Kritik Seni di Bali
KUN Adnyana membedah buku karya Hardiman di Taman Budaya Denpasar, Rabu (25/11). Mereka berdua dosen, Kun di ISI Denpasar, Hardiman di Undiksha Singaraja. Yang dibedah buku berjudul ‘Eksplo(ra)si Tubuh, Esai-esai Kuratorial Seni Rupa’ setebal 316 halaman, memuat 55 esai yang pernah menjadi pengantar pameran puluhan perupa di berbagai galeri seni di Tanah Air dan manca negara, dalam rentang 2004-2015.
Aryantha Soethama
Pengarang
Buku ini tentu bukan sembarang buku, sehingga memperoleh penghargaan Widya Pataka dari Pemprov Bali tahun ini. Tak keliru jika Kun berulang-ulang memuji, dan menyebut-nyebut sebagai buku yang tak cuma sebagai kajian seni, tapi juga karya yang menyuguhkan penelusuran sejarah seni rupa. Buku yang pantas ditelaah bagi siapa saja yang berniat sungguh-sungguh belajar menulis kritik seni rupa.
Pasti banyak hal menarik yang bisa disimak dari buku yang bagus. Misalnya, pandangan Kun tentang kritikus seni rupa itu makhluk langka. “Di Bali, jumlahnya tak sampai sepuluh orang,” ujar Kun sembari menyebut beberapa nama. Seorang peserta bertanya, mengapa sedikit sekali kritikus seni rupa yang muncul? Bukankah perguruan tinggi seni dengan tekun dan serius mengajarkan kritik seni? Adakah yang salah dalam pembelajaran kritik seni kita?
Hardiman menanggapi kegelisahan ini dengan menjelaskan, “Menjadi kritikus seni itu susah. Jika kita mengkritik, yang dikritik marah. Jika kita menulis yang bagus-bagus, seniman yang tidak kita tulis kesal, karena mengapa si kritikus cuma menulis perupa itu saja.” Kun dan Hardiman juga mengungkapkan, menjadi kritikus seni tak menjamin kelangsungan ekonomi hidup. Si kritikus harus punya pekerjaan pokok. “Pekerjaan utama saya melukis,” ujar Kun, “Menulis kritik seni itu sampingan.”
Tapi, benarkah kita miskin kritik seni? Bali, yang dirubung berbagai kegiatan berkesenian, seperti apa kritik seni itu berlangsung? Apakah Bali memang punya kritik seni? Zaman dulu, ketika pelajaran kritik seni tidak diajarkan secara formal di bangku kuliah, seperti apa kritik seni itu mewujud?
Jangan-jangan orang Bali tidak mengenal kritik seni, tahunya mereka cuma berkarya. Jika kritik seni tidak dikenal di Bali, bagaimana mungkin karya-karya seni itu tumbuh menggairahkan dan anggun? Siapa orang-orang yang mengingatkan satu takikan kayu bagus, dan yang lain buruk? Siapa yang menuntun para penikmat seni, bahwa satu kanvas indah dan yang lain belepotan?
Atau, bisa jadi semua orang Bali itu penikmat seni dan juga kritikus. Seperti yang sering didengung-dengungkan, semua orang Bali itu seniman. Mungkin itu sebabnya, karena tak ada orang Bali yang khusus sebagai kritikus, jadilah semuanya kritikus seni. Sebuah karya dengan cepat diserap, diapresiasi, untuk kemudian segera diterima atau ditolak.
Sering disebut-sebut, kritikus itu jembatan antara ciptaan seniman dengan penikmatnya. Bagi orang Bali, bisa saja jembatan itu tidak mereka butuhkan, karena memang tidak pernah ada yang membelah karya seni itu dengan mereka. Antara seni dan penikmatnya tak pernah ada jurang, celah pun tidak. Antara orang Bali dengan seni begitu menyatu, sehingga tak satu pun seni yang tidak mereka pahami. Semua dimengerti, sehingga dengan mudah mereka hayati.
Orang Bali mengenal kritik seni dari mereka yang berpendidikan formal. Jika kritikus seni berpendapat, dan orang Bali mendengarnya, sering kali mereka tidak paham. Artinya, antara berperilaku dalam berkesenian mereka nilai tidak nyambung dengan yang dikritikkan. Karena itu seniman dan penikmat seni tradisi di Bali, menganggap seni yang diwariskan turun temurun kebal dari kritik. Hanya seni modern beserta perangkatnya yang mengenal gugatan.
Selanjutnya...
Komentar