Tiap Tahun 1.568 Hektare Lahan Pertanian Lenyap di Bali
BPPT Kementan Dorong Maksimalisasi Teknologi Pertanian
DENPASAR, NusaBali
Wacana transformasi ekonomi Bali agar tidak andalkan sektor pariwisata saja, tapi juga sektor industri dan pertanian alami banyak tantangan.
Data terbaru diungkap Kepala BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) UPT Bali, Kementerian Pertanian RI, I Made Rai Yasa, dalam pertemuan dengan Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali membidangi pertanahan dan agraria, Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra di rumah Aspirasi Amatra, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Selasa (12/10). Terungkap sebanyak 1.568 hektare sawah berkurang tiap tahun di Bali, sehingga mengancam wacana penyeimbangan perekonomian Bali ke depan.
Rai Yasa mengatakan pada tahun 1970 luas lahan pertanian di Bali mencapai 150.000 hektare. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata dan pembangunan di Bali, lahan pertanian saat ini masih tersisa 70.000 hektare. Jika dihitung tiap tahun sekitar 1.568 hektare lahan pertanian lenyap di Bali. Penyebab utamanya karena alih fungsi lahan. "Lahan pertanian di Bali saat ini tersisa tinggal 70.000 hektare. Ini menjadi persoalan juga bagi sektor pertanian kita," ujar Rai Yasa.
Dengan kondisi lahan pertanian yang semakin menipis ini, menurut Rai Yasa harus ada solusi, yakni memanfaatkan atau menerapkan teknologi pertanian, sehingga petani tidak lagi hanya membutuhkan pangan segitu-segitu saja. Petani tidak hanya bisa berproduksi hanya cukup untuk kebutuhan makan, namun mampu meningkatkan perekonomian petani Bali. "Penerapan teknologi pertanian ini harus mampu meningkatkan produksi petani yang mampu meningkatkan penghasilan petani, sehingga petani di Bali, generasi di Bali berminat untuk menjadi petani," ujar pria asal Desa Munggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung ini.
Salah satu pemanfaatan teknologi pertanian, yakni pengembangan padi khusus. Seperti padi yang menghasilkan beras merah, beras hitam, pengembangan produk pertanian sebagai komoditi unggulan seperti manggis, kakao, dan komoditi unggulan lainnnya untuk ekspor. "Bertani dengan teknologi pertanian ini mengangkat taraf hidup petani. Tidak hanya bertani dengan penghasilan pas-pasan," ujar Rai Yasa.
Ketika ditanya tidak adanya regulasi yang tegas mencegah penjualan tanah pertanian produktif yang marak di Bali, Rai Yasa mengatakan sepenuhnya menjadi kewenangan DPR RI dan lembaga terkait dalam menyusun regulasi. Saat ini di sejumlah kabupaten/kota lahan pertanian yang selama ini mampu berproduksi melimpah sudah banyak yang beralih fungsi.
Sementara Anggota Komisi II DPR RI, Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra alias Gus Adhi mengatakan berkurangnya lahan pertanian di Bali akibat penjualan lahan pertanian yang marak untuk kepentingan pemukiman bisa saja dicegah dengan membuat regulasi yang ketat. Namun, akan lebih tepat pemanfaatan teknologi pertanian digenjot.
"Kalau dilakukan pengujian terbalik, fenomena masyarakat atau petani menjual lahan mereka karena hasil bertani tidak mampu mengangkat taraf hidup dan perekonomian mereka. Artinya nanam padi cukup hanya untuk makan saja. Untuk kebutuhan sekolah anak dan lain sebagainya tidak cukup. Saya akan mendorong pemanfaatan teknologi pertanian ini untuk para petani kita di Bali," ujar mantan Anggota Komisi IV DPR RI membidangi pertanian, kelautan dan kehutanan ini.
Sehingga kata Gus Adhi, dengan teknologi pertanian, produksi petani lebih maksimal. Kalau petani selama ini hanya bisa panen 3 bulan sekali dengan menanam padi biasa, ke depan harus bisa panen 3 bulan sekali dengan jenis padi unggulan.
"Misalnya jenis padi kualitas khusus menghasilkan beras merah dan beras hitam itu bisa panen 3 bulan sekali. Dengan lahan 1 hektare mampu menghasilkan pendapatan Rp 90 juta sampai Rp 100 juta. Jauh bila dibandingkan dengan menanam padi biasa dengan luas 1 hektare hanya mampu menghasilkan antara Rp 30 juta sampai Rp 36 juta," ujar Gus Adhi. *nat
1
Komentar