, namun juga dikhotomis dalam arti rentan berbenturan dan dibenturkan, antara satu dengan yang lain. Posisi dikhotomis ini bukan hal mustahil, bahkan amat sering terjadi dalam praktik-praktik berdesa di Bali. Kenyataan yang dirasakan warga desa, misalnya tentang politik kepartaian yang menjadi ranah kedinasan, malah masuk ke wilayah banjar atau desa adat, bahkan pura. ‘’Dampaknya, antara lain, warga banjar atau desa adat terseret-seret dan menjadi objek kepentingan politik partai tertentu. Desa adat selaku penyangga kesucian parhyangan, berbalik makin profan,’’ jelas pelaku pemberdayaan desa kelahiran 14 November 1967 ini.
Mangku Kadek menyebut contoh. Kata dia, prinsip dualitas desa ini dapat dipraktikkan dalam hal penanganan sampah di desa. Pembangunan TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle), misalnya. Debut desa membangun TPS3R belakangan ini jadi trend. Seyogyanya, TPS ini dirancang, digerakkan, dan dievalausi secara terpadu oleh komponen desa dinas dan desa adat. Dengan kematangan rencana, maka konsep kerja TPS ini akan lebih jelas. Karena penanganan sampah tak cukup hanya berpikir mekanis, seperti mesin yang mengolah sampah, lanjut sampah jadi pupuk dan sampah non organik jadi barang yang dijual ke pemulung. Dengan konsep matang maka pengelolaan TPS3R akan masuk pada satu kesatuan ekosistem pengelolaan secara terpadu. ‘’Artinya, jika sampah sudah jadi pupuk, pupuknya dibawa kemana. Siapa yang akan memakai atau membeli. Oleh karena itu, TPS3R yang digencarkan ini tak boleh hanya dipandang ‘oh ini proyek,’’ beber jebolan IPB (Institut Pertanian Bogor), Jawa Barat tahun 1992 ini.
Sebagaimana diketahui, Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali sudah resmi diketok palu dalam sidang paripurna DPRD Bali, 2 April 2019 lalu. Prasasti pemberlakuan Perda Desa Adat ini ditandatangani Gubernur Bali Wayan Koster dalam paruman di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Adat Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, pada Anggara Kliwon Kulantir, Selasa (4/6/2019).*lsa
1
Komentar