Desa Adat Pakudui Ratakan Bangunan di Tanah Sengketa dengan Alat Berat
Pasca Menangkan Gugatan Tanah Pelaba Pura Puseh Desa Adat Pakudui, Kecamatan Tegallalang
Saat bangunan miliknya dirobohkan dan diratakan dengan alat berat, Rabu kemarin, krama Tempek Pakudui Kangin berjumlah 44 KK pilih siaga di depan rumah masing-masing.
GIANYAR, NusaBali
Sengketa gugatan tanah pelaba Pura Puseh Desa Adat Pakudui, Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, Gianyar yang bergulir sejak tahun 2007, memasuki babak akhir. Gugatan dimenangkan oleh Desa Adat Pakudui atas krama Tempek Pakudui Kangin yang jumlahnya mencapai 44 kepala keluarga (KK). Setelah menangkan gugatan, Desa Adat Pakudui bergerak cepat melakukan eksekusi: membongkar dan meratakan bangunan di atas lahan sengketa seluas 2,5 hektare dengan alat berat, Rabu (13/10).
Sebuah alat berat excavator dikerahkan untuk meratakan belasan bangunan kios yang sebelumnya dikuasai krama Tempek Pakudui Kangin, Desa Kedisan sejak tahun 1990-an. Sebelum eksekusi, krama Desa Adat Pakudui lebih dulu membakar seisi arena swing (wisata ayunan) yang sempat dikelola Tempek Pakudui Kangin, Selasa (12/10) malam.
Selain mengerahkan alat berat, ratusan krama Desa Adat Pakudui yang berpakaian adat dengan ciri khas memakai ikat kepala merah, juga ikut meruntuhkan puing-puing bangunan di atas lahan sengketa. Mereka bergerak dengan senjata linggis hingga palu ukuran besar.
Saat eksekusi dilakukan, Rabu kemarin, krama Tempek Pakudui Kangin memilih untuk siaga di depan rumahnya masing-masing. Mereka juga tampak mengenakan pakaian adat di jalan menuju Pura Puseh Pakudui. Eksekusi tanah sengketa kemarin dijaga petugas kepolisian.
Bendesa Adat Pakudui, I Ketut Karma Jaya, mengatakan pengosongan dan pembongkaran bangunan di atas tanah sengketa dilakukan berdasarkan Surat Putusan PN Gianyar tanggal 19 September 2012 Nomor 09/PDT. G/2012/PN Gir, yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan berita acara perkara eksekusi tanggal 7 Desember 2020 tentang pelaksanaan putusan eksekusi dan sesuai kesepakatan krama Desa Adat Pakudui tanggal 29 Juli 2021, diputuskan untuk melakukan penataan lokasi tersebut.
Menurut Wayan Karma Jaya, tanah pelaba pura yang sudah dikosongkan pasca eksekusi kemarin akan segera dilakukan penataan. "Dasar penataan, sudah ada putusan Mahkamah Agung. Kita pakai dasar menata desa adat," jelas Karma Jaya.
Sedangkan Kepala Dusun (Kadus) Banjar Pakudui Kawan, I Wayan Puaka, mengatakan pembongkaran bangunan dengan alat berat di atas tanah sengketa akhirnya dilakukan, karena pihak lawan yakni Tempek Pakudui Kangin tidak memanfaatkan kelonggaran waktu yang telah diberikan. Menurut Wayan Puaka, Tempek Pakudui Kangin sebelumnya diberi waktu 10 hari untuk mengosongkan lahan sengketa dan membongkar sendiri bangunannya tersebut.
Namun, dalam jangka waktu 10 hari tersebut, pihak Tempak Pakudui Kangin tidak kunjung melakukan pengosongan dan pembongkaran bangunan, sehingga Desa Adat Pakudui bergerak. "Di sini ada sekitar 13 unit bangunan, dengan ukuran bervariasi mulai dari 3 meter x 3 meter, 6 meter x 4 meter, hingga 6 meter x 5 meter. Kalau luas lahan sengketa totalnya 2,5 hektare, tersebar di beberapa titik,” papar Wayan Puaka.
Bangunan yang dibongkar tersebut, kata Wayan Puaka, merupakan kios yang sebelumnya dipakai berjualan mencari nafkah oleh krama Tempek Pakudui Kangin. "Sekarang akan kami tata lahan ini. Nanti kami akan membikin sebuah perusahaan desa adat milik bersama. Bentuknya bisa badan usaha milik desa adat, terserah nanti bendesa adat yang akan mengelola," katanya.
Wayan Puaka menyebutkan, sebelum eksekusi dilakukan, pihaknya sudah 3 kali melayangkan surat peringatan atau somasi kepada Tempek Pakudui Kangin, namun tidak digubris. "Pada somasi ketiga, barulah dijawab. Tapi, kami tetap mengacu pada putusan pengadilan yang sudah inkrah," tegas Wayan Puaka.
Terkait antisipasi kemungkinan adanya perlawanan fisik dari pihak Tempek Pakudui Kangin, menurut Puaka, pihaknya tidak bisa memprediksi. "Kami tidak pernah mencurigai orang itu akan begini atau begitu," kilah Wayan Puaka.
Disinggung soal ikat kepala warna merah yang dikenakan krama saat eksekusi tanah sengketa kemarin, menurut Wayan Puaka, simbol tersebut sebagai penanda kubu desa adat. "Kami mengantisipasi kedatangan mereka (kubu Tempek Pakudui Kangin), biar tidak terkecoh. Kami beri warga kami selendang ini untuk memperjelas siapa yang memprovokasi jika terjadi sesuatu.”
Terkait adanya wacana akan merangkul kembali 44 KK krama Tempek Pakudui Kangin menjadi satu kesatuan Desa Adat Pakudui, Wayan Puaka mengaku hal itu belum final. "Sebenarnya tidak begitu. Kami memang mengajak mereka untuk bersatu, tapi mereka tidak pernah menyatakan mau atau tidak," jelasnya.
Ditemui secara terpisah, Rabu kemarin, perwakilan krama Tempek Pakudui Kangin, I Wayan Subawa, mengakui pihaknya akan menunggu petunjuk Tim Asistensi Pemkab Gianyar untuk menyikapi masalah eksekusi tanah sengketa ini. Pasalnya, pembongkaran bangunan menggunakan alat berat sudah di luar kesepakatan sebelumnya.
"Memang seminggu yang lalu dikasi batas waktu pengosongan lahan. Tapi, merujuk pada kesepakatan damai sebelumnya, kita dalam posisi masih berharap," dalih Wayan Subawa.
Menurut Subawa, kesepakatan damai sebelumnya yang berisi 8 butir intinya menyatakan akan dilakukan revisi awig-awig terlebih dulu, sebelum pengosongan maupun pembongkaran objek di atas tanah sengketa. Namun kenyataannya, awig-awig belum direvisi, sudah dilakukan eksekusi.
"Eksekusi sudah dilaksanakan, kita mau apa? Karena kalau kita melewati batasan-batasan, rasanya kurang elok, bertentangan dengan butir butir yang sudah dicantumkan dalam surat kesepakatan sebelumnya. Maka, nanti seperti apa, biarlah tim asistensi yang mengkaji lebih dalam," tandas Subawa.
Subawa mengisahkan, krama Pakudui Kangin sudah memanfaatkan tanah laba Pura Puseh sejak tahun 1990-an. Di situ dibangun kios yang hasilnya dipakai untuk kepentingan pura. "Kalau kios dimanfaatkan perorangan, tapi kalau swing (mainan ayunan) itu dikelola semua krama Tempek Pakudui Kangin berjumlah 44 KK," terang tokoh yang juga Penyarikan Pura Puseh Pakudui ini. *nvi
Sebuah alat berat excavator dikerahkan untuk meratakan belasan bangunan kios yang sebelumnya dikuasai krama Tempek Pakudui Kangin, Desa Kedisan sejak tahun 1990-an. Sebelum eksekusi, krama Desa Adat Pakudui lebih dulu membakar seisi arena swing (wisata ayunan) yang sempat dikelola Tempek Pakudui Kangin, Selasa (12/10) malam.
Selain mengerahkan alat berat, ratusan krama Desa Adat Pakudui yang berpakaian adat dengan ciri khas memakai ikat kepala merah, juga ikut meruntuhkan puing-puing bangunan di atas lahan sengketa. Mereka bergerak dengan senjata linggis hingga palu ukuran besar.
Saat eksekusi dilakukan, Rabu kemarin, krama Tempek Pakudui Kangin memilih untuk siaga di depan rumahnya masing-masing. Mereka juga tampak mengenakan pakaian adat di jalan menuju Pura Puseh Pakudui. Eksekusi tanah sengketa kemarin dijaga petugas kepolisian.
Bendesa Adat Pakudui, I Ketut Karma Jaya, mengatakan pengosongan dan pembongkaran bangunan di atas tanah sengketa dilakukan berdasarkan Surat Putusan PN Gianyar tanggal 19 September 2012 Nomor 09/PDT. G/2012/PN Gir, yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan berita acara perkara eksekusi tanggal 7 Desember 2020 tentang pelaksanaan putusan eksekusi dan sesuai kesepakatan krama Desa Adat Pakudui tanggal 29 Juli 2021, diputuskan untuk melakukan penataan lokasi tersebut.
Menurut Wayan Karma Jaya, tanah pelaba pura yang sudah dikosongkan pasca eksekusi kemarin akan segera dilakukan penataan. "Dasar penataan, sudah ada putusan Mahkamah Agung. Kita pakai dasar menata desa adat," jelas Karma Jaya.
Sedangkan Kepala Dusun (Kadus) Banjar Pakudui Kawan, I Wayan Puaka, mengatakan pembongkaran bangunan dengan alat berat di atas tanah sengketa akhirnya dilakukan, karena pihak lawan yakni Tempek Pakudui Kangin tidak memanfaatkan kelonggaran waktu yang telah diberikan. Menurut Wayan Puaka, Tempek Pakudui Kangin sebelumnya diberi waktu 10 hari untuk mengosongkan lahan sengketa dan membongkar sendiri bangunannya tersebut.
Namun, dalam jangka waktu 10 hari tersebut, pihak Tempak Pakudui Kangin tidak kunjung melakukan pengosongan dan pembongkaran bangunan, sehingga Desa Adat Pakudui bergerak. "Di sini ada sekitar 13 unit bangunan, dengan ukuran bervariasi mulai dari 3 meter x 3 meter, 6 meter x 4 meter, hingga 6 meter x 5 meter. Kalau luas lahan sengketa totalnya 2,5 hektare, tersebar di beberapa titik,” papar Wayan Puaka.
Bangunan yang dibongkar tersebut, kata Wayan Puaka, merupakan kios yang sebelumnya dipakai berjualan mencari nafkah oleh krama Tempek Pakudui Kangin. "Sekarang akan kami tata lahan ini. Nanti kami akan membikin sebuah perusahaan desa adat milik bersama. Bentuknya bisa badan usaha milik desa adat, terserah nanti bendesa adat yang akan mengelola," katanya.
Wayan Puaka menyebutkan, sebelum eksekusi dilakukan, pihaknya sudah 3 kali melayangkan surat peringatan atau somasi kepada Tempek Pakudui Kangin, namun tidak digubris. "Pada somasi ketiga, barulah dijawab. Tapi, kami tetap mengacu pada putusan pengadilan yang sudah inkrah," tegas Wayan Puaka.
Terkait antisipasi kemungkinan adanya perlawanan fisik dari pihak Tempek Pakudui Kangin, menurut Puaka, pihaknya tidak bisa memprediksi. "Kami tidak pernah mencurigai orang itu akan begini atau begitu," kilah Wayan Puaka.
Disinggung soal ikat kepala warna merah yang dikenakan krama saat eksekusi tanah sengketa kemarin, menurut Wayan Puaka, simbol tersebut sebagai penanda kubu desa adat. "Kami mengantisipasi kedatangan mereka (kubu Tempek Pakudui Kangin), biar tidak terkecoh. Kami beri warga kami selendang ini untuk memperjelas siapa yang memprovokasi jika terjadi sesuatu.”
Terkait adanya wacana akan merangkul kembali 44 KK krama Tempek Pakudui Kangin menjadi satu kesatuan Desa Adat Pakudui, Wayan Puaka mengaku hal itu belum final. "Sebenarnya tidak begitu. Kami memang mengajak mereka untuk bersatu, tapi mereka tidak pernah menyatakan mau atau tidak," jelasnya.
Ditemui secara terpisah, Rabu kemarin, perwakilan krama Tempek Pakudui Kangin, I Wayan Subawa, mengakui pihaknya akan menunggu petunjuk Tim Asistensi Pemkab Gianyar untuk menyikapi masalah eksekusi tanah sengketa ini. Pasalnya, pembongkaran bangunan menggunakan alat berat sudah di luar kesepakatan sebelumnya.
"Memang seminggu yang lalu dikasi batas waktu pengosongan lahan. Tapi, merujuk pada kesepakatan damai sebelumnya, kita dalam posisi masih berharap," dalih Wayan Subawa.
Menurut Subawa, kesepakatan damai sebelumnya yang berisi 8 butir intinya menyatakan akan dilakukan revisi awig-awig terlebih dulu, sebelum pengosongan maupun pembongkaran objek di atas tanah sengketa. Namun kenyataannya, awig-awig belum direvisi, sudah dilakukan eksekusi.
"Eksekusi sudah dilaksanakan, kita mau apa? Karena kalau kita melewati batasan-batasan, rasanya kurang elok, bertentangan dengan butir butir yang sudah dicantumkan dalam surat kesepakatan sebelumnya. Maka, nanti seperti apa, biarlah tim asistensi yang mengkaji lebih dalam," tandas Subawa.
Subawa mengisahkan, krama Pakudui Kangin sudah memanfaatkan tanah laba Pura Puseh sejak tahun 1990-an. Di situ dibangun kios yang hasilnya dipakai untuk kepentingan pura. "Kalau kios dimanfaatkan perorangan, tapi kalau swing (mainan ayunan) itu dikelola semua krama Tempek Pakudui Kangin berjumlah 44 KK," terang tokoh yang juga Penyarikan Pura Puseh Pakudui ini. *nvi
1
Komentar