Dari Nelayan Menuju Wisata Primadona
MANGUPURA, NusaBali
Destinasi wisata Pantai Kuta di Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Badung, dulunya dikenal sebagai kampung nelayan.
Karena sebagian besar masyarakat beraktivitas sebagai nelayan. Di sepanjang pantai hanya jadi tempat transaksi ikan. Namun lambat laut, Pantai Kuta menjadi salah satu destinasti wisata primadona baik wisatawan asing dan domestik.
Bendesa Adat Kuta I Wayan Wasista menuturkan ketenaran Pantai Kuta di mata dunia, tidak lepas dari peran sejumlah wisatawan asal Jerman. Mereka adalah arsitek pembangun Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Tuban, Kuta. Warga Jerman ini tinggal di Hotel Holiday Inn, Tuban. Seingat Wasista, Pantai Kuta mulai dilriik wisatawan sekitar tahun 1973 – 1974. “Makanya sampai saat ini, ada pantai yang dekat bandara itu dinamai Pantai German. Ya, asal-usulnya dari situ,” terang Wasista.
Seiring itu, makin banyak wisatawan datang ke arah utara, kini kawasan Pantai Kuta. Para wisatawan itu membuat rumah dan mengeksplor kawasan pantai berpasir putih itu. Saat itu, sepanjang garis pantai masih ditumbuhi perdu jenis Katang-Katang. Pohon inilah yang merekatkan pasir sehingga tidak terjadi abrasi.
Disisi lain, jelas Wasista, masyarakat Kuta yang sebagian besarnya nelayan saat itu masih beraktivitas seperti biasa dan tidak menduga jika kemolekan Pantai Kuta bisa menarik minat wisatawan asing. Bahkan, sepanjang pantai itu disebut kampung nelayan.
Setelah kemunculan wisatawan German dan lainnya, tahun 1985 jumlah nelayan menyusut. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Hal ini dikarenakan aktivitas berubah drastis dan semua masyarakat beralih ke pariwisata. “Kalau tahun 1978, masih cukup banyak nelayan. Tapi, setelah memasuki tahun 1980an, semuanya berubah drastis. Wisatawan datang, warga beralih pekerjaan dan semuanya dalam sektor pariwisata,” tandas Wasista.
Julukan kampung nelayan untuk Kuta lenyap sekitar tahun 1990. Semua masyarakat beralih dan meninggalkan aktivitas melaut lantaran penghasilan lebih menggiurkan dari pariwisata. Yang tersisa hanya nelayan tua yang kurang mahir terjun ke pariwisata. “Awal 1990an hingga 2002, Kuta berubah drastis. Namun pasca bom Bali tahun 2002, aktivitas pariwisata mati suri. Dampaknya, beberapa warga ada kembali menekuni nelayan,” katanya.
Wasista mengakui, pariwisata Kuta kembali menggeliat tahun 2019. Namun wabah global Covid-19 mengakibatkan banyak pekerja wisata kembali ke aktivitas lama; menangkap ikan. Saat ini, banyak warga yang sudah memiliki perahu sendiri dan menangkap ikan hingga ke perairan Pulau Jawa. “Jadi masyarakat sudah kembali lagi ke tahun 1974 itu. Banyak yang rela beli perahu untuk kembali melaut. Ya, tentu ini merupakan aktivitas yang memang menjadi asal muasal warga Kuta,” beber Wasista.*dar
Komentar